Top Bisnis Online

Trading dan Investasi

ad1

Iklan Gratis

Tampilkan postingan dengan label Aswaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aswaja. Tampilkan semua postingan
Jalan Golongan Yang Selamat

Jalan Golongan Yang Selamat

Hendaknya engkau membenahi dan meluruskan akidahmu sesuai jalan golongan yang selamat, yaitu golongan yang sudah dikenal dari golongan-golongan Islam lainnya dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama'ah. Merekalah orang-orang yang memegang teguh ajaran Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan para sahabatnya.

Jikalau engkau perhatikan dengan pemahaman yang lurus dari hati yang jernih nas-nas yang ada dalam al-Kitab dan as-Sunnah yang berisi tentang ilmu-ilmu keimanan, serta engkau membaca sejarah para salafunasshalihin dari kalangan sahabat dan tabi’in, niscaya engkau akan menjumpai, bahwa kebenaran hanyalah ada pada golongan yang identik dengan asy-‘Ariyah yang dinisbatkan pada al-lmam asy-Syeikh Abui Hasan al-‘Asy’ari R.a.

Beliau benar-benar telah menata kaidah-kaidah akidah golongan yang benar dan telah menyebutkan dalil-dalilnya. Itulah akidah yang telah disepakati oleh para sahabat dan para pemuka tabi’in sepeninggal mereka. Itulah akidah golongan yang benar disetiap zaman dan tempat. Itulah akidah kebanyakan ahli tasawuf, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-lmam asy-Syeikh Abul Qasim Alqusyairi R.a dipermulaan Kitab ar-Risalah Alqusyairiyah.

Dan alhamdulillah Itulah akidah kami dan akidah saudara-saudara kami dari kalangan Saadah al-Husaini yang terkenal dengan nama al-Ba’alawi, juga akidah para salaf kami sejak Rasululllah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sampai saat ini, bahkan al-lmam al-Muhajir ra. kakek para Saadah Ba’alawi Sayyidina Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Imam Ja’tar ash-Shaddiq R.a. ketika beliau melihat timbulnya berbagai macam bid’ah dan banyaknya orang-orang yang terbius oleh ambisi mereka di Irak.

Maka beliau R.a kemudian berhijrah dan terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga pada akhirnya sampailah beliau ke tanah Hadhramaut. Beliau R.a menetap disana sampai meninggal dunia, kemudian Allah S.W.T memberi keberkahan pada turunan beliau hingga terkenallah dari golongan mereka jumlah yang sangat banyak yang dikenal dengan ilmu. ibadah, kewalian dan ma’rifat.

Mereka terhindar dan berbagai macam fitnah yang menimpa sebagian Ahlul Bait an-Nabawi, seperti bid’ah terobsesi oleh pendapat yang sesat. Hal ini tak lain adalah berkah dari niat imam yang terpercaya ini dan larinya beliau menyelamatkan agamanya dari sumber-sumber fitnah.

Semoga Allah S.W.T memberi balasan dari kami dengan balasan yang lebih dari seorang anak kepada bapaknya.

Mengangkat derajat beliau bersama para leluhur beliau yang mulia di tempat yang tertinggi dan mengikut sertakan kita bersama mereka dalam keadaan baik, selamat, tanpa digantikan ataupun terkena fitnah. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih, selain itu Madzhab al-Maturidiyah juga sama dengan al-Asy’ariyah dalam segala aspek

Hendaknya setiap mukmin melindungi akidahnya dengan menjaga salah satu akidah para imam yang telah disepakati kebesaran mereka dan ketinggian ilmu mereka. Menurutku orang yang menginginkannya tidak akan menemukan seperti akidah lengkap, jelas dan jauh dari kesamaran juga dari hal-hal yang mencurigakan.

Sebagaimana akidah al-lmam al-Ghazali R.a yang beliau sebutkan di pasal pertama dari Kitab al Qawaidul al-‘Aqaid dalam Kitab Ihya’ ‘Ulumu-din. Hendaknya engkau membacanya dan jika engkau ingin mendapatkan tambahan, maka lihatlah Kitab ar-Risalah at-Qudsiyah yang juga disebutkan di pasal ketiga dalam kitab itu.

Janganlah engkau terlalu memperdalam ilmu tauhid atau terlalu banyak ikut campur di dalamnya. Apabila engkau menginginkan hakekat dalam ma’rifat karena engkau tidak akan mendapatkan keinginanmu dari ilmu ini, tetapi jika engkau memang menginginkan hakekat dalam ma’rifat. hendaknya engkau menempuh jalannya, yaitu selalu bertakwa secara dzahir dan batin.

Merenungkan ayat-ayat dan hadits an-Nabawi. melihat keajaiban langit dan bumi dengan tujuan sebagai perenungan, mendidik akhlak diri, melembutkan kekasarannya dengan riyadhah yang baik, membersihkan cermin hati dengan menekuni dzikir dan berpikir serta berpaling dari segala sesuatu yang menyibukkan kita dari tujuan ini.

Inilah jalan pencapaian. Jika engkau tempuh, maka insya Allah engkau akan mendapatkan keinginanmu, mencapai harapanmu. Sesungguhnya para ahli tasawuf mereka berjuang melawan hawa nafsu, melatihnya dengan ekstra ketat, memutusnya dari segala kebiasannya.

Karena mereka mengetahui bahwa ma’rifat yang sempurna hanya akan dicapai melalui jalan ini, dan hanya dengan sempurnanya ma’rifat hakekat “ubudiyah bisa tercapai inilah yang merupakan keinginan dan harapan para Arifin Billah. Semoga Allah S.W.T meridhai mereka semua.

~ Al-Allamah Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad - Nasihat Untukmu Wahai Saudaraku ~

Sumber: http://www.alhabibahmadnoveljindan.org/jalan-golongan-yang-selamat/

Membangun Generasi Dalam Manhaj Salaf

Membangun Generasi Dalam Manhaj Salaf

"Marilah kita bersama saat ini berniat sungguh-sungguh agar dapat mengikuti jejak para salaf kita"

Patut disadari bahwa Indonesia adalah salah satu benteng utama menjaga dan melestarikan manhaj salaf (metode dakwah para pendahulu yang ikhlas menyebarkan ajaran agama sesuai tuntunan Rasulullah S.a.w). Metode tersebut dapat terlihat jelas tertanam dalam karakter penduduk negeri ini yang lemah lembut, ramah dan berbaik sangka terhadap sesama muslim.

Dalam sejarah dicatat perjuangan para Salaf dari Hadhramaut melintasi samudra menyebrangi lautan menantang kematian guna menyelamatkan umat manusia di berbagai penjuru nusantara dengan ajaran agama yang dapat membawa kedamaian, ketentraman hati dan kasih sayang.

Harus disyukuri bahwa saat ini kita sedang menghadiri salah satu majelis yang melestarikan metode dakwah salaf didirikan oleh Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Sejak dulu para salaf mendirikan majelis-majelis untuk mendidik jama'ah yang sedang menempuh jenjang yang dipenuhi oleh berbagai ujian guna mendekatkan diri kepada Allah S.w.t dengan cara yang benar dan terarah. Setiap orang yang hadir di majelis ini memetik dan memberi berkah kepada sesama. Majelis seperti ini adalah salah satu syiar-syiar agama Allah S.w.t yang patut diperhatikan sebagaimana rangkain ibadah haji, umrah, puasa, zakat, berbakti pada orang tua dan mempererat hubungan silaturrahim.

Di sisi lain patut diwaspadai serangan dan rayuan media massa cetak dan elektronik, dengan berbagai macam perangkatnya setiap saat menggoda dan mempengaruhi generasi umat agar mereka lalai dan silau dengan gemerlap dunia lupa akan masa depan akhirat dan ajal yang menjemput tanpa memberi aba-aba. Musibah dan bala yang saat ini menimpa kaum muslimin di berbagai belahan dunia disebabkan oleh berpalingnya umat Islam dari mengingat Allah S.w.t dan Rasul-Nya, bahkan menggantikannya dengan memberikan perhatian kepada hal-hal yang fana.

Dalam Al Qur'an surat Saba' ayat 16, Allah S.w.t menjelaskan penyebab diazabnya kaum Saba. "Tetapi mereka berpaling maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit pohon Sidr".

"Sungguh, berpaling dari dzikrullah menyebabkan turunnya kemurkaan dan azab Allah S.w.t"

Oleh sebab itu, dengan keberkahan majelis ini, mari kita sama-sama berdoa semoga Allah S.w.t mengangkat perselisihan dan peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dan menggantikannya dengan keamanan dan kesejahteraan.

Jangan pernah melupakan untuk mendoakan saudara kalian sesama muslim di sujud dan ibadah kalian. Nabi kita Muhammad dalam perjalan Isra' dan Mi'raj selalu sibuk mendoakan umat-Nya, sampai Allah S.w.t menyatakan bahwa Ia sangat mengasihi dan menyayangi umat-Nya. Maka dengan kasih sayang Allah S.w.t yang dimaksud, semoga Allah S.w.t mengabulkan semua permintaan kita. Jangan pernah putus asa berdoa karna itu sifat orang-orang yang merugi, Allah S.w.t dalam Al Qur'an surat al-Furqan ayat 77: "Katakanlah (wahai Muhammad), 'Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, kalau tidak karena doamu'.".

Seyogyanya sebagai pengikut manhaj salaf agar kontinyu dan tidak meninggalkan dzikir-dzikir, shalawat kepada Nabi S.a.w, dan amaliah salaf sehari-hari. Jangan sampai pengikut manhaj salaf hanya memberikan perhatian penuh kepada simbol dan atribut dakwah dalam berpakaian, dan lainnya, sedang ia lalai dalam berprilaku dan beramal saleh yang merupakan intisari berdakwah.

Zaman ini, di saat seorang merasa tidak memiliki Syekh (guru) yang membimbing seseorang menempuh jalur mendekatkan kepada Allah S.w.t, maka hendaknya ia memperbanyak shalawat kepada Rasulullah S.a.w agar tertanam dalam sanubarinya bahwa Rasulullah adalah panutan dan pembimbing utama muslim menempuh jalan bertaqarrub kepada Allah S.w.t. Membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan sering mengingat kematian akan menjadikan muslim kelak menjadi sukses di dunia dan akhirat.

Salaf dalam metode mendidik selalu mengingatkan agar memakmurkan 4 waktu dalam sehari semalam, yaitu:

1). Saat akhir malam; sepatutnya mengikuti jejak salaf, bangun malam walaupun hanya 15 menit untuk shalat dan berdoa.
2). Setelah Subuh sampai terbitnya mentari:, salaf mengisinya dengan dzikir, dilanjutkan dengan halaqah ilmiah mempelajari atau membuka wawasan seputar bahasa Arab, Fikih, dan lainnya.
3). Setelah Shalat Ashar sampai tiba waktu Maghrib, biasa dimakmurkan dengan majelis 'Rauhah' yang terbuka buat umum, guna menyegarkan hati dengan pandangan guru serta menyerap adab sopan santun terhadap guru dan kepada semua orang.
4). Waktu antara Maghrib dan Isya, dimakmurkan dengan membaca Al-Qur'an, muraja'ah kitab tafsir dan menambah wawasan keilmuan di berbagai bidang agama.

Empat waktu tersebut adalah tonggak membangun generasi dalam manhaj salaf. Oleh sebab itu marilah kita bersama saat ini berniat sungguh-sungguh agar dapat mengikuti jejak salaf kita dalam memakmurkan empat waktu tersebut, agar kita kelak diakui oleh mereka sebagai pengikut yang berpegang teguh pada ajaran mereka.

Semoga bermanfaat buat kita semua, Amin

Intisari Untaian Hikmah Nasehat Dr. Al Habib Abu Bakr Al Masyhur Al Adny
di Majelis Ta'lim Al-Afaf, Tebet-Jakarta, Ba'da Ashr, 23-5-2015

Sumber: Forum Silaturahmi Pemuda Majelis (Forsipma)


Nasehat Menuntut Ilmu dan Pentingnya Sanad Dalam Islam

Nasehat Menuntut Ilmu dan Pentingnya Sanad Dalam Islam

"Jangan sampai kita mengambil ilmu yang bukan dari ahlinya. Ambillah ilmu dari orang yang mengamalkan ilmunya, yang takut kepada Allah, jangan mengambil ilmu dari sembarangan orang dan di sembarangan tempat.". ~ Nasehat Al Allamah Al Faqih Al Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith.


Keutamaan Mencari Ilmu Agama

Sabda Rasulullah S.a.w, diriwayat dari Abdullah bin Mas'ud R.a:

مَنْ تَعَلَّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ يَنْتَفِعُ بِهِ فِى آخِرَتِهِ وَدُنْيَاهُ كَانَ خَيْرًا لَهُ مِنْ عُمْرِ الدُّنْيَا سَبْعَةَ آلاَفِ سَنَةٍ صِيَامَ نَهَارِهَا وَقِيَامَ لَيَالِيْهَا مَقْبُوْلاً غَيْرَ مَرْدُوْدٍ

"Barang siapa yang mempelajari satu bab dari ilmu yang dia dapat memperoleh manfaat dunia akhirat, maka hal itu lebih baik baginya dari pada umur dunia 70.000 tahun yang dipergunakan puasa pada siang hari dan salat pada malam hari dalam keadaan diterima, tidak ditolak."

Dari Mu'adz bin Jabal Ra, ia berkatan, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda:

تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ فَاِنَّ تَعَلُّمَهُ ِللهِ حَسَنَةٌ وَدِرَاسَتَهُ تَسْبِيْحٌ وَالْبَحْثَ عَنْهُ جِهَادٌ وَطَلَبَهُ عِبَادَةٌ وَتَعْلِيْمَهُ صَدَقَةٌ وَبَذْلَهُ ِلاَهْلِهِ قُرْبَةٌ وَالْفِكْرَ فِى الْعِلْمِ يَعْدِلُ الصِّيَامَ وَمُذَاكَرَتَهُ تَعْدِلُ الْقِيَامَ

"Pelajarilah ilmu, sebab mempelajari ilmu karena Allah adalah kebaikan, mendaras ilmu sama dengan bertasbih, membahas ilmu sama dengan berjuang, mencari ilmu adalah ibadah, mengajarkan ilmu adalah sedekah, memberikan ilmu kepada yang memerlukan adalah pendekatan diri kepada Allah, memikirkan ilmu sebanding dengan pahala puasa dan memusyawarahkan ilmu sebanding pahala salat malam."

Rasulullah S.a.w bersabda:

اُطْلُبِ الْعِلْمَ وَلَوْ كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ بَحْرٌ مِنَ النَّارِ

"Tuntutlah ilmu, meskipun di antara kamu dan ilmu terbentang lautan api."

Sabda Rasulullah S.a.w:

اُطْلُبِ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلَى اللَّحْدِ

"Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan sampai ke liang lahat."

Mempelajari ilmu adalah wajib setiap saat dan keadaan. Sebagian dari para ulama salaf (ulama dahulu) berpendapat bahwa ilmu ada empat macam:

1). Ilmu untuk membetulkan amalan agama.
2). Ilmu kedokteran untuk menyehatkan badan.
3). Ilmu falak untuk menentukan waktu salat.
4). Ilmu nahwu untuk membetulkan bacaan.

Ilmu dapat dihasilkan dengan dua cara: Usaha, yaitu ilmu yang dapat diperoleh dengan jalan belajar dan membaca secara terus menerus dan Mendengarkan, yakni bertemu langsung dengan seorang guru (bertalaqqi), berguru dan belajar dari mereka (para ulama) dengan mendengarkan permasalahan agama dan dunia. Cara yang terakhir ini tidak dapat berhasil kecuali dengan mencintai Syekh (guru/ulama), bergaul dengan mereka, menghadiri majelis-majelis mereka dan meminta penjelasan dari mereka.

Orang yang menuntut ilmu, wajib berniat dalam usaha menghasilkan ilmu tersebut:

1). Mencari keridhaan Allah
2). Mencari kebahagiaan akhirat
3). Menghilangkan kebodohan dirinya dan semua orang yang bodoh
4). Menghidupkan agama
5). Mengabadikan agama dengan ilmu
6). Mensyukuri kenikmatan akal dan kesehatan badan

Ia tak boleh berniat agar manusia menghadap kepadanya, mencari kesenangan dunia dan kemuliaan di depan pejabat, dan sebagainya.

Menurut Imam Asy-Syafi’i R.h.m, ada enam bekal yang harus dimiliki para penuntut ilmu agama, agar dapat meraih kesuksesan dalam menuntut ilmu, beliau berkata:

أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ

Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.”.


Pentingnya Menyebarkan Ilmu Agama

Nabi Muhammad S.a.w bersabda:

لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ

"Hendaklah orang yang hadir di antara kamu sekalian menyampaikan kepada orang yang tidak hadir."

Wajib bagi seseorang yang mendengarkan untuk menyampaikan segala sesuatu yang didengarkan kepada orang yang tidak hadir. Hadits ini ditujukan kepada para sahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai hari kiamat. Jadi wajib bagi seseorang yang memiliki (ahli) ilmu untuk menyampaikan (tabligh). Setiap orang yang mengetahui satu masalah adalah ahli ilmu dalam masalah tersebut. Setiap orang awam yang mengetahui syarat shalat, wajib mengajarkan kepada orang lain. Jika ia tidak mau mengajarkan, maka ia bersekutu dalam dosa dengan orang yang belum mengetahuinya.

Pada setiap masjid dan wilayah (desa, kampung, dll), wajib ada seorang ahli agama (seperti Ustadz, Kyai atau Alim Ulama lainnya) yang mengajar kepada manusia dan memberikan pemahaman kepada mereka mengenai masalah-masalah agama. Demikian juga halnya di setiap desa. Setiap ahli agama setelah selesai melaksanakan fardlu 'ain, yaitu mengajar di daerahnya sendiri, melakukan fardlu kifayah, yaitu keluar ke daerah yang berdekatan dengan daerahnya, untuk mengajarkan agama dan kewajiban syariat kepada penduduk wilayah tersebut. Ahli agama tersebut wajib membawa bekal untuk dimakan sendiri, dan tidak boleh ikut makan makanan orang yang diajar.

Jika sudah ada salah seorang (ahli ilmu agama atau Alim Ulama) yang menunaikan kewajiban ini (yakni menyampaikan/mengajarkan) maka gugurlah dosa dari para ahli ilmu yang lain. Jika tidak ada sama sekali orang yang menunaikan kewajiban ini, maka dosanya akan menimpa semua orang. Orang yang alim berdosa karena keteledorannya tidak mau pergi (mengajar/menyampaian) ke daerah tersebut; sedangkan orang yang bodoh berdosa karena keteledorannya dalam meninggalkan menuntut ilmu. Ini adalah pendapat Syekh Ahmad as-Suhaimi yang dinukil oleh Imam Al Ghazali.

Ada 3 tanda bagi orang alim (ahli ilmu) yang ingin mencari kebahagiaan akhirat:

1). Ia tidak mencari kesenangan dunia dengan ilmunya.
2). Kesibukannya dalam (menuntut atau mengajarkan) ilmu dimaksudkan untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan akhirat, sehingga ia memperhatikan ilmu yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki lahir (amal jariah) dan bathinnya (amal qulub), dan juga orang lain.
3). Ia menyandarkan ilmunya pada taklid (mengikuti) kepada Pemilik Syariat, Nabi Muhammad S.a.w, dalam ucapan dan perbuatannya. (Baca juga: Ijtihad, Taqlid dan Bermadzhab)

Tanda orang yang 'ikhlas' (dalam hal ini tidak mencari kesenangan dunia) dengan ilmunya, ada lima sebagai berikut:

1). Ucapannya tidak menyalahi perbuatannya, sehingga ia menjadi orang yang pertama kali melakukan perintah dan meninggalkan larangan (sebagaimana kebaikan yang ia serukan).
2). Ia memperhatikan ilmu menurut kadar kemampuannya, dan senang kepada ketaatan serta menjauhi ilmu yang memperbanyak perdebatan.
3). Ia menjauhi kemewahan dalam makanan, tempat tinggal, perkakas rumah tangga dan pakaian.
4). Ia menahan diri dari mempergauli para pejabat, kecuali untuk memberi nasihat kepadanya atau untuk menolak kezhaliman, atau untuk memberikan pertolongan dalam hal yang diridhai oleh Allah Ta'ala.
5). Ia tidak cepat-cepat memberikan fatwa kepada orang yang bertanya, tetapi mengatakan: "Tanyakan kepada orang yang ahli memberi fatwa!", karena kehati-hatiannya. Ia mencegah diri dari berijtihad dalam sesuatu masalah, jika masalah tersebut tidak jelas bagi dirinya. Bahkan ia mengatakan: "Saya tidak tahu!" apabila ijtihad tersebut tidak mudah baginya (bukan bidangnya atau di luar kemampuannya).


Nasehat Untuk Para Penuntut Ilmu

Al Habib Umar bin Hafidz menguraikan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para penuntut ilmu (thalibul ilmi). Beberapa nasehat yang beliau sampaikan diantaranya adalah:

1). Bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah S.w.t, karena bisa menuntut ilmu di pesantren yang 'Ahlussunnah wal Jama’ah' dan dapat melanjutkan menimba ilmu di kota Tarim, Yaman yang merupakan kota ilmu dan ulama. Di kota yang penuh berkah ini, banyak dijumpai para habaib dan alim ulama yang sanad keilmuannya bersambung sampai kepada Rasulullah S.a.w. Lebih jauh lagi, jumlah ulama di Tarim tidak hanya sebatas hitungan jari. Akan tetapi mencapai bilangan ribuan.

2). Seorang penuntut ilmu harus rajin bangun malam (qiyamullail).

3). Seorang pencari ilmu harus mempunyai etika yang baik (akhlaqul karimah).

4). Urgensi menebarkan rasa cinta kasih (al-mahabbah) dan persaudaraan (al-ukhuwah) kepada seluruh umat manusia secara umum, umat Islam secara khusus dan Ahlussunnah wal Jama’ah secara lebih khusus (akhash).

5). Menghormati ulama dan para guru (masyayikh) yang telah membimbing kita.

6). Bagi penuntut ilmu, hendaknya selalu menjadikan Al-Qur'an sebagai pegangan hidup, baik dengan membacanya, menghayati makna kandungannya dan merepresentasikannya dalam kehidupan nyata.

7). Cermat (tahqiq) serta serius dalam memahami kalam ulama yang tertuang dalam teks (matan) kitab. Memahami kalam ulama secara utuh, tidak sepotong-potong. Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri pernah mengatakan: “Barangsiapa yang menguasai matan (teks) sebuah kitab dengan sempurna, maka ia pasti mendapatkan berbagai disiplin keilmuan.”.

"Semoga bermanfaat untuk kita semua, dan menjadikan ilmu kita bermanfaat dunia dan akhirat.". ~ Nasehat Al Habib Umar bin Hafidz ~


Internet dan Buku Bukanlah Guru

Al Habib Munzir bin Fuad al-Musawa memiliki sebuah nasehat bijak kepada para penuntut ilmu (pembaca buku). Beliau berkata: Orang-orang yang berguru tidak kepada guru, namun kepada buku saja, maka dia tidak akan menemukan kesalahannya. Karena, buku tidak bisa menegur, namun kalau guru bisa menegur jika dia salah dalam memahami atau dia bisa bertanya jika tidak faham. Namun kalau buku, jika dia tidak faham, dia hanya terikat dengan pemhamannya sendiri.

Bukannya kita tidak boleh membaca buku!, boleh kita membaca buku apa saja, namun kita harus mempunyai satu guru yang menjadi rujukan kita, dan bisa kita bertanya kepadanya jika kita mendapatkan masalah atau kita tidak tahu makna dari buku yang kita baca.

Apalagi jika berguru kepada internet, dikhawatirkan lebih banyak mudharatnya. Memang, tidak semua yang ada di internet adalah tidak benar. Banyak sekali kebenaran yang ada di sana, akan tetapi kebenaran itu belum teruji dan masih perlu dicermati lebih lanjut, karena bagaimanapun, internet bukanlah guru yang memiliki sanad yang jelas, bahkan internet sering menjadi penyebar hal-hal negatif. Demikianlah seharusnya memposisikan internet sebagai media yang harus 'dikonfirmasi' kembali berbagai informasi di dalamnya. Tidak layak untuk langsung ditelan, tetapi harus 'dimasak' lebih dahulu. (diteliti, dicermati, dikonfirm kepada guru).


Kenapa Ilmu Agama Wajib Bersanad?

Melalui mesin pencari (search engine) seperti google (yakni search, copy-paste) atau lainnya tidak cukup untuk memahami ilmu agama yang sebenarnya. Oleh karena itu kita butuh guru sebagai mursyid (penunjuk) agar jangan sampai salah memahami tulisan-tulisan (artikel), ilmu-ilmu yang bertebaran di Internet. Dan akhirnya dikhawatirkan tanpa pemahaman yang benar, kita berani berfatwa sembarangan hingga jauh dari kebenaran.

Disebutkan tentang pentingnya berguru langsung, dalam bab ilmu:

المتصل خير من المنفصل

"Bersambung itu lebih baik daripada terputus"

Belajar berguru langsung dari guru, itu lebih mulia dan lebih baik untuk pemahaman yang benar.

 أجرؤكم على الفتيا أجرؤكم على النار 

"Orang yang paling berani diantara kamu dalam memberi fatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka"

Inilah alasan kenapa harus berhati-hati dalam hal yang belum kita fahami sebenarnya. Tak usah takut atau malu untuk mengatakan: "Saya belum tahu tentang itu..." atau "Akan saya tanyakan kepada ulama yang lebih faham tentang itu". Supaya kita selamat dalam memberi jawaban yang (terkesan) serampangan "asal-asalan tanpa dalil" dalam masalah hukum agama.

Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang hamba hanyalah sedikit dan sangat terbatas. Ia tidak dapat meliputi segala bidang ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu dunia. Allah Ta'ala berfirman: "Wa Maa Uutiitum Minal 'Ilmi illaa Qaliilan" (Dan kamu tidaklah diberi ilmu (oleh Allah) kecuali hanya sedikit).

Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata: "Telah Shahih dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa mereka berdua berkata: "Barangsiapa memberikan fatwa (jawaban) dalam setiap permasalahan yang ditanyakan oleh manusia, maka ia adalah orang kurang akalnya.". (I'laamu Al-Muwaqqi'iin, I/34, dan II/185).

"Teruslah belajar, carilah ilmu dengan para guru demi menghindari pemahaman yang sesat. Tak usah malu belajar karena faktor usia, dan jangan malu mengatakan kita belum mengerti beberapa hal. Semoga Allah memberi kita ilmu (yang) bermanfaat dunia dan akhirat dan menyelamatkan kita dari azab neraka akibat berfatwa sesat dan menyesatkan, dan menjadikan kita pecinta ilmu dan orang yang memiliki ilmu agama" ~ Nasehat Al Habib Quraisy Baharun ~


Nabi Muhammad S.A.W Telah Bersabda Supaya Umat Mengikuti Sanad

Dari Abdullah ibn Mas’ud R.a, Rasulullah S.a.w, bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. (HR. Bukhari, No. 2652, Muslim, No. 6635).

Rasulullah S.a.w bersabda: “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri (tanpa guru) dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan.”. (HR. Ahmad).

Dari Ibnu ‘Abbas R.a berkata, Rasulullah S.a.w bersabda: “Di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.”. (HR. Ath Thabarani).

Ibnul Mubarak berkata: ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahihnya 1/47 No. 32 ).

Dari Ibnu Abbas R.a, Rasulullah S.a.w bersabda: ”Barangsiapa yang berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka.”. (HR.At Tirmidzi).

Imam Malik R.a berkata: “Hendaklah seseorang penuntut itu hafalannya (matan hadith dan ilmu) daripada Ulama, bukan daripada Suhuf (lembaran)”. (Al-Kifayah oleh Imam Al Khatib m/s 108).

Imam Asy Syafi’i R.a mengatakan: “Tiada ilmu tanpa sanad.”. Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang bertafaqquh (coba memahami agama) melalui isi kandungan buku-buku, maka dia akan mensia-siakan hukum (kefahaman sebenar-benarnya).”. (Tazkirah As-Sami’e: 87).

Juga berkata Imam Asy Syafi’i R.a: “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di gelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”. (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).

Berkata pula Imam Ats Tsauri R.a: “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak: “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad.”. (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).

Al-Hafidh Imam Ats Tsauri R.a mengatakan: “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga.”.

Bahkan Al Imam Abu Yazid Al Bustamiy R.a berkata: “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan.”. (Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203).

Asy Syeikh As Sayyid Yusuf Bakhour Al Hasani menyampaikan bahwa: “Maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur'an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan.“.

Sheikh Ibn Jama’ah berkata: “Sebesar-besar musibah adalah dengan bergurukan sahifah (lembaran-lembaran atau buku).”. (Ibn Al-Jama’ah: 87 dan dinukilkan dalam Muqoddimah Syarh Al-Maqawif 1/90).

Imam Badruddin ibn Jama’ah: “Hendaklah seseorang penuntut ilmu itu berusaha mendapatkan Syeikh yang mana dia seorang yang menguasai ilmu-ilmu Syariah secara sempurna, yang mana dia melazimi para syeikh yang terpercaya di zamannya yang banyak mengkaji dan dia lama bersahabat dengan para ulama’, bukan berguru dengan orang yang mengambil ilmu hanya dari lembar kertas dan tidak pula bersahabat dengan para syeikh (ulama’) yang agung.”. (Tazkirah As-Sami’ wa Al-Mutakallim 1/38).


Nabi S.A.W Memerintahkan Agar Umat Berpegang Teguh Pada Jama'ah Mayoritas

Dari Anas bin Malik R.a berkata: “Aku mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan, oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.”. (HR. Ibnu Majah No. 3950, Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan Ath Thabarani dalam Musnad Al Syamiyyin (2069).

Itulah beberapa hadits dan dalil-dalil tentang pentingnya menuntut ilmu dengan berguru dan bersanad.

"Barangsiapa yang cinta pada Ulama, duduk bersama mereka, belajar dengan mereka, membantu mereka, memuliakan mereka, jika mereka bukan ulama dan bukan menjadi ulama maka Allah akan jadikan keturunannya ada yang menjadi Ulama". ~ Nasehat Al Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus ~

Wal akhir, marilah kita tutup dengan doa. Pada Kitab Al-Adzkar Imam An-Nawawi, dalam sebuah riwayat Ibnu Majah, dari Ummu Salamah R.a, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam senantiasa membaca doa ini di waktu pagi:

اللهم اني أسألك علماً نافعا،ورزقاً طيباً وعملاً متقبلاً

"Allahumma Inni As Aluka 'ilman Naafi'an Wa Rizqan Thayiban Wa 'Amalan Mutaqabbalan".

Artinya: "Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu, Ilmu yang bermanfaat, Rezeki yang baik (halal) dan Amal yang diterima".

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Wallahu a'lam bishshowab, Wassalam.

Baca juga penjelasan terkait: Sanad dan Ijazah


Al Madad Ya Rasulullah

Al Madad Ya Rasulullah

"Al Madad Ya Rasulullah"

Sebagian saudara kita umat Islam, menyatakan bahwa seruan judul di atas adalah syirik. Uraian diatas akan menerangkan, tentang ucapan di atas. Bagaimanakah hukumnya? Syirikkah kita?

Ucapan yang mengandung seruan (nida’ ; Ya Rasulallah) dan tawassul dengan ungkapan al-Madad atau adrikni. Maka maknanya adalah, “kami memohon pertolongan dengan perantaraanmu wahai Rasulallah“.

Pada hakekatnya kaum muslimin yang bertawassul atau beritighatsah dengan Nabi atau orang shaleh sama ada yang wafat atau yang masih hidup, adalah mereka hanyalah memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah semata, dan pertolongan atau bantuan itu termasuk yang Allah mampukan kepada Nabi atau orang shalih itu dan Allah berikan kepada mereka. Maka ucapan seorang yang bertawassul atau beristighatsah misal: “Wahai Nabi Allah, sembuhkanlah aku, tunaikanlah hutangku“, maka sesungguhnya ia hanyalah menginginkan: “Bantulah aku dengan syafa’at dan pertolonganmu agar aku sembuh, dan doakanlah agar hutangku terlunasi, bertawajjuhlah kepada Allah dalam urusanku ini“. Maka mereka kaum muslimin tidaklah meminta kecuali apa yang Allah mampukan dan berikan pada mereka berupa doa dan syafa’at atau pertolongan.

Penisbatan al-Madad (pertolongan), al-‘Aun (bantuan) kepada Rasulullah atau makhluk lainnya hanyalah majaz (bukan hakekatnya) dan penisbatan semacam ini dibenarkan dalam Hadits dan Al-Qur'an sendiri. Dan kaum muslimin pun tidak meyakini pertolongan dan bantuan diciptakan oleh Rasulullah atau makhluk lainnya, melainkan kaum muslimin meyakini pertolongan, manfaat ataupun bahaya hanyalah dari Allah semata.

Contoh sebagaimana yang telah kami tampilkan di awal Hadits Nabi berikut :

اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل

“Ya Allah, turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatkan, enak, yang subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda“. (HR. Abu Dawud No. 988).

Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).

Mungkinkah Nabi menyebut Hujan sebagai penolong, pemberi manfaat secara hakekatnya dan bukan majaz? jelas Nabi tidak bermaksud secara hakekatnya melainkan secara majaz, sebab jelas jika meyakini hujan sebagai pemberi pertolongan dan manfaat secara independen, maka hukumnya mensyirikkan Allah dengan makhluk-Nya. Maka sudah tentu yang Nabi maksudkan adalah secara majaz bukan hakikatnya.

Jika hujan saja boleh disebut al-Ghouts secara majaz, maka demikian pula makhluk Allah termulia yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah banyak sebab perantara Beliau, umatnya bahkan seluruh alam mendapatkan banyak nikmat, pertolongan dan rahmat dari Allah Ta’ala, lebih layak disebut al-Ghauts atau al-Madad secara majaz.

~ Al Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi ~

sumber: www.muhammadhuseinalhabsyi.com


Mengenal Ahlu Sunnah wal Jama’ah

Mengenal Ahlu Sunnah wal Jama’ah

Al-Arif Billah al-Imam as-Sayyid Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad (W 1132 H), Shahib Ar-Ratib Al Haddad, dalam karyanya berjudul Risalah al-Mu’awanah, pada halaman 14, beliau menuliskan;

"Hendaklah engkau memperbaiki akidahmu dengan keyakinan yang benar dan meluruskannya di atas jalan kelompok yang selamat (al-Firqah an-Najiyah). Kelompok yang selamat ini di antara kelompok-kelompok dalam Islam adalah dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah kelompok yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para Sahabatnya.

Dan engkau apa bila berfikir dengan pemahaman yang lurus dan dengan hati yang bersih dalam melihat teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah-sunnah yang menjelaskan dasar-dasar keimanan, serta melihat kepada keyakinan dan perjalanan hidup para ulama Salaf saleh dari para Sahabat Rasulullah dan para Tabi’in, maka engkau akan mengetahui dan meyakini bahwa kebenaran akidah adalah bersama kelompok yang dinamakan dengan al-Asy’ariyyah. Sebuah golongan yang namanya dinisbatkan kepada asy-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari ~Semoga Rahmat Allah selalu tercurah baginya~. Beliau adalah orang yang telah menyusun dasar-dasar akidah Ahl al-Haq dan telah memformulasikan dalil-dalil akidah tersebut.

Itulah akidah yang disepakati kebenarannya oleh para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka dari kaum tabi’in terkemuka. Itulah akidah Ahl al-Haq setiap genarasi di setiap zaman dan di setiap tempat. Itulah pula akidah yang telah diyakini kebenarannya oleh para ahli tasawwuf, sebagaimana telah dinyatakan oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam pembukaan Risalah-nya (ar-Risalah al-Qusyairiyyah). Itulah pula akidah yang telah kami yakini kebenarannya, serta merupakan akidah seluruh keluarga Rasulullah yang dikenal dengan as-Sadah al-Husainiyyin, yang dikenal pula dengan keluarga Abi ‘Alawi (Al Abi ‘Alawi). Itulah pula akidah yang telah diyakini oleh kakek-kakek kami terdahulu dari semenjak zaman Rasulullah hingga hari ini.

Adalah al-Imam al-Muhajir yang merupakan pucuk keturunan dari as-Sadah al-Husainiyyin, yaitu as-Sayyid asy-Syaikh Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali Ibn al-Imam Ja’far ash-Shadiq ~Semoga Ridla Allah selalu tercurah atas mereka semua~, ketika beliau melihat bermunculan berbagai faham bid’ah dan telah menyebarnya berbagai faham sesat di Irak maka beliau segera hijrah dari wilayah tersebut. Beliau berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lainnya, dan Allah menjadikannya seorang yang memberikan manfaat di tempat mana pun yang beliau pijak. Hingga pada akhirnya beliau sampai di tanah Hadramaut Yaman dan menetap di sana hingga beliau meninggal. Allah telah menjadikan orang-orang dari keturunannya sebagai orang-orang banyak memiliki berkah, hingga sangat banyak orang yang berasal dari keturunannya dan dikenal sebagai orang-orang Ahli Ilmu, Ahli Ibadah, para Wali Allah dan orang-orang Ahli Ma’rifat.

Sedikitpun tidak menimpa atas semua keturunan Al-Imam agung ini sesuatu yang telah menimpa sebagian keturunan Rasulullah dari faham-faham bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan. Ini semua tidak lain adalah merupakah berkah dari keikhlasan al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn ‘Isa dalam menyebarkan ilmu-ilmunya, yang karena untuk tujuan itu beliau rela berpindah dari satu tempat ke tampat yang lain untuk menghindari berbagai fitnah.

Semoga Allah membalas baginya dari kita semua dengan segala balasan termulia, seperti paling mulianya sebuah balasan dari seorang anak bagi orang tuanya. Semoga Allah mengangkat derajat dan kemulian beliau bersama orang terdahulu dari kakek-kakeknya, hingga Allah menempatkan mereka semua ditempat yang tinggi. Juga semoga kita semua dipertemukan oleh Allah dengan mereka dalam segala kebaikan dengan tanpa sedikitpun dari kita terkena fitnah. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih.

Dan ketahuilah bahwa akidah al-Maturidiyyah adalah akidah yang sama dengan akidah al-Asy’ariyyah dalam segala hal yang telah kita sebutkan".

Al-Imam al-Hafizh as-Sayyid Murtadla az-Zabidi (W 1205 H), dalam pasal ke-dua pada Kitab Qawa’id al-‘Aqa’id dalam kitab Syarh Ihya’ berjudul Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, juz 2, halaman 6, menuliskan; “Jika disebut nama Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah kaum Asy’ariyyah dan kaum Maturidiyyah”.


~Risalah al-Mu’awanah - as-Sayyid Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad
~Qawa’id al-‘Aqa’id - as-Sayyid Murtadla az-Zabidi

Keluarga Rasulullah S.A.W

Keluarga Rasulullah S.A.W

"Wahai keluarga Rasulullah, cinta kepada kalian semua adalah kewajiban dari Allah. Cukuplah (membuktikan) keagungan kedudukan kalian bahwa siapa yang tidak bershalawat kepada kalian, tidak sah shalatnya"

Mencintai Keluarga Nabi S.A.W

Mencintai keluarga Nabi S.a.w adalah kewajiban dalam agama, tidak seorangpun mengingkari hal ini kecuali orang yang belum tahu, atau pura-pura tidak tahu.

Sebagian mengatakan bahwa Nabi tidak mempunyai keturunan dari anak laki. Sebagian mengatakan bahwa keturunan Beliau sudah habis dibantai bani Umayyah, dan sebagian lagi mempermasalahkan keabsahan silsilah yang ada karena berbagai motif.

Mari simak Hadits suci dari lisan suci Nabi, Beliau S.a.w bersabda;

"Semua nasab terputus kelak di hari kiamat kecuali nasabku".

"Manusia yang pertama mendapat syafa'atku dari umatku di hari kiamat adalah keluargaku".

"Mengapa orang mengatakan bahwa hubungan kekeluargaanku tidak bermanfaat di hari kiamat? Ketahuilah bahwa kekeluargaanku selalu tersambung di dunia dan akhirat.". (H.R. Ahmad dan Hakim dalam Mustadrok).

Imam Al Hakim meriwayatkan tentang Ahlul Bait dengan syarat Syaikhoin: "Bintang sebagai pengaman untuk penduduk bumi dari kebinasaan dan jika orang-orang berselisih dengan mereka (ahlul bait) maka mereka para penyimpang menjadi golongan Iblis".

Cinta ahlul bait adalah ukuran kebaikan seseorang, Rasulullah S.a.w bersabda; "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pada keluargaku sepeninggalku, tidak kalian beriman sehingga aku lebih kalian cintai dari diri kalian, dan keturunanku (itrahku) lebih kalian cintai daripada keturunan kalian, dan keluargaku lebih dari keluarga kalian, dzatku lebih dari dzat kalian.". (H. R. Hakim, Thabarani, Abu Ya’la, dan Baihaqi).

Sungguh aneh jika masih ada orang mengingkari keberadaan keturunan Nabi, apalagi mengklaim dirinya sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah. Bagi orang awam seperti kita janganlah bingung, karena sejak dahulu kala kelompok semacam ini selalu ada. Cukup bagi kita nasihat Rasulullah, agar kita selamat dunia dan akhirat.

Nabi Muhammad S.a.w bersabda;

مثل أهل بيتي فيكم كسفينة نوح من ركبها نجي ومن تخلف عنها هلك. وفي رواية غرق، وفي رواية زج في النار

"Perumpamaan keluargaku seperti perahu nabi Nuh, yang menaikinya selamat dan yang menyimpang akan binasa". [Dalam riwayat lain 'akan masuk neraka']. (H.R Hakim dalam Mustadrok, Thabarani, Syihab dalam musnadnya dan Al-Bazzar).

Jangan sampai kepentingan pribadi dan ego menjadikan kita tidak taat pada sabda Rasulullah S.a.w.

Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan. Termasuk untuk para ahlul bait janganlah membanggakan nasab, akan tetapi ikuti selalu akhlaq Rasulullah S.a.w. Janganlah kita menjadi orang yang gila hormat, tapi jadilah orang terhormat di sisi Allah S.w.t.

~ Al Habib Muhammad Husein Al Habsyi ~ (www.muhammadhuseinalhabsyi.com).

Keturunan Rasulullah S.A.W


Keturunan Hasan dan Husein hingga kini masih ada, sebagian kecil para 'pembenci' keluarga Ahlulbait menafikan dzurriyah Rasul S.a.w, sebagaimana juga kelompok lain menafikan keabsahan Sahabat Rasul Radhiyallahu’ anhum, yang berjumlah 60 ribu orang, maka golongan sesat itu mengatakan bahwa seluruh sahabat itu sesat, terkecuali beberapa orang saja.

Sayyidina Hasan tidak wafat di kejadian Karbala, Beliau Radhiyallahu ‘Anhu wafat diracun sebelum kejadian Karbala. Beliau meninggalkan keturunan 11 orang putra dan 6 orang putri, dan kemudian keturunan adalah dari putra Beliau Hasan Mutsanna dan Zeid Radhiyallahu’ Anhuma.

Sayyidina Husein wafat di Karbala, Beliau mempunyai 6 orang anak lelaki dan 3 anak perempuan, Ali Akbar, Ali Awsat, Ali Ashghar, Abdullah, Muhammad, Jakfar, Zainab, Sakinah dan Fathimah.

Putera Hasan keseluruhannya wafat terkecuali Ali Awsat yang dikenal dengan nama Ali Zainal Abidin, mempunyai putra bernama Muhammad Albaqir, yang mempunyai Putra bernama Ja'far As-Shadiq. Yang menjadi guru dari Imam Hanafi, yang kemudian Imam Hanafi ini bermuridkan Imam Maliki, lalu Imam Maliki bermuridkan Imam Syafi’i dan Imam Syafi’i bermuridkan Imam Ahmad bin Hanbal. Ringkasnya seluruh Ulama Ahlussunnah waljama’ah mengakui keabsahan keturunan Rasul S.a.w dari Sayyidina Ali Zainal Abidin putra Al Husein R.a.

Sayyidina Ali Zainal Abidin ini dilahirkan hari kamis, 5 Sya’ban tahun 38 Hijriyah, masiih di masa hidup kakeknya yairtu Ali bin Abi Thalib K.w, dan diriwayatkan oleh Abu Hamzah Alyamaniy bahwa ia mengamalkan Ibadah 1000 raka’at tahajjud setiap malammnya, demikian pula Imam Ghazali yang banyak mengaguminya. Salah satu riwayat yang dikatakan oleh Imam Thawus Rahimahullah: “Ketika aku memasuki Hijr Isma’il ditengah malam yang gelap, ternyata Ali Zainal Abidin Putra Husein sedang sujud.. alangkah lama sujudnya, lalu kepalanya terangkat dan kedua tangannya terangkat bermunajat dengan suara lirih: “Hamba-Mu dihadapan Pintu-Mu, si miskin ini dihadapan Pintu-Mu, si faqir ini dihadapan Pintu-Mu….”.

Beliau wafat pada tahun 93 Hijriyah, dan ada pendapat mengatakan tahun 94 Hijriyah, dimakamkan di pekuburan Baqi’ (Madinah Almunawarah), di pusara yang sama dengan pamannya yaitu Hasan bin Ali K.w. Sayyidina Ali Zainal Abidin meninggalkan 15 orang anak, dan yang sulung adalah Muhammad Albaqir.

Rujukan: Kitab Al Ghurar, oleh Imam Al Muhaddits Muhammad bin Ali Alkhird (w 960 H). Kitab ini merupakan salah satu kitab Induk yang menjelaskan silsilah keturunan Rasulullah S.a.w.

~ Al Habib Munzir Al Musawa ~ (www.majelisrasulullah.org)


Puisi Cinta Untuk Keluarga Nabi S.A.W

Mereka keluarga suci dan mulia
Barang siapa dengan ikhlas mencintainya
Ia memperoleh pegangan yang sentosa
Untuk bekal kehidupan di akhiratnya

Merekalah keluarga suci dan mulia
Yang keluhurannya menjadi buah bibir dan cerita
Dan keagungannya diingat orang sepanjang masa

Hormat kepada mereka adalah kewajiban agama
Kecintaan kepada mereka wujud hidayah yang nyata
Menanti mereka adalah curahan cinta
Dan kecintaan kepada mereka adalah takwa

~ KH. Abdullah bin Nuh ~
Mencintai Keluarga Nabi S.a.w - Bekal Menuju Surga (halaman 266).


Apa dibalik keterkaitan nasab dengan Rasulullah S.A.W?

Keterkaitan nasab dengan Rasulullah S.a.w merupakan kebanggaan terbesar dan termulia di sisi orang-orang pandai dan bijak. Keluarga inti Beliau S.a.w dan cabang-cabangnya adalah keluarga dan cabang keluarga termulia, lantaran nasab mereka terhubung dengan nasab Beliau S.a.w dan keterkaitan kedudukan mereka dengan kedudukan Beliau S.a.w.

Ulama -semoga Allah merahmati mereka- bersepakat, pemimpin-pemimpin dari keluarga Beliau yang mulia adalah manusia terbaik dari sisi dzatiyah (materi fisik dan psikis)-nya pihak bapak dan kakek, dan bahwasanya mereka sama dengan selain mereka terkait hukum-hukum syari’at dan sanksi hukum.

Adakah Dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits, yang terkait dengan masalah itu?

Ada, di antaranya firman Allah S.w.t, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahli Bayt, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”. (QS Al-Ahzab [33]: 33).

Ulama mengatakan, firman-Nya “Ahli Bayt” mencakup tempat tinggal dan nasab. Dengan demikian, istri-istri Beliau S.a.w adalah Ahli Bayt tempat tinggal, dan kerabat Beliau adalah Ahli Bayt nasab.

Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan hal ini, di antaranya hadits yang disampaikan Ath-Thabarani (Al-Kabir 3/56) dari Abu Sa’id Al-Khudri R.a, ia mengatakan, “Ayat ini turun terkait Nabi S.a.w, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, semoga Allah meridhai mereka semua.”.

Dalam sebuah hadits shahih dinyatakan, Nabi S.a.w memberikan pakaian kepada mereka dan berdoa, “Ya Allah, mereka adalah keluargaku dan orang-orang khusus bagiku, hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.”. (Disampaikan oleh At-Tirmidzi No. 3871 dan Ahmad No. 6/292 dari hadits Ummu Salamah R.a. Imam At-Tirmidzi mengatakan, ”Ini hadits Hasan dan merupakan hadits terbaik yang diriwayatkan dalam hal ini". Menurut Allamah Arnauth dalam penjelasannya terhadap Al-Musnad, “Hadits ini Shahih.”).

Dalam riwayat lain dinyatakan, Nabi S.a.w mengenakan pakaian pada mereka dan meletakkan tangan Beliau pada mereka serta berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah keluarga Muhammad, maka jadikanlah shawalat dan keberkahan-Mu kepada keluarga Muhammad, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaperkasa.”. (Disampaikan oleh Ahmad 3/323, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 3/53, dan Abu Ya’la dalam Al-Musnad 12/344 dari hadits Ummu Salamah R.a).

Di antara ayat-ayat yang menunjukkan keutamaan mereka adalah firman Allah S.w.t, “Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), ‘Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istrimu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta’.” – QS Ali ‘Imran (3): 61.

Para ahli tafsir mengatakan, ketika ayat ini turun Rasulullah S.a.w memanggil Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, semoga Allah meridhai mereka. Lalu Beliau memangku Husain dan menggandeng tangan Hasan, sementara Fathimah berjalan di belakang Beliau dan Ali di belakang keduanya, lalu Beliau S.a.w berdoa: “Ya Allah, mereka itu adalah keluargaku.”.

Dalam ayat ini terdapat dalil yang jelas, bahwa anak-anak Sayyidatina Fathimah dan keturunan mereka disebut anak-anak Beliau S.a.w, dan nasab mereka dinisbahkan kepada Beliau dengan penisbahan yang Shahih dan berguna di dunia dan akhirat.

Dikisahkan, Harun Ar-Rasyid bertanya kepada Musa Al-Kazhim R.a, “Bagaimana kalian mengatakan bahwa kalian adalah anak-cucu Rasulullah S.a.w padahal kalian adalah keturunan Ali? Padahal, seseorang hanya dinisbahkan nasabnya kepada kakek dari pihak bapaknya, bukan kakeknya dari pihak ibu.”

Al-Kazhim menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ‘Dan kepada sebagian dari keturunannya (Ibrahim), yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, serta Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas’ – QS Al-An’am (6): 84-85. Isa tidak memiliki bapak, tetapi dia digabungkan dalam keturunan para nabi dari pihak ibunya. Demikian pula kami digabungkan dalam keturunan Nabi kita, Muhammad S.a.w, dari pihak ibu kami, Fathimah R.a. Lebih dari itu, wahai Amirul Mu’minin, saat turunnya ayat mubahalah, tidaklah Nabi S.a.w memanggil kecuali kepada Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain R.a.”.

Demikianlah kisah ini sebagaimana disebutkan Allamah Syamsuddin Al-Wasithi dalam Majma’ al-Ahbab.

Keutamaan dan Keistimewaan Keluarga Nabi S.A.W

Adapun hadits-hadits yang terkait keutamaan dan keistimewaan keluarga Nabi S.a.w cukup banyak, dan dalam hal ini para imam menyusun berbagai karya tulis tersendiri.

Di antara hadits-hadts tersebut adalah yang diriwayatkan Zaid bin Arqam R.a, “Suatu hari Rasulullah S.a.w berdiri di antara kami untuk menyampaikan ceramah di tempat air yang disebut Khumm, antara Makkah dan Madinah. Beliau S.a.w memuji dan menyanjung Allah S.w.t, menyampaikan nasihat dan peringatan, kemudian mengatakan;

"Ketahuilah, wahai manusia, sesungguhnya aku hanyalah manusia yang tidak lama lagi akan kedatangan utusan Tuhanku lantas aku memperkenankan dan aku meninggalkan di antara kalian dua peninggalan berharga. Yang pertama, Kitabullah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Terapkanlah Kitab Allah dan berpegang teguhlah padanya.", Beliau menganjurkan penerapan Kitab Allah dan menekankannya. Kemudian Beliau S.a.w bersabda; "Dan keluargaku. Aku ingatkan kalian pada Allah terkait keluargaku, aku ingatkan kalian pada Allah terkait keluargaku, aku ingatkan kalian pada Allah terkait keluargaku’.”

Hushain bertanya kepada Zaid, “Siapa saja keluarga Beliau, hai Zaid?, Bukankah istri-istri Beliau termasuk keluarga Beliau?”. Zaid menjawab, “Istri-istri Beliau termasuk keluarga Beliau, tetapi keluarga Beliau sesungguhnya adalah mereka yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal Beliau.”“Siapa saja mereka?” tanya Hushain lagi. Zaid menjawab, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.”. Hushain bertanya, “Mereka semua tidak diperkenankan menerima sedekah?”, “Ya,” jawabnya. (Disampaikan oleh Muslim No. 4425 dari hadits Zaid bin Arqam R.a).

Pada redaksi lain (terkait yang dikatakan Nabi S.a.w di Khumm), “Sesungguhnya aku meninggalkan di antara kalian dua perkara yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Salah satu dari keduanya lebih besar dari yang lain. Yaitu (pertama), Kitab Allah S.w.t, tali yang menjulur dari langit ke bumi, dan (kedua) keturunanku, keluargaku. Tidaklah keduanya berpisah hingga menemuiku di telaga surga. Maka, perhatikanlah bagaimana kalian sepeninggalku dalam mencintai keduanya.”. (Disampaikan oleh At-Tirmidzi No. 3788 dan lainnya, juga dari hadits riwayat Zaid bin Arqam).

Dalam salah satu syairnya, Imam Syafi’i R.a mengatakan:


Wahai keluarga Rasulullah
Cinta kepada kalian semua
adalah kewajiban dari Allah
dalam Al Qur’an yang diturunkan-Nya

Cukuplah keagungan kedudukan kalian
bahwa kalian semua
siapa yang tidak bershalawat kepada kalian
tidak sah shalat baginya


Seorang pentahqiq (yakni seseorang yang meneliti nash-nash secara mendalam) -semoga Allah melimpahkan manfaat melalui mereka-, mengatakan:

Siapa yang mencermati realita dan fakta, (maka) dia akan menemukan bahwa keluarga Nabi S.a.w ~secara umum, kecuali sedikit sekali~ adalah yang melaksanakan tugas-tugas agama, menyeru kepada syari’at pemimpin para Rasul (yakni Rasulullah S.a.w), bertaqwa kepada Tuhan mereka, kalangan terpilih lantaran kesungguhan mereka, menjalin persatuan yang kukuh“.

Sebuah maqalah mengatakan: ‘Siapa yang menyerupai bapaknya, dia bukan seorang yang aniaya.’.

Ulama mereka adalah para pemimpin umat dan tokoh terkemuka yang menyingkirkan tindak kezhaliman. Mereka (keluarga Rasulullah S.a.w) adalah keberkahan bagi umat ini. Mereka menyingkap berbagai kesuraman yang menyelimuti alam. Maka, harus ada di setiap masa dari kalangan mereka, yang lantaran mereka itu, Allah menghindarkan malapetaka dari manusia. Karena, mereka adalah keamanan bagi penduduk bumi, sebagaimana bintang-bintang adalah keamanan bagi penduduk langit.”.

Apakah penisbahan kepada Beliau S.A.W bermanfaat, baik di dunia maupun akhirat? Lalu, adakah dalilnya?

Ya, nisbah nasab kepada Beliau S.a.w berguna, di dunia dan akhirat. Dalil yang melandasi hal ini cukup banyak, di antaranya sabda Nabi S.a.w, “Setiap hubungan nasab dan sabab (hubungan kekeluargaan lantaran pernikahan) terputus pada hari Kiamat kecuali nasabku dan sababku.”. – Disampaikan oleh Ibnu Asakir dalam kitabnya At-Tarikh (21: 67) dari hadits Ibnu Umar R.a. Hadist ini menunjukkan besarnya manfaat penisbahan kepada Beliau S.a.w.

Dalil lainnya, adalah hadits yang disampaikan Ath-Thabarani dan lainnya. Dikutip dari sebuah hadits yang cukup panjang, “Setiap sabab dan nasab terputus pada hari Kiamat, kecuali sababku dan nasabku.”. (Disampaikan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 3/44 dan 11/343 dan Al-Ausath 6/357).

Dan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud R.a, ia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah S.a.w bersabda di atas mimbar, ‘Ada apa dengan orang-orang yang mengatakan bahwa keterkaitan nasab dengan Rasulullah S.a.w tidak berguna bagi kaum Beliau di hari Kiamat kelak?, Tentu (berguna), demi Allah, sesungguhnya keluargaku terjalin di dunia dan akhirat, dan sesungguhnya aku, wahai manusia, adalah yang mendahului kalian ke telaga surga’.”. (Disampaikan oleh Ahmad 3/18 dan lainnya dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri R.a).

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

~ Al Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith ~
Tanya Jawab seputar Aqidah - alKisah



Baca juga:
Cinta Kepada Keluarga Nabi S.a.w
- Sayyidatina Fathimah Az-Zahra - Wasilah Dzuriyah Nabi S.a.w
Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi

Ijtihad, Taqlid dan Bermadzhab

Ijtihad, Taqlid dan Bermadzhab

"Berhati-hati dan waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk 'bebas' ber-ijtihad, padahal mereka sendiri dan juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan Mujtahid"

Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat nash (teks) yang jelas, yang tidak mengandung kecuali satu makna tentangnya.

Jadi Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki keahlian dalam hal ini. Ia adalah seorang yang hafal ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa Al Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma' (konsensus para ulama) para ulama sebelumnya.

Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat besar lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat adalah; yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil, yang bila diperkirakan secara hitungan, jumlah dosa kecilnya tersebut tidak melebihi jumlah perbuatan baiknya.

Sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid, yakni mengikuti/menuruti pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut di atas.

Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini adalah hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

" نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها ، فربّ حامل مبلغ لا فقه عنده "  (رواه الترمذي وابن حبان)

Artinya: “Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataan-Ku, kemudian ia menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Bukti terdapat pada lafazh:   فربّ مبلغ لا فقه عنده ""

“Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”.

Dalam riwayat lain:       "وربّ مبلغ أوعى من سامع"

“Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan”.

Bagian dari lafazh hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa di antara sebagian orang yang mendengar hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wasallam ada yang hanya meriwayatkan saja dan pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut kurang dari pemahaman orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini (yang mendengar) dengan kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang pemahamannya kurang dari para murid dan orang yang mendengar hadits darinya. Pada lafazh lain hadits ini:

" فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه "

Artinya: “Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham darinya”. Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban.

Mujtahid dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi Shallallahu 'Alayhi Wasallam:

" إذا اجـتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجـتهد فأخطأ فله أجر "  (رواه البخاري)

Artinya: “Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (HR al Bukhari).

Dalam hadits ini disebutkan Penguasa (الحاكم) secara khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad daripada lainnya. Di kalangan para ulama salaf, terdapat para mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah yang enam; Sayyidina Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, al Hasan ibn Ali, Umar ibn Abdul Aziz, Syuraih al Qadli, dan lainnya.

Para Ulama Hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa Ahli Fatwa dari kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ada sekitar 200 (dua ratus) sahabat yang mencapai tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih.

Jika keadaan para sahabat saja demikian adanya, maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka”. Padahal telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid, akan tetapi mereka taqlid (ikut) kepada ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka.

Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersama suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan. Lalu aku bertanya kepada para Ahli Ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun?”. Rasulullah S.a.w berkata: “Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk 100 (seratus) kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 km~) setahun”.

Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh (yakni yang enggan bertaqlid, akhirnya tak bermadzhab) yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita juga manusia...”. 'Mereka' yang dimaksud adalah para Ulama Mujtahid seperti para Imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal).

Senada dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia junub, setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah!”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan). Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, Beliau S.a.w berkata; “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka bertanya kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya!”. Jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada Ahli Ilmu. Lalu Rasulullah S.a.w berkata; "Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa badannya". (H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya, tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang junub tersebut padahal mereka bukan 'Ahli' untuk berfatwa.

Kemudian di antara tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan Qiyas, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.

Maka berhati-hati dan waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, padahal mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama. Termasuk kategori ini adalah orang-orang yang (semisal di majelis-majelis atau di masjid) dimana mereka biasa membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu Ayat atau Hadits, padahal mereka tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama. Orang-orang semacam ini adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama Ushul Fiqh, karena para ulama ushul berkata; “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”, mereka juga menyalahi para ulama Ahli Hadits.

~ Ad-Durarus Saniyyah Fiy Bayaanil Maqalaati As-Sunniyyah - H. Kholilurrahman, Lc. MA ~

Wajibkah Bermadzhab?

Mengenai keberadaan negara kita di Indonesia ini adalah bermadzhabkan Syafi'i, demikian guru-guru kita dan guru-guru mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam Syafi'i, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga Rasul S.a.w, bukan sebagaimana orang orang masa kini yang mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya.

Kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di Makkah misalnya, maka madzhab di sana kebanyakan Hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri. Beda dengan sebagian muslimin masa kini yang gemar mencari yang aneh dan beda, tak mau ikut jama'ah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yang lain, hal ini adalah dari ketidakfahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.

Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara sharih, namun bermadzhab wajib hukumnya karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa-apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya? tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul S.a.w maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam-imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa beribadah hal hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.

Sebagaimana suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan maliki, maka zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam madzhab Malik dan tak sah pula dalam madzhab Syafi'i, karena madzhab Maliki mengajarkun wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab Syafi'i dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab Maliki, maka bersucimu kini tak sah secara Maliki dan telah batal pula dalam madzhab Syafi'i.

Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yang mengatakan bermadzhab tidak wajib, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas wudhunya? ia butuh sanad yang ia pegang bahwa ia berpegangan pada Sunnah Nabi S.a.w dalam wudhunya. Sanadnya berpadu pada Imam Syafi'i atau pada Imam Malik? atau pada lainnya? atau ia tak berpegang pada salah satunya sebagaimana contoh di atas.

Dan berpindah-pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah Malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab Syafi'i nya, demikian pula bila ia berada di Indonesia, wilayah madzhab Syafi’iyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain.

~ Al Habib Munzir Al Musawa ~
Kenalilah Akidahmu Bagian I

Wallahu waliyyuttaufiq wal hidayah



Baca juga: Menerapkan Al-Qur'an & Sunnah Dengan Merujuk Ulama

Chord dan Lirik

Ulasan Film

ad2

Keimanan dan Keyakinan

Olahan Makanan

Tempo Doeloe

Tips dan Trik

Explore Indonesia

Broker Kripto