Top Bisnis Online

Trading dan Investasi

ad1

Iklan Gratis

Tampilkan postingan dengan label Manaqib. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manaqib. Tampilkan semua postingan
Sufisme Syekh Yusuf al-Makassari

Sufisme Syekh Yusuf al-Makassari

Dalam catatan Lontara yang diwariskan kerajaan Gowa-Tallo, disarikan data bahwa Syekh Yusuf lahir pada 3 Juli 1628 M, tepat pada 8 Syawal 1036 H. Dengan demikian, Syekh Yusuf lahir setelah dua dekade pengisalaman kerajaan kembar Gowa-Tallo oleh ulama Minangkabau, yakni Syekh Abdul Makmur, disebut Datuk Ri Bandang.

Catatan Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, menyatakan bahwa ayah Syekh Yusuf bernama Gallarang Moncongloe, yang merupakan saudara dari Raja Gowa Sultan Alauddin Imang'rang' Daeng Marabbia, Raja Gowa yang beragama Islam. Sultan Alauddin menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada 1603 M. Ibu kandung Syaikh Yusuf, tak lain adalah Aminah binti Dampang Ko'mara, keturunan bangsawan kerajaan Tallo, kerajaan kembar yang berdampingan dengan kerajaan Tallo.

Kisah perjuangan Syekh Yusuf dalam mempertahankan kedaulatan di bumi Nusantara menjadikan dirinya diasingkan di Ceylon (Srilangka) dan Afrika Selatan. Syekh Yusuf tidak hanya milik masyarakat Bugis, namun juga warga muslim Nusantara, Ceylon dan Afrika. Presiden Afrika Selatan, pada 1994, menetapkan Syaikh Yusuf sebagai pejuang kemanusiaan. Sementara, di negeri ini, Syekh Yusuf dianggap sebagai waliyullah yang menyambungkan sanad keilmuan, menggerakkan perjuangan melawan kolonialisme hingga mewariskan jejaring tarekat yang dianut keluarga dan muridnya hingga kini.

Pada masa hidupnya, Syekh Yusuf membawa perubahan penting dalam perjuangan dakwah yang diembannya. Syaikh Yusuf dikenal di Kesultanan Banten, Tanah Bugis (Sulawesi Selatan), Ceylon (Sri Langka), dan Cape Town (Afrika Selatan). Dalam pengasingan di Ceylon dan Capetown, Syaikh Yusuf mengembangkan Islam dengan mengajar warga, hingga menjadi komunitas muslim di negeri tersebut. Jejak komunitas muslim dan keturunan Syekh Yusuf di Ceylon dan Capetown masih dapat dilacak hingga kini.

Pada 2009, Syekh Yusuf mendapatkan penghargaan Oliver Thambo, penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan. Penghargaan ini penting untuk mengenang sosok Syekh Yusuf di dataran Afrika, atas jasa besarnya dan menjadi inspirasi warga. Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, menyerahkan penghargaan langsung kepada tiga ahli warisnya, di antaranya Andi Makmun dan Syachib Sulton. Wapres Jusuf Kalla menyaksikan langsung prosesi penyerahan penghargaan ini, di Union Building, Pretoria, Afrika Utara.

Dari Bumi Bugis

Lahir di tanah Bugis, Syekh Yusuf mendapat tempaan pendidikan Islam dari keluarga dan ulama di kampungnya. Beliau mengaji al-Qur'an kepada Daeng ri Tamassang. Setelah itu, ia berkelana ke pesantren Bontoala untuk mengaji ilmu-ilmu bahasa, semisal Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan mantiq. Pada waktu itu, Syaikh Yusuf mengaji kepada ulama asal Yaman, Syed Ba'alawi bin Abdullah, yang dikenal sebagai al-allamah Tahir, pengasuh pesantren Bontoala. Setelah menamatkan belajar di Bontoala, Syaikh Yusuf melanjutkan mengaji kepada Syekh Jalaluddin Aidit, ulama asal Aceh yang mengembara ke Bugis. Di bawah asuhan Syekh Jalaluddin, di pesantren Cikoang, belajar selama beberapa tahun. Syekh Jalaluddin kemudian mengutus Syekh Yusuf untuk belajar ke tanah Hijaz, untuk mengaji lebih intens kepada ulama-ulama Haramain.

Tak lama berselang, pada 22 September 1644, Syekh Yusuf berangkat menuju Hijaz, dengan menggunakan kapal penumpang. Pada waktu itu, transportasi laut dari kawasan timur Nusantara melalui Banten untuk menyusuri selat Malaka, hingga menembus ke kawasan pesisir Arab. Ketika singgah di Banten, Syekh Yusuf berkenalan dengan putra mahkota kerajaan Banten, Abdul Fattah, yang merupakan putra Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Kadir (1598-1650), penguasa kerajaan Banten.

Selain Banten, dalam perjalanannya, Syaikh Yusuf singgah di Aceh. Di kawasan Serambi Makkah ini, Syekh Yusuf melakukan komunikasi dengan ulama dan pemimpin thariqah al-Qadiriyah di Aceh, Syaikh Muhammad Jilani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniry. Ketika singgah di Banten dan Aceh, Syekh Yusuf menghabiskan waktu selama sekitar 5 tahun, untuk melakukan interaksi dengan ulama setempat.

Dalam perjalanan panjangnya, Syekh Yusuf singgah di Yaman, atas saran dari gurunya selama di Acceh, Syaikh Muhammad Jilani. Di Yaman, Syekh Yusuf berguru kepada Syekh Abu Abdillah Muhammad Abdul Baqi (w. 1664), ulama terkenal di Yaman, khalifah tarekat an-Naqsyabandiyah. Syekh Yusuf tidak berhenti di satu titik, di satu guru. Ia terus berupaya menyegarkan dahaga spritual, dahaga pengetahuannya. Dalam pengembaraannya, Syekh Yusuf meneruskan perjalanan ke Bandara al-Zubaid, berguru ke Syed Ali al-Zubaidy (w. 1084), seorang muhaddits dan sufi. Dengan Syed Ali, Syekh Yusuf mendapatkan ijazah thariqah dari silsilah keluarga al-Sadah al-Ba'alawiyah.

Perjalanan panjang di Yaman, diteruskan menembus Makkah untuk menunaikan ibadah Haji. Kemudian, Syekh Yusuf menuju Madinah untuk ziarah ke makam Rasulullah S.a.w. Di kota ini, Syekh Yusuf berguru kepada Syaikh Ahmad al-Qusysyi (w. 1661), Mullah Ibrahim al-Kawrany (w. 1690), dan Hassan al-Ajamy (w. 1701). Tiga ulama inilah, yang menjadi referensi keilmuan dan tradisi tasawuf yang menyambungkan jaringan ulama Nusantara dengan ulama Haramain.

Syekh Yusuf masih belum puas dengan dahaga pengetahuan, dan kehausan akan guru yang mencerahkan. Ia terus berjalan menuju Syam (Damaskus) dan Turki. Di Syam, Syaikh Yusuf memperdalam pengetahuan, dan mengasah kepekaan bathin, kepada beberapa guru. Di antaranya, Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad al-Khalwaty al-Quraishi. Setelah berkelana Syam dan Turki, Syaikh Yusuf kembali ke Makkah, untuk mengaji dan mengajar. Ketika musim haji tiba, Syekh Yusuf mengajar santri-santri Nusantara, terutama yang berasal dari kawasan Bugis. Di antara murid-muridnya, ialah Syekh Abu al-Fath Abdul Basir al-Darir (Tuan Rappang), Abdul Hamid Karaeng Karunrung dan Abdul Kadir Majeneng, merekalah yang kemudian meneruskan ajaran tarekat Khalwatiyyah Syekh Yusuf di tanah Bugis.

Sufisme Syekh Yusuf

Bagaimana sufisme Syekh Yusuf, yang diwariskan kepada keturunan dan pengikutnya? Dalam pandangan Syekh Yusuf, Allah tidak ada yang menyerupai, tidak ada yang menandingi.

إ نه تعالى هو المو صوف بأ ية : ليس كمثله شى ء وسورة الأ خلاص

“Sesungguhnya, Allah Ta'ala disifati dengan ayat al-Qur'an al-Shura ayat II, yang bermaksud: Tiada Tuhan apapun yang menyerupai-Nya”.

Konsep tauhid Syekh Yusuf tidak lepas dari konsep tauhid ahl as-sunnah wal-jama'ah yang menetapkan zat dan sifat bagi Allah, sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur'an. Syekh Yusuf menyebutnya sebagai um al-i'tiqad, induk dari keimanan. Baginya, ayat tersebut menegaskan bahwa dasar Tauhid yang sebenarnya mesti dipegangi dan diyakini. Bahwa, unsur-unsur ketauhidan yang mesti diyakini orang yang menjalani suluk (pendekatan), di antaranya:

(1) Tauhid al-Ahad, meyakini bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Qadim (tidak berpemulaan), qadim bi-nafsih (berdiri sendiri), muqawwim lighairih (mengadakan selain-Nya). Allah Maha Tunggal, tidak bermula wujud-Nya, tiada ujung-Nya, dan tiada serupa-Nya.

(2) Tauhid al-Af'al, meyakini bahwa sesungguhnya Allah, pencipta segala sesuatu. Dialah yang memberi daya dan kekuatan dalam melaksanakan segala urusan. Allah berkehendak, dan semua kehendak manusia berada dalam kehendak Allah.

(3) Tauhid al-Ma'iyyah, meyakini bahwa sesungguhnya Allah bersama hamba-Nya, di manapun berada.

(4) Tauhid al-Ihatah, meyakini bahwa sesungguhnya Allah meliputi segala sesuatu.

Dimensi tasawuf Syaikh Yusuf bergerak dalam konsep keyakinan terhadap Allah, mengelaborasi konsep tauhid sebagai pintu masuk untuk mengenal dzat yang Maha Besar, Allah Maha Agung. Inilah jalan pembuka, yang disadari Syaikh Yusuf sebagai pelajaran awal bagi pengikutnya untuk mengenal Allah, mengenal Sang Pencipta.

Dalam risalah al-Futuhah al-Ilahiyyah, Syekh Yusuf merinci rukun tasawuf dalam sepuluh perkara. Bagi Syekh Yusuf rukun tasawuf ini, menjadi penting bagi salik untuk berada dalam garis perjalanan mendekat menuju-Nya. Sepuluh rukun tasawuf, yakni:

Pertama, Tahrid al-Tauhid, memurnikan ketauhidan kepada Allah, dengan memahami makna keesaan Allah, yang disarikan dari kandungan surat al-Ikhlas. Selain itu, meyakini Allah dengan menjauhi sifat tasybih dan tajsim.

Kedua, faham al-Sima'i, bermaksud memahami tata cara menyimak petunjuk dan bimbingan Syekh Mursyid dalam menjalani pendekatan diri, kepada Allah. Ketiga, Husn al-Ishra, bermaksud memperbaiki hubungan silaturahmi dan pergaulan. Keempat, Ithar al-Ithar, bermaksud mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri demi mewujudkan persaudaraan yang kukuh.

Kelima, tark al-ikhtiyar, bermaksud berserah diri kepada Allah tanpa i'timad kepada ikhtiar sendiri. Keenam, surat al-wujd, memahami secara jernih hati nurani yang seiring kehendak al-Haq. Ketujuh, al-kahf an al-khawatir, bermaksud membedakan yang benar dan salah.

Kedelapan, khatrat al-safar, bermaksud melalukan perjalanan untuk mengambil i'tibar dan melatih ketahanan jiwa. Kesembilan, tark al-iktisab, bermaksud mengandalkan usaha sendiri, akan tetapi lebih bertawakkal kepada Allah setelah berusaha. Kesepuluh, tahrim al-iddihar, bermaksud tidak mengandalkan pada amal yang telah dilakukan, melainkan tumpuan harapannya kepada Allah.

Bagi Syekh Yusuf, manusia yang sempurna (al-insan al-kamil) merupakan manusia yang sampai ke makam ma'rifat. Bukan hanya manusia biasa yang berislam secara dangkal. Syekh Yusuf memberi penekanan tentang hakikat ma'rifat dalam kekhususan tingkatan manusia sebagai al-insan al-kamil. Manusia sempurna akan ingat Allah dalam segala urusan, kapanpun dan di manapun berada.

Syekh Yusuf lahir pada 3 Juli 1628 M, di Gowa Sulawesi Selatan, dan wafat pada 23 Mei 1699 di Capetown, Afrika Selatan. Beliau sebagai pejuang, jembatan Ulama Nusantara dan Timur Tengah, serta sufi yang mengajarkan lautan ilmu kepada murid-muridnya. AlFatihah.***

Oleh: Munawir Aziz (esais dan peneliti, menulis beberapa buku tentang Islam Nusantara).
Sumber: Halaman Pecinta Ulama Nusantara

Imam Al Aydrus Al Akbar - Sohibur Ratib Al Aydrus (Bagian 2)

Imam Al Aydrus Al Akbar - Sohibur Ratib Al Aydrus (Bagian 2)

"Beliau adalah Al Habib Abdullah Al Aydrus bin Abu Bakar As-Sakran (Imam Al Aydrus Al Akbar), kepala para sadah Alawiyyin, pemilik kharisma dan keagungannya. Pembawa bendera orang-orang arif dan pemuka dari para wali di zamannya"

Sambungan dari tulisan pada Bagian pertama

Pandangan Beliau Terhadap Ulumul Kaum (istilah bagi ilmu tasawuf di Hadhramaut)

Di antara bidang keilmuan yang termasuk ulumulqaum antara lain: ilmul yakin, ainul yakin, haqqul yakin. Ilmul yakin dimiliki oleh para pengguna akal, ainul yakin terdapat pada kalangan ahli ilmu, sedangkan haqqul yakin dimiliki ahli makrifat dan pesaksian.

Bentuk persaksian banyak, antara lain persaksian hati dari pengaruh yang meliputinya dari persaksian terhadap ilmu, ahwal, dan mukasyafah.

(Faedah) Hati adalah tempat dari segala sifat yang terpuji, dan ruh merupakan kelembutan hati nurani, ia memiliki peningkatan maknawiyah di saat tidur ketika sukma meninggalkan raga kemudian kembali lagi kepadanya. Manusia terbina dari ruh/sukma dan raga, sebab Allah S.w.t menjadikan pada susunan itu keterkaitan antara satu dengan lainnya, kebangkitan berada dalam susunannya sendiri, pahala dan adzab berada dalam lingkupnya sendiri, arwah diciptakan, ruh sumber kebajikan, nafsu sumber kejahatan, akal tempat bersemayamnya arwah, dalam nafsu bersemayam hawa, dan sirr (rahasia Allah S.w.t yang dititipkan pada seorang wali) adalah cahaya maknawiyah tempat dari persaksian, arwah tempat cinta dan kasih sayang, dan hati merupakan bejana makrifat. Salah seorang ahli makrifat berkata: “Sirr sesuatu yang dirimu masih menyadarinya, sedangkan sirrussir apa yang tidak dapat terlihat kecuali yang Haq. Dan sirr lebih agung dari arwah, ruh lebih agung dari hati, sedangkan dada dari orang yang merdeka (dari hawa nafsunya) adalah tempat (kuburan) dari rahasia-rahasia Allah.".

Pandangannya Tentang Praktek Menempuh Ajaran Tarekat Al Qaum

Tahapan awal dari tarekat ini adalah taubat, yakni tingkatan pertama dalam maqam, syaratnya tiga, yaitu:

1. Penyesalan terhadap dosa yang pernah dilakukannnya.
2. Meninggalkan kemaksiatan seketika.
3. Keinginan kuat untuk selamanya tidak mengulanginya lagi.

Apabila memiliki tanggungan dengan sesama, maka  harus memenuhi syarat ke empat yaitu  menyelesai tanggungannya tersebut. jika setelah bertaubat, melakukan dosa lagi, kemudian bertaubat, maka taubatnya diterima selama syarat-syarat taubat di atas terpenuhi.

Pandangannya Tentang Mujahadah

Mujahadah adalah: Lapar, diam, menyendiri, jaga malam, membaca al Qur'an.

Pandangannya Tentang Taqwa

Kata takwa berasal dari “ittiqa al syirk” (menghindari penyekutuan), kemudian “ittiqa al maashi” (menghindari maksiat), setelah itu “ittiqa al syahawat” (menghindari syahwat), selanjutnya “ittiqa al fadalat” (menghindari sesuatu yang sia-sia).

Pandangannya Tentang Khauf (Takut) dan Raja’ (Harapan)

Al Khauf (takut) adalah meninggalkan maksiat karena takut kepada Allah S.w.t.
Al Raja’ (harapan) adalah berbuat taat sebaik mungkin demi mengharap pahala.
Al Raja’ al Kadzib (harapan yang bohong) adalah terus menerus berbuat dosa.
Berangan-angan adalah takut, sedangkan harapan adalah syarat dari iman, barang siapa yang tidak memiliki rasa takut dan pengharapan maka hatinya rusak.

Pandangannya Tentang Kesedihan yang Terpuji

Kesedihan yang terpuji adalah kesedihan terhadap hari akhir dan penyesalan terhadap dosa. Kesedihan adalah keutamaan dan bekal tambahan bagi seorang mukmin jika tidak disebabkan oleh maksiat.

Pendapatnya Tentang Hasad, Ghibtah dan Ghibah

Hasad” adalah tindakan seseorang yang menuntut hilangnya nikmat atas sesama umat Islam. Hasad adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap jauhnya dari Allah S.w.t. Sebab orang yang hasad tidak rela dengan ketentuan Allah S.w.t. Para ahli makrifat berkata: “Seorang yang hasad tidak akan dapat memimpin”. Adapun “ghibtah” maka hukumnya boleh, yaitu seseorang yang melihat suatu kebaikan atau harta pada saudaranya, kemudian berkeinginan agar seperti dia, dengan tidak mengharapkan hilangnya nikmat tersebut.

Sedangkan “ghibah”, membicarakan yang tidak disenangi saudaramu di saat ia tiada, walaupun hal itu benar-benar terjadi terhadapnya, apabila tidak demikian maka dinamakan dengan “buhtan”. Dan itu lebih berbahaya dari ghibah. Kedua dosa tersebut tidak dapat terhapus dengan hanya bertaubat, akan tetapi harus dengan meminta kerelaan dari yang dighibahi/dibuhtani kemudian bertaubat untuk dirinya dan siapa yang dighibai, lantas mendoakannya.

Pendapatnya Tentang Qana’ah

Menurut ahli makrifat, Qana'ah adalah: “Merasa cukup dengan apa yang ada, dan tidak berambisi dengan apa yang tidak ada”. Dikatakan pula: “Barang siapa yang qana'ah maka ia akan lapang terhadap ahli zamannya dan lebih tinggi dari saudaranya”.

Pandangannya Tentang Tawakkal

Seorang yang bertawakkal senantiasa menyandarkan urusannya kepada Allah S.w.t. Rela dengan apa yang telah menjadi ketentuan-Nya. Tawakkal tempatnya di hati, sedangkan aktivitas merupakan penyebab dan tidak kontradiksi dengan tawakkal. Hal ini setelah seorang hamba meyakini bahwa takdir dari Allah S.w.t, jikalau mengalami kesulitan maka itu adalah takdirnya, apabila ia mendapat taufik terhadap sesuatu (tercapai keinginannya) maka itu adalah kemudahan yang diberikan Allah S.w.t kepadanya. Syarat tawakal bagi ahli makrifat adalah: “Menyibukkan raga dengan ibadah, menggantungkan hati dengan Allah S.w.t. Tenang dengan merasa cukup, apabila diberi ia bersyukur, kalau tidak mendapat ia bersabar”.

Para ahli makrifat selalu berbekal jarum, benang, bejana, alat pemotong, dan sedikit bekal, dengan menggantungkan hatinya kepada Allah S.w.t, bertawakal kepada-Nya serta menyadari bahwa segala sesuatu dari-Nya dan kembali kepada-Nya.

Seharusnya bagi seorang yang bertawakkal tidak takut kecuali kepada Allah S.w.t, walaupun hujan tidak turun bertahun-tahun. tidak sedih karena rizki, jikalau ia bersedih karena untuk menutupi kekurangan dirinya dan keluarga maka hal itu adalah penghapus dari segala dosa-dosanya. Jika hujan tidak turun maka ia memohon rahmat dari Allah S.w.t. Karena tidak turunnya hujan adalah adzab Allah S.w.t terhadap manusia.

Pendapatnya Tentang Syukur

Arti “syukur” yang sebenarnya menurut ahli hakekat adalah: “Pengakuan terhadap nikmat Allah S.w.t dengan bentuk kepatuhan. Allah S.w.t telah menyifati Dzat-Nya dengan “Syakur”. Yang berarti anugerah-Nya yang banyak sebagai balasan amal perbuatan yang sedikit.

Jikalau anda rindu terhadap kelezatan syukur maka lihatlah siapa yang di bawahmu dalam segala urusan. Dan jangan sekali-kali melihat terhadap siapa yang berada di atasmu. Pengakuanmu terhadap ketidakmampuan dalam mengungkapkan rasa syukur adalah bentuk dari syukur.

Pendapatnya Tentang Keyakinan

Menurut ahli makrifat keyakinan adalah kokohnya iman, dikatakan: “Setelah makrifat adalah keyakinan kemudian pembenaran, setelah itu keihklasan, selanjutnya persaksian, kemudian ketaatan, yang hasilnya adalah pengamalan perintah dan menjauhi segala bentuk larangan serta mengikuti apa yang ada dalam al Qur'an dan sunnah".

Pendapatnya Tentang Kesabaran

Menurut ahli makrifat, kesabaran adalah menjauhkan diri dari segala pelanggaran, tenang ketika ditimpa lara, menampakkan kecukupan dengan kekurangan hidup yang dijalaninya. Menurut ahli makrifat: “Merasakan kepahitan tanpa bermuram wajah, sebaik-baiknya kesabaran adalah kesabaran seorang hamba dalam meninggalkan segala bentuk dosa, mengamalkan seluruh perintah dalam ketaatan dan senantiasa berpegang teguh pada Al Qur'an dan Sunnah".

Pendapatnya Tentang Muraqabah (Pengawasan)

Muraqabah (pengawasan) adalah: Pengetahuan (kesadaran) terhadap pengawasan Allah S.w.t bagi dirinya secara berkesinambungan. Siapapun yang memiliki pengetahuan ini  maka hendaknya senantiasa menjaga amal perbuatan, perkataan, dan apapun yang terbersit dalam sanubari dari hal-hal yang tidak disukai Allah S.w.t. Hendaknya ia merasakan pengawasan ini dengan terus-menerus perintah dan larangan Allah S.w.t. Menurut ahli makrifat: “Jikalau anda bersama manusia maka jadilah penasehat (memperhatikan) hati dan nafsumu, jangan sampai keberadaan mereka melalaikanmu, sesungguhnya mereka memperhatikanmu dari segi lahiriah saja, sedangkan Allah S.w.t mengawasi sisi batinmu".

Pandangannya Tentang Kerelaan (Ridha)

Menurut sebagian pendapat: Kerelaan adalah kasby (dapat ditempuh dengan usaha), pendapat lain mengatakan: Kerelaan adalah sesuatu yang bersemayam dalam hati seperti halnya ahwal (istilah dalam kesufian mengenai suasana hati), kerelaan adalah meninggalkan segala bentuk penentangan (ketidakpuasan) terhadap ketentuan Allah S.w.t.

Pandangannya Tentang Ubudiyah (Penghambaan diri)

Menurut ahli makrifat, ubudiyah (penghambaan) terbagi kepada empat bagian  yaitu: “Menepati janji, menjaga segala had (keputusan, hukum agama), rela dengan apa yang ada, sabar terhadap apa yang tidak ada".

Pandangannya Tentang Iradah (Keinginan)

Iradah (keinginan, obsesi) adalah meninggalkan kebiasaan dalam mengikuti hawa nafsu, menumpuk harta, cinta dunia, dsb. Hakekat iradah adalah kebangkitan hati dalam menuntut hak Allah S.w.t.

Pandangannya Tentang Istiqamah

Istiqamah adalah  kekokohan dalam berpijak di atas jalan yang lurus. Yaitu dengan mengikuti al Qur'an dan sunnah, dan senantiasa berpegang teguh dengan adab-adab syariat, takwa kepada Allah S.w.t. Lahir bathin tidak terombang-ambing. Tanda para pemula (dalam suluk) adalah dengan tidak mengotori amal perbuatannya (dengan dosa) walau sekejap. Tanda dari ahli tawasut (tahapan pertengahan) tidak adanya kesulitan mengenai hubungannya (dengan Allah) walau sesaat, sedangkan tanda dari ahli nihayaat (tahapan akhir) kemampuan tidak mencampur-adukkan segala bentuk pertimbangan dalam agama (hujjah).

Sebagian ahli makrifat berkata: “Jadilah orang yang istiqamah bukan pencari karamah, sesungguhnya nafsumu mengajak untuk menuntut karamah, sedangkan Tuhanmu menuntutmu untuk beristiqamah".

Pandangannya Tentang Keikhlasan

Keikhlasan adalah: menjadikan ketaatan hanya untuk Allah S.w.t. Yaitu keinginan menjadikan amal taatnya hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah S.w.t bukan untuk yang lainnya seperti kepura-puraan terhadap manusia, mencari pujian, cinta sanjungan manusia. Para ahli makrifat berkata: “Riya’ tidak dapat diketahui oleh orang yang ikhlas, dan sidq (kebenaran dalam bertindak) adalah pedang Allah S.w.t, apabila diletakkan di atas sesuatu maka ia akan memotongnya".

Pandangannya Tentang Haya’ (Malu)

Menurut ahli makrifat, haya’ (perasaan malu) terbagi kepada hal berikut:

1. Malu karena perbuatan salah, seperti malunya Nabi Adam A.s.
2. Malu karena kekurangan diri dalam berbuat, seperti malunya para malaikat, mereka berkata: “Kami belum mampu untuk menyembah engkau (wahai Allah S.w.t) dengan sebenarnya".
3. Malu karena keagungan, sebagaimana Israfil A.s saat merendahkan sayapnya karena malu kepada Allah S.w.t.
4. Malu karena dermawan, seperti malunya Rasulullah S.a.w. Beliau malu terhadap para tamunya untuk keluar, Allah berfirman : ولا مستأنسين لحديث   Artinya : “Tanpa asyik memperpanjang percakapan”.
5. Malu karena kesopanan, seperti malunya Ali R.a. Tatkala malu untuk bertanya kepada Rasulullah S.a.w, tentang hukumnya madzi karena keberadaan Fatimah R.a.
6. Malu karena kehadiran Allah S.w.t. Seperti malunya Musa A.s. Saat berkata kepada Tuhannya: “Sesungguhnya aku punya keinginan akan tetapi malu untuk meminta kepadaMu”. Allah berfirman : “Mintalah kepadaku walaupun air adonan rotimu dan makanan hewanmu”.
7. Malu karena kemuliaan, sebagaimana malunya Allah S.w.t terhadap hamba-Nya ketika menghadirkan kitab tentang keputusan keberadaan seorang hamba setelah melewati shirat (jembatan neraka), di dalamnya terdapat apa yang telah engkau perbuat, maka Aku malu untuk memperlihatkannya kepadamu, pergilah, engkau sudah Aku ampuni.

Pandangannya Tentang Hurriyah (Kebebasan)

Al hurriyah (kebebasan) secara bahasa berarti al khulus (pelepasan). Kebebasan dzat berarti pelepasan dirinya dari sesuatu yang tercela. Menurut ahli hakekat, kebebasan merupakan kemurnian dzat dari cinta dunia, cinta martabat, kemasyhuran atau ketergantungan perasaan kepada selain Allah S.w.t.

Pandangannya Tentang Dzikir

Dzikir terbagi menjadi dua, dzikir dengan lisan, kemudian dzikir dengan hati, ketahuilah bahwa dzikir adalah tahap pertama dalam tarekat yang diawali dengan dzikir dengan lisan, kemudian dzikir hati dengan bersusah payah, kemudian secara naluriah, kemudian objek dzikir meliputi hati secara naluriah. Dan petunjuk Allah S.w.t terdapat setelah tahapan tersebut.

Pendapatnya Tentang Futuwah (Kerendahan Diri)

Para ahli makrifat berkata: “Futuwah adalah berlapang dada terhadap kesalahan saudara sesamanya”. Dikatakan pula: ”Futuwah adalah dengan tidak melihat dirimu lebih mulia dari orang lain. Sedangkan muruah (keperwiraan) merupakan bagian dari futuwah”.

Pandangannya Tentang Firasat

Firasat berasal dari kuatnya iman. Dalam hadist diriwayatkan: “Takutlah kalian terhadap firasat seorang mukmin, karena sesungguhnya ia melihat dengan nur (cahaya petunjuk) Allah S.w.t.”. Para ahli makrifat berkata: “Firasat adalah bersitan dari cahaya ghaib dalam hati, dan penetapan pengetahuan terhadap makna yang terkandung dari hal yang tersembunyi dari ghaib kepada yang ghaib, sehingga dapat menyaksikan segala sesuatu yang dipersaksikan Allah S.w.t kepadanya”.

Para ahli makrifat berkata: “Barang siapa yang menundukkan matanya dari segala yang tidak diperbolehkan agama, dan menahan dirinya terhadap segala bentuk syahwat dan senantiasa memakmurkan hatinya dengan muraqabah (menyadari pengawasan Allah S.w.t), mengikuti Sunnah dalam tindakannya, membiasakan dirinya mengkonsumsi makanan halal, maka firasatnya tidak akan meleset".

Pandangannya Tentang Akhlak Yang Terpuji

Yaitu berbuat baik terhadap siapa yang menyakitimu, mengasihi makhluk Allah S.w.t walaupun ia musuhmu. Tingkatan paling rendah dari akhlak yang terpuji adalah memikul segala derita. Dan akhlak yang terpuji adalah sebagian dari iman.

Pandangannya Tentang Al Jud (Kemurahan Hati) dan Al Sakha’ (Kedermawanan)

Al Sakha’ menurut  ahli makrifat adalah tingkatan pertama, baru kemudian al Jud, dan tingkatan selanjutnya adalah al istar (pengutamaan yang lain). Barang siapa yang memberi sebagian dan menyisakan sebagian maka ia disebut orang yang sakha’, siapa yang mengeluarkan yang lebih dan menyisakan lebih sedikit untuk dirinya maka ia disebut orang yang jud, dan barang siapa yang menginfakkan seluruh hartanya dan bersabar dengan rasa lapar maka ia disebut orang yang itsar.

Pandangannya Tentang Al Ghirah (Kecemburuan)

Ghirah dari seorang hamba terhadap Allah S.w.t adalah dengan tidak menjadikan sedikitpun dari keadaannya, nafasnya untuk selain Allah S.w.t. Jikalau Allah S.w.t menyifati dzat-Nya dengan ghirah maka berarti tidak rela adanya sekutu terhadap hak-Nya dari ketaatan hambanya.

Pendapatnya Tentang Kewalian

Tanda seorang wali tiga perkara yaitu: kesibukannya dengan Allah S.w.t, pengembalian segala urusannya kepada Allah S.w.t, keinginannya hanya Allah S.w.t.

Pendapatnya Tentang Doa

Rasulullah S.a.w Bersabda: “Doa adalah otak dari ibadah”. Dan doa adalah tanda kepahaman terhadap ibadah. Sebagian kalangan berpendapat doa adalah diam tiada bergeming di bawah ketentuan hukum, kemudian rela dengan apa yang telah menjadi pilihan Allah S.w.t, dan itu lebih utama.

Pendapatnya Tentang Kefakiran

Kefakiran perlambang para wali, hiasan orang-orang tulus, dan pilihan Allah S.w.t untuk manusia pilihan-Nya dari para Nabi, orang-orang yang bertakwa, dan orang-orang fakir, hamba-hamba pilihan-Nya dan tempat penitipan rahasia-Nya. Para ahli makrifat berkata: “Orang-orang membicarakan kefakiran dan kekayaan (tidak butuh uluran tangan orang lain) apa yang lebih utama?” beberapa kalangan dari mereka berkata: “Yang utama, seorang yang memenuhi kebutuhannya setelah itu menjaga diri terhadapnya (harta kekayaan)”.

Pandangannya Tentang Tasawuf

Sufi berasal dari suf (kain wol) yaitu seorang yang memakai kain wol, dan maksudnya saat ini adalah sekelompok individu tertentu yang menghiasi dirinya dengan ibadah dan sibuk dengan penyucian hati, sedangkan hakekat dari tasawuf adalah ketika al Haq (Allah S.w.t) mematikan dirimu dan dengan-Nya dirimu hidup. Menurut para ahli makrifat: ”Tasawuf adalah memasuki setiap akhlak yang tinggi dan keluar dari setiap akhlak yang rendah. Tanda seorang sufi yang agung adalah menjadikan dirinya laksana bumi yang setiap kejelekan dilemparkan kepadanya akan tetapi sang bumi tetap mengeluarkan yang manis.”.

Pandangannya Tentang Adab

Hakekat adab adalah terkumpulnya setiap sifat yang terpuji, orang yang beradab adalah orang yang terdapat pada dirinya segala sifat yang terpuji, seorang hamba dengan ketaatannya dapat sampai kepada surga, dan dengan adab dalam ketaatannya dapat sampai kepada Allah S.w.t.

Beberapa ahli makrifat berkata: Adab ahli dunia dalam kefasihan dan balagah (keindahan tatanan bahasa Arab) adalah dengan menjaga ilmu-ilmunya, nama-nama raja, dan syair-syair Arab. Sedangkan adab ahli akhirat adalah dengan melatih jiwa dan menggembleng raga serta menjaganya dari hawa nafsu. Adapun adab orang-orang khusus adalah penyucian hati, menjaga segala rahasia, menepati janji, menjaga waktu, tidak sering melihat kepada kata perasaan, beradab baik dalam posisinya sebagai seorang pencari. Dan waktu-waktu penghadiran terdapat dalam maqam-maqam kedekatan.

Pandangannya Tentang Safar (Bepergian)

Bepergian ada dua macam: Bepergian dengan badan, yaitu berpindah dari satu ke tempat yang lain. Dan bepergian dengan hati, yaitu naiknya dari satu sifat kepada sifat yang lain.

Pandangan Tentang Assuhbah (Bersahabat)

Bersahabat ada tiga macam: “Bersahabat dengan siapa yang berada di atasmu, hal ini pada hakekatnya adalah keselamatan, kemudian bersahabat dengan siapa yang berada di bawahmu, dalam hal ini seorang yang diikuti hendaknya senantiasa  bersikap istar (mengedepankan orang lain), kasih sayang, dan futuwah (kedermawanan).

Pandangannya Tentang Keadaan di Saat Kematian

Sebagian dari mereka yang tampak padanya adalah kewibawaan, sebagian lain tampak padanya pengharapan, sebagian lagi tampak pada mereka keadaan yang menjadikan dirinya diliputi dengan ketenangan dan kasih sayang.

Pandangannya Tentang Makrifat

Seorang yang Arif adalah yang mengetahui Allah S.w.t dengan asma dan Sifat-sifat-Nya. Kemudian setiap tindak tanduknya benar-benar hanya untuk Allah S.w.t. Menghilangkan akhlak yang hina serta segala faktor-faktor penyebabnya. Kemudian dalam waktu panjang bersimpuh di depan pintu (Allah S.w.t), hatinya senantiasa bersama-Nya, lantas segala penghaturannya diterima oleh Allah S.w.t, setiap keadaanya benar-benar untuk Allah S.w.t, segala yang membahayakan jiwanya sirna, hatinya tidak mendengar apa selain Allah S.w.t. Maka akhirnya, di antara para makhluk ia laksana orang asing, terlepas dari segala yang membahayakan jiwanya, bersih dari segala keacuhan dan perhatian, munajatnya terhadap Allah S.w.t terus-menerus secara tersembunyi, setiap saat ia benar-benar mengembalikan segala urusannya kepada Allah S.w.t. Maka jadilah ia orang yang kata-katanya bersumber dari Allah S.w.t, dengan pengetahuan munajat dan rahasia-rahasia-Nya yang terdapat dalam ketentuan kodrat-Nya, pada saat itulah ia dinamakan seorang yang Arif, keadaannya dinamakan keadaan yang diliputi pengetahuan. Dzun nun –semoga Allah S.w.t merahmatinya- berkata tanda orang Arif ada tiga:

1). Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya (kehati-haitannya)
2). Tidak meyakini adanya hikmah syariah dan ilmu secara batin, yang tidak sesuai dengan tuntutan syariat secara lahiri. Maksudnya: tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan syariat.
3). Banyaknya nikmat Allah S.w.t terhadapnya tidak menggiringnya kepada perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh Allah S.w.t.

Pandangannya Tentang Mahabbah (Cinta)

Cinta berasal dari Allah S.w.t untuk hamba-Nya, terkadang dari hamba untuk Allah S.w.t, adapun cinta Allah S.w.t terhadap hamba-Nya terdapat pada kehendak-Nya dalam memberikan nikmat khusus terhadap hamba-Nya. Adapun cinta hamba terhadap Allah S.w.t terjadi ketika seorang hamba mendapatkan dalam hatinya sebuah keadaan yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, terkadang keadaan tersebut membawanya kepada pengagungan dan mengedepankan ridha Allah S.w.t, tidak dapat bersabar terhadap-Nya dan sangat membutuhkan-Nya, tidak dapat berpisah dari-Nya, terdapat ketenangan di saat hatinya mengingat-Nya, dan kerinduan melebihi sebuah cinta, dan isytiyaq (merindukan) melebihi dari syauq (kerinduan). Syauq (Kerinduan) adalah keinginan hati untuk bersua dengan dzat yang dicinta. Kerinduan terobati dengan perjumpaan dan pandangan. Adapun isytiyaq (merindukan) tidak dapat sirna dengan perjumpaan.

Pandangannya Tentang Menjaga Hati Syekh

Seorang murid harus menjaga hati para syekhnya, meninggalkan pertentangan terhadapnya. Seorang murid hendaknya menjaga hati guru pembimbingnya dan tidak menentangnya. Menafsirkan segala perbuatan dan perkataannya dengan baik. Barang siapa yang bersama Syekh kemudian hatinya menginkarinya maka ia telah melanggar peraturan bersahabat dan bersamanya. Para ahli makrifat berkata: “Barang siapa yang berkata kepada guru dan syekhnya: 'kenapa?..', maka ia tidak beruntung”.

Pandangannya Tentang Karamah Wali

Penampakan karamah para wali dapat terjadi, tidak ada yang melarang kebolehannya, dan keberadaan karamah terhadap umat adalah kebenaran. Karamah tidak terdapat kepada seluruh wali, siapa yang pada dirinya terdapat sifat-sifat kewalian dan tidak tampak darinya karamah maka kewalian tidak tercemar karenanya. Para wali dalam penampakan kewaliannya berbeda satu dengan yang lain, kebanyakan dari mereka tidak menampakkannya, sebagian yang lain menampakkannya, agar kebenarannya tampak dan tarekatnya dapat dijaga, sehingga umat manusia dapat mensuri-tauladaninya dan bertaubat dari segala maksiat dengan barokahnya.

Pandangannya Tentang Wasiat Ahli Makrifat Terhadap Murid

Seyogyanya bagi seorang murid untuk mengetahui ilmu dari kitab-kitab fiqih seperti “at Tanbih” karya Abu Ishak, “Minhaj” karya Imam Nawawi, dan dari kitab-kitab suluk (tasawuf) kitab-kitab karya Imam Ghazali seperti “Minhaj al Abidin”,  “al Arbain al Ashl”, “Ihya Ulumiddin”, “Nasyr al Mahasin” atau “al Irsyad” karya al Yafi’ie. Hal itu agar akidah dan ibadahnya benar, dan mengikuti madzhab as-Syafi'ie dalam bidang fiqh, yang merupakan salah satu dari madzhab yang ada. Meninggalkan keringanan-keringanan agama kecuali dalam keadaan mendesak, mengikuti seorang syekh dan menempuh jalan ke surga. Dan hendaklah ia menyampaikan kepada syekhnya apa yang tersirat dalam benaknya, serta apa yang dilihat dalam tidurnya untuk membedakan  bisikan Allah S.w.t dan bisikan syetan,  menjelaskan kepadanya tentang maqam dan segala ilmunya juga amalan yang ada di dalamnya.

Pandangannya Tentang Pakaian

Ketahuilah bahwa ijtihad mereka dalam hal pakaian berbeda satu dengan yang lain. Dari mereka ada yang berpakaian seadanya tanpa memberatkan diri, dan menyuruh para murid untuk memakai pakaian seadanya. Sebagian yang lain ada yang tidak suka memiliki pakaian lebih dari satu, sebagian lagi ada yang memperbolehkan memiliki dua pakaian untuk berhati-hati dalam bersuci, maksudnya: apabila pakaian satunya najis, maka ia memakai pakain yang lain.

Pandangannya Tentang Assama’ (Mendengarkan)

Ketahuilah bahwa mendengar bait-bait syair dengan alunan nada yang indah dan enak dalam pendengaran, jikalau bukan hal yang haram, atau tidak mendengar sesuatu yang dicela syariat maka hukumnya secar global boleh. Sudah disepakati bahwa bait-bait syair pernah dilantunkan di hadapan Nabi Muhammad S.a.w. Beliau menyimaknya dan tidak menginkarinya.

Banyak kalangan ulama yang memiliki karya dalam bidang ini, Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumiddin” di akhir pembahasan “al Sama’ wal Wajd” berkata: “Bahwasanya sama (menyimak) terkadang hukumnya haram, terkadang mubah, bahkan kadang-kadang mustahab, atau makruh.

Adapun yang diharamkan adalah sama oleh kebanyakan para pemuda, dan siapapun yang dirinya masih di pengaruhi oleh keduniaan, karena sama menggerakkan hati sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya dari sifat-sifat yang tercela.

Sedangkan yang makruh adalah sama yang dilakukan atas dasar tradisi pada kebanyakan waktu, sebagai hiburan dan main-main tidak ada kaitannya dengan keadaan hati. Hukumnya mubah bagi siapa yang asyik mendengarkannya karena lantunan suara yang indah. Adapun sama menjadi mustahab, bagi mereka yang dirinya dikuasai oleh cinta kepada Allah S.w.t. Dan sama mengajak dirinya kepada sifat-sifat yang terpuji.

Demikianlah sebuah manaqib ringkas dari seorang Imam besar Wali Allah, semoga kita dapat mengambil keteladanan dari akhlak dan semua pengajaran Beliau, serta dapat memetik hikmah dan barakah dari Beliau kekasih Allah S.w.t. Kita kirimkan bacaan Al Fatihah untuk Beliau.

Sekian, Wallahu a’lam.

Riwayat Hidup Habib Al Aydrus Al Akbar
~ Syekh Abdullah bin Abu Bakar bin Syekh Abdurrahman Assegaf ~ (w: 671 H)
~ indo hadhramaut ~

Imam Al Aydrus Al Akbar - Sohibur Ratib Al Aydrus (Bagian 1)

Imam Al Aydrus Al Akbar - Sohibur Ratib Al Aydrus (Bagian 1)

"Beliau adalah Al Habib Abdullah Al Aydrus bin Abu Bakar As-Sakran (Imam Al Aydrus Al Akbar), kepala para sadah Alawiyyin, pemilik kharisma dan keagungannya. Pembawa bendera orang-orang arif dan pemuka dari para wali di zamannya"

Syahidul Hal: Dengan keagungannya Tarim mendapat kemuliaan bagaikan purnama yang tampak dengan kesempurnaan sinarnya.

Barisan para wali terkumpul bagaikan ka’bah yang berkilau di masanya. Dari para pengamal ketaatan, yang rukuk, yang bersujud, yang tawaf tidak melepaskan ihramnya.

Dengannya bulan-bulan kebahagiaan menjadi murni, andaikan tampak di kegelapan akan menyirnakan gelap gulitanya. ~ Syekh Abdullah bin Abdurrahman Ba Wazir, dikutip dari kitab “Tarikh Hadramaut” Hal. 765.

Pembukaan

Segala puji bagi Allah S.w.t, yang telah menyemayamkan mahkota pada setiap awal zaman kepada para tokoh dan Syekh pembimbing yang sempurna, menjadikan hikmah sebagai sumber makrifat untuk sampai kepada tujuan. Para pemuka agama dan pewaris kepala dari segala utusan (Muhammad S.a.w), mereka yang mengikutinya dengan perkataan, perbuatan, niat, dedikasi, keinginan, ibadah dan kebenaran serta kekokohan keyakinan. Beserta para keluarga yang agung, para sahabat dan para pengikut mereka hingga hari kiamat.

Para pembaca yang budiman, kali ini saya tampilkan figur dari para tokoh madrasah Hadramaut, salah seorang pemuka Islam yang mengamalkan pedoman dakwah Rasulullah S.a.w. Yang adil dan kokoh. Sosok yang dikaruniai Allah S.w.t ilmu, amal, obsesi dan tingginya cita-cita. Di zaman itu sosoknya bagaikan tetesan air hujan yang berguna.

Setiap tanah tumbuh subur di mana mereka berada, laksana hujan yang menyirami bumi. Beliau menancapkan tiang untuk para murid, dan mengangkat cita-cita pencari ilmu, menyadarkan pikiran orang-orang yang lalai, untuk mengerti dakwah pemuka para utusan (Muhammad S.a.w). para pencari kebenaran dari beberapa penjuru bersimpuh di depan pintunya, keberadaanya membangkitkan semangat ahli ibadah, para ahli zuhud, dan para pemimpin, menuju sebaik-baiknya ajaran dan pedoman. Dengannya Allah menghilangkan bid`ah sampai ke akarnya, dan menghidupkan sunnah dan menumbuhkannya.

Imam Al Aydrus hidup di era persimpangan penting terhadap eksistensi madrasah Hadramaut, baik dari segi pengokohan kaidahnya, maupun dari aspek penyebaran tarekat ke segala penjuru, selamat menikmati sajian kami tentang riwayat hidup tokoh ini. Wabillahittaufik

Silsilah Keturunan

Al Musthafa Rasulullah S.a.w
Imam Ali dan Fatimah az Zahra R.a
Iman Husain
Imam Ali Zainal Abidin
Muhammad al Baqir
Ja`far Shadiq
Ali al Uraidy
Muhammad al Naqib
Isa Al Rumi
Ahmad al Muhajir
Abdullah
Alawi
Muhammad
Alawi
Ali Khali` Qasam
Muhammad Shahib Mirbath
Ali
Muhammad al Faqih al Muqaddam
Alawi
Muhammad Maula ad Dawilah
Abdurrahman as Segaf
Abu Bakar al Sakran
Abdullah al Aydrus
Abu Bakar al Adani Syekh Alawi

Sekilas Tentang Imam Al Aydrus Al Akbar

Beliau adalah panutan yang diakui kapabilitasnya, pemimpin para wali yang disepakati kewaliannya, pembawa bendera orang-orang arif, peletak dasar ilmu orang-orang yang benar, kepala para Sadah Alawiyin, pemegang tali simpulnya dan pemilik kharisma dan keagungannya.

Disebutkan dalam al Musyri: Al Aydrus (al Idrus) gelar terhadap pimpinan para wali. Sebagian orang mengatakan: al Itrus diambil dari nama singa, Jauhari berkata: al Itrasah (menempuh jalan kekerasan), ciri dari harimau. Al Allamah Muhammad bin Umar Bahraq berkata : “Bisa saja huruf ta’ dalam kalimat (al aidrus) diganti dengan huruf dal karena berasal dari satu makhraj (tempat keluarnya huruf di mulut), kita ketahui bahwa singa adalah pemuka dari hewan buas, sedangkan al Idrus merupakan pemuka dari para wali di zamannya.

Kelahiran dan Riwayat Hidup

Lahir –semoga Allah meridhainya– pada sepuluh awal dari bulan Dzulhijjah tahun 811 Hijriyah. Ketika kakeknya Syekh Abdurrahman As Segaf mendengar kabar kelahirannya, beliau berkata: “Ia adalah seorang sufi di zamannya”, hafal al Qur'an al Karim, memperoleh kesempatan hidup bersama kakeknya Syekh Abdurrahman selama  8 tahun. Beliau telah melihat dan memberkatinya, sempat belajar kepada kakeknya, dan pernah dikatakan bahwa ia akan memiliki kelebihan tertentu.

Beliau tumbuh dalam kemuliaan di bawah bimbingan ayahnya Imam Abu Bakar yang bergelar “al Sakran”. Sangat menyayanginya di masa kecil, mengayominya dengan kasih sayang. Kharismanya ia salurkan kepadanya. Sang ayah meninggal ketika beliau berumur 10 tahun. Setelah itu beliau dirawat dan dibimbing oleh pamannya Syekh al Imam al Mighwar al Syekh Umar al Muhdar. Menempatkannya sebagai anak bimbingan kerohaniannya. Senantiasa dalam pantauannya, dibimbing bersama saudaranya yang lain dengan budi pekerti mulia dan amal perbuatan sesuai dengan ajaran al Qur'an dan Sunnah. Rahasia kebapakan seluruhnya dilimpahkan kepadanya sehingga dirinya mendapat kedamaian, keimanan, keyakinan, dan ihsan. Sedari kecil tumbuh dalam lingkungan ilmu, amal, mempelajari al Qur'an, hadist, bahasa Arab, dan bersungguh-sungguh menekuninya. Dikirim ke beberapa Syekh kala itu untuk mendapatkan berkah yang banyak, menempa diri bersama mereka dan mempelajari ilmu baik yang berhubungan dengan lahir maupun bathin.

Dari para Syekh yang pernah menjadi gurunya antara lain:

1. Al Faqih Said bin Abdullah Ba Abid
2. Syekh al Allamah Abdullah Ba Marawan
3. Al Alim al Rabbani Syekh Ibrahim Ba Harmaz.
4. Syekh al Allamah Abdullah Ba Qusyair

Beliau menyimak hadist dari beberapa ahli hadist dan para rawi di Hadramaut serta beberapa tempat di Yaman, kemudian dari hasil kepergiaannya ke Hijaz. Beliau mempunyai perhatian khusus dengan kitab “al Tanbih”, “al Khulashoh”, dan“al Minhaj”, dengan senantiasa mempelajari, menganalisis dan mengkaji dengan teliti. Belajar ilmu tasawuf kepada Sayyid al Jalil Muhammad bin Hasan Jamalullail, dan kepada paman-pamannya Ahmad, Syekh, Muhammad dan Hasan. Belajar bahasa Arab kepada al Allamah al Adib Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Ba Fadal. Sedangkan ilmu Nahwu dan Shorrof mempelajarinya dari Syekh al Allamah Muhammad bin Ali Ba Ammar dan lainnya.

Mujahadah dan Riyadhah

Dari keterangan yang terdapat di beberapa kitab mengenai mujahadahnya, sebagai berikut: “Mujadahnya laksana lautan yang tak bertepi, bagaikan bendera perang di tangan prajurit sejati, paman sekaligus pembimbingnya Syekh Umar al Muhdar membimbingnya ke dalam mujahadah semenjak kecil, beliau bertutur: “Keponakanku menempuh mujahadah di saat berusia tujuh tahun, berpuasa dan berbuka hanya dengan tujuh korma dan tidak makan selain itu. Selama setahun ia tidak pernah makan kecuali hanya dengan lima mud”.

Mengenai dirinya beliau berkata: “Tatkala tahap permulaanku, aku mengkaji buku-buku kaum sufi dan menguji diriku dengan mujahadah mereka, senantiasa berlapar, dan meninggalkan tidur dari usia 20 tahun".

Beliau senantiasa bersama pamannya Syekh Umar al Muhdar dalam menempuh tahapan ajarannya. Kemudian mengawinkan Imam al Idrus dengan putrinya dan menempatkan dalam posisinya. Syekh Umar al Muhdar berkata: “Aku akan mengawinkan putriku dengannya walau dengan sedikit harta benda, dan tidak akan mengawinkan selain dia walaupun dunia yang melimpah (harta benda) diberikan kepadaku”. Beliau memakaikan kepadanya khirqah tasawuf dan mentahkimnya serta menyatukan auranya dengan sang paman Umar al Muhdar, yang darinya mendapatkan banyak ilmu lahir maupun bathin. Pamannya mendudukkannya sebagai pengganti sesuai dengan kamampuannya, melampaui derajat para Syekh yang agung, dan mendapatkan posisi yang sulit untuk dicapai, para ulama mengakui akan ketinggian derajatnya dari dahulu hingga sekarang.

Kedudukan Sebagai Pemuka Umat Sepeninggal Pamannya

Disebutkan dalam kitab: ”Al Kawakib al Durriyah”, Sosok ~ Syekh al Idrus ~ suka menyepi, karena dengannya dapat sampai kepada Allah S.w.t. Figur Syekh al Akbar pamannya Syekh Umar al Muhdar seorang Syekh yang memiliki kharisma dan kepribadian yang agung dan pemuka dari Bani Alawi, ketika wafat usia Imam al Aidrus 25 tahun, para Syarif sepakat Imam Muhammad bin Hasan Jamalullail -yang berada di Barughah- untuk menggantikan posisinya akan tetapi beliau menolak, mereka berkata: “Tunjukkanlah pada kami siapa yang berhak kedudukannya di antara kita”. Setelah shalat istikharah, Allah meyakinkan hatinya untuk menjadikan Imam al Aydrus sebagai pengganti, sambil memegang tangannya beliau berkata kepada Imam al Aydrus:

“Engkau adalah pemuka dari mereka dan penunjuk bagi setiap syarif dan yang bukan syarif”.

Imam al Aydrus menampik karena usianya yang masih belia dan ketidakmampuan dirinya, ditambah paman-pamannya yang lain masih ada. Namun mereka terus membujuknya untuk menerima posisi itu, sejak itu semuanya sepakat untuk memposisikan dirinya sebagai pemimpin dan namanya kesohor ke penjuru dunia, beliau menyibukkan dirinya dengan pengajaran dalam tarikan nafasnya yang sangat berharga.

Posisinya Sebagai Tumpuan Murid dalam Pengajaran dan Penempaan Diri

Imam Al Aydrus figur yang mumpuni dalam pengajaran, apabila ia mengajar di bidang tafsir maka dialah yang paling mengusai bidang itu, dalam ilmu hadist, ia adalah pemegang rawinya, dalam ilmu fiqh, ia adalah tolak ukur pemahamannya, atau selain itu semuanya menyimak pada pelajarannya. Ajaran tasawufnya membuat para hadirin menangis, dalam hal tarekat, beliau menyampaikan dengan metode yang menakjubkan dan sistem yang luar biasa, ajaran yang mudah dicerna. Dalam dirinya terkumpul ilmu, amal, hal, obsesi, dan wejangan, sebagaimana dituturkan oleh Syekh Kabir Muhammad bin Ahmad Ba Qusyair:

"Setiap hati mengakui akan kewaliannya, dan setiap sanubari penuh dengan rasa cinta kepadanya"

"Semua milik Allah, betapa tinggi keutamaannya, betapa banyak limpahan yang diberikan Allah kepada siapa yang berada dalam asuhan-Nya"

"Sungguh ia adalah pemuda beruntung, yang keagungannya tak diragukan lagi, katakanlah sesukamu pada keutamaan yang diperolehnya"

Murid-murid Beliau

Banyak dari tokoh mulia dan para mujtahid yang belajar kepada Imam al Aydrus, antara lain:

1. Saudaranya Syekh Ali bin Abu Bakar
2. Syekh Umar bin Abdurrahman Shahib al Hamra.
3. Syekh Abdullah bin Ahmad Ba Kastir
4. Syekh Ahmad Qasam bin Alwi al Syaibah
5. Syekh Muhammad bin Afif al Hijrani.
6. Putranya Syekh Abu Bakar al Adeny bin Abdullah al Aydrus.
7. Putranya Syekh Husain bin Abdullah al Aydrus.
8. Putranya Syekh Syaikh bin Abdullah al Aydrus.

Disebutkan dalam kitab “al Kawakib al Durriyah”, Imam al Arif Billah Muhammad bin Ali Shahib Aidid, dan Tajul Abidin Sa'ad bin Ali, dan Syekh Abdullah bin Abdurrahman Ba Wazir dengan derajat yang dimilikinya dan ketinggian kedudukannya senantiasa menemani dan mengikutinya serta mengambil ajarannya, karena mereka menyadari akan ketinggian kedudukan dan maqam Imam al Aydrus.

Pola Pandang Dalam Bimbingan dan Keilmuan

Imam al Aydrus berkata: “Kita tidak mempunyai sistem dan metode kecuali al Qur'an dan Sunnah. Dimana semua itu telah dipaparkan oleh Hujjatul Islam al Ghazali dalam karya monumentalnya yang sangat berharga yakni ”Ihya Ulumuddin” yang merupakan penjelasan dari al Qur'an dan Hadist yang awal ataupun yang akhir, yang konkrit maupun yang abstrak, yang berkenaan dengan suri tauladan maupun keyakinan.

Beliau melarang sahabatnya untuk mempelajari kitab “al Futuhat al Makkiyah” dan kitab “al Fushus” dan menganjurkan untuk berbaik sangka kepada penyusunnya dan meyakini bahwa ia salah seorang wali besar yang Arif billah. Adapun karyanya yang kontroversi dikarenakan kedalaman pemahaman yang tidak dapat dimengerti oleh masyarakat umum, berbeda dengan karya-karya Hujjatul Islam yang dapat diterima oleh pemahaman akal, dapat dipelajari oleh masyarakat umum, orang-orang khusus maupun orang awam.

Beliau –semoga Allah meridhainya– berkata: “Ketahuilah bahwa tarekat adalah takut kepada Allah S.w.t. Sedangkan hakekat adalah pencapaian tujuan dan persaksian cahaya penampakan (Nuruttajalli). Hakekat dari maqamat adalah tempat-tempat yang bersemayam dalam hati. Yang awalnya berupa pelaksanaan perintah dan meninggalkan segala bentuk larangan, dan  terakhir mengetahui cela diri, menyucikannya dari sifat-sifat yang tercela, menghiasinya dengan sifat yang terpuji, serta senantiasa berdzikir kepada Tuhannya.

Celanya hati sangatlah banyak dan yang paling besar adalah kebanggaan seseorang terhadap amal taatnya (ujub). Seorang salik (penempuh jalan Allah) tidak akan berpindah kepada maqam yang lebih tinggi kecuali telah memenuhi semua kriteria dalam maqam sebelumnya.

Adapun ahwal adalah tarb (keasyikan) atau qabd (penangkapan) atau bast (pelepasan/kelapangan) atau syauq (kerinduan), atau dzauq (rasa), atau haibah (wibawa), atau uns (ketenangan jiwa), atau wajd (kegembiraan/cinta), atau tawajud (kesan dari cinta) atau jamak (berkumpul) atau farq (berpisah) atau fana’ (ketiadaan) atau baqa` (tetap ada) atau ghaibah (tidak sadar) atau sakr (mabuk) atau sahw (keadaan sadar) atau sarb maknawi (minuman jiwa) sebagaimana juga akan menemukan kedekatan dengan Allah S.w.t, cahaya penampakan, mukasyafah (penyingkapan hal abstrak), siraman nurani, atau mahw (penghapusan), atau istbat (penetapan) atau penutupan tabir atau penampakan atau kehadiran atau muhadarah (penghadiran) atau lawaih (penampakan tulisan) atau secercah cahaya atau kenaikan atau penciptaan atau pengokohan atau lainnya.

Adapun tarikan nafas (dzikir) dan ketenangan hati dengan kelembutan-kelembutan yang ghaib. Pemilik nafas ini lebih murni (lebih sempurna) dari pemilik ahwal, pemilik ahwal lebih murni dari pemilik maqam, dan pemilik maqam lebih murni seorang dari seorang abid (ahli ibadah), dan abid yang mengamalkan ilmu dzahir (fiqh) lebih murni dari orang awam yang beribadah dengan menggunakan rukhsah (keringanan dalam syariat), dan pengamal syariat dengan menggunakan keringanan ini lebih murni dari mereka yang lalai.

Dan orang yang mencapai kesempurnaan adalah mereka yang pada dirinya terdapat semua ciri-ciri di atas. Mereka adalah para ulama Allah S.w.t dan yang tahu segala perintah Allah dalam syariat, tarekat, dan hakekat. Para pewaris (nabi). Ulama adalah pewaris para Nabi.

Selanjutnya: Imam Al Aydrus Al Akbar - Sohibur Ratib Al Aydrus (Bagian 2)

Pada tulisan selanjutnya adalah mengenai pandangan-pandangan Beliau terhadap berbagai bagian-bagian disiplin ilmu dan akhlak, seperti pandangan Beliau terhadap ilmu tasawuf, praktek menempuh ajaran tarekat, tentang mujahadah, takwa, tawakkal, qana'ah, syukur, ridha, serta lainnya.

Wassalam


Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas

Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas

"Beliau adalah ahli Kasaf dan ahli Ilmu Agama yang sulit ditandingi keluasan Ilmunya, jumlah amal ibadahnya, kemuliaan maupun budi pekertinya"

Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas, beliau asli dari Yaman Selatan, dilahirkan di desa Hawrat, salah satu desa di Al Kasr, kampung Kharaidhoh, Hadramaut, Yaman, pada hari Selasa 20 Jumadil Awal 1265 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1849 M.

Beliau adalah seorang Waliyullah yang telah mencapai kedudukan mulia dekat dengan Allah S.w.t. Beliau termasuk salah satu Waliyullah yang tiada terhitung jasa-jasanya dalam sejarah pengembangan Islam dan kaum muslimin di Indonesia. Beliau seorang Ulama Murobi dan panutan para Ahli Tasawuf sehingga menjadi suri tauladan yang baik bagi semua kelompok manusia maupun jin.

Kalangan awam lebih mengenal Habib Abdullah bin Mukhsin Al Athas dengan sebutan Habib Keramat Empang. Diceritakan nama empang berasal dari sebuah kolam yang berada di depan rumah beliau. Dengan izin Allah, melalui perantara empang inilah beliau banyak menyembuhkan orang sakit. Sehingga beliau terkenal dengan sebutan Habib Keramat Empang.

Nasab beliau adalah: Al-Habib Abdullah bin Muhsin bin Muhammad bin Muhsin bin Husein bin Al-Qutub Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas bin Agil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Sahib Mirbath bin Ali Khala' Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin 'Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin 'Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-'Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal 'Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam.

Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan agama dan perhatian khusus dari Ayahnya. Beliau mepelajari Al Qur’an dimasa kecilnya dari Mu’alim Syeh Umar Bin Faraj Bin Sabah. Dalam usia 17 tahun beliau sudah hafal Al Qui’an. Oleh Ayahnya, beliau kemudian diserahkan kepada ulama terkemuka di masanya. Beliau dapat menimba berbagai cabang ilmu Islam dan Keimanan.

Diantara guru–guru beliau, salah satunya adalah Assyayid Al Habib Al Qutbi Abu Bakar bin Abdullah Al Athas, dari guru yang satu itu beliau sempat menimba ilmu-ilmu rohani dan tasawuf. Beliau mendapatkan doa khusus dari Al Habib Abu Bakar Al Athas, sehingga beliau berhasil meraih derajat kewalian yang patut. Diantaranya guru rohani beliau yang patut dibanggakan adalah yang mulia Al Habib Sholih Bin Abdullah Al Athas penduduk Wadi a’mad.

Habib Abdullah pernah membaca Al Fatihah dihadapan Habib Sholeh dan Habib Sholeh menalkinkan Al Fatihah kepadanya Al A’rif Billahi Al Habib Ahmad Bin Muhammad Al Habsi. ketika melihat Al Habib Abdullah Bin Mukhsin yang waktu itu masih kecil, beliau berkata; "Sungguh anak kecil ini kelak akan menjadi orang mulia kedudukannya".

Al Habib Abdullah Bin Mukhsin pernah belajar Kitab risalah karangan Al Habib Ahmad Bin Zen Al Habsyi kepada Al Habib Abdullah Bin Alwi Alaydrus sering menemui Imam Al Abror Al Habib Ahmad Bin Muhammad Al Muhdhor. Selain itu beliau juga sempat mengunjungi beberapa Waliyulllah yang tinggal di Hadramaut seperti Al Habib Ahmad Bin Abdullah Al Bari seorang tokoh sunah dan asar. Dan Syekh Muhammad Bin Abdullah Basudan. Beliau menetap di kediaman Syekh Muhammad Basudan selama beberapa waktu guna memperdalam Agama.

Pada tahun 1282 Hijriyah, Habib Abdulllah Bin Mukhsin menunaikan Ibadah haji yang pertama kalinya. Selama di tanah suci Makkah, beliau bertemu dan berdialog dengan ulama–ulama Islam terkemuka. Kemudian, seusai menjalankan ibadah haji, beliau pulang ke negerinya dengan membawa sejumlah keberkahan. Beliau juga mengunjungi kota Tarim untuk memetik manfaat dari wali-wali yang terkenal.

Setelah dirasa cukup, maka beliau meninggalkan kota Tarim dengan membawa sejumlah berkah yang tidak ternilai harganya. Beliau juga mengunjungi beberapa Desa dan beberapa kota di Hadramaut untuk mengunjungi para Wali dan tokoh–tokoh Agama dan Tasawuf baik dari keluarga Al Alwi maupun dari keluarga lain.

Pada tahun 1283 Hijriyah, Beliau melakukan ibadah haji yang kedua. Sepulangnya dari Ibadah haji, beliau berkeliling ke berbagai pelosok dunia untuk mencari karunia Allah S.w.t dan sumber penghidupan yang merupakan tugas mulya bagi seorang yang berjiwa mulya. Dengan izin Allah S.w.t, perjalanan mengantarkan beliau sampai ke Indonesia. beliau bertemu dengan sejumlah Waliyullah dari keluarga Al Alwi antara lain Al Habib Ahmad Bin Muhammad Bin Hamzah Al Athas.

Sejak pertemuanya dengan Habib Ahmad beliau mendapatkan Ma’rifat. Dan, Habib Abdullah Bin Mukhsin diawal kedatangannya ke Jawa memilih Pekalongan sebagai Kota tempat kediamannya. Guru beliau, Habib Ahmad Bin Muhammad Al Athas banyak memberi perhatian kepada beliau, sehingga setiap kali gurunya menunjungi kota Pekalongan, beliau tidak mau bermalam kecuali di rumah Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas.

Dalam setiap pertemuan Habib Ahmad selalu memberi pengarahan rohani kepada Habib Abdullah Bin Mukhsin sehingga hubungan antara kedua Habib itu terjalin amat erat. Dari Habib Ahmad, beliau banyak mendapat manfaat rohani yang sulit untuk dibicarakan di dalam tulisan yang serba singkat ini.

Dalam perjalanan hidupnya, Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas pernah dimasukan ke dalam penjara oleh pemerintah Belanda pada masa itu dengan alasan yang tidak jelas. Mungkin pengalaman ini telah digariskan Allah S.w.t, sebab Allah ingin memberi beliau kedudukan tinggi dan dekat dengan-Nya. Ini pernah juga dialami oleh Nabi Yusuf A.s yang sempat mendekam dalam penjara selama beberapa tahun, namun setelah keluar dari penjara ia diberi kedudukan tinggi oleh penguasa Mashor yang telah memenjarakannya.

Karomah dan Kekeramatan Habib Abdullah

Selama di penjara ke keramatan Habib Abdullah Bin Mukhsin semakin tampak sehingga semakin banyak orang yang datang berkunjung kerpenjaraan tersebut. Tentu saja hal itu mengherankan para pembesar penjara dan penjaganya. Sampai mereka pun ikut mendapatkan berkah dan manfaat dari kebesaran Habib Abdullah di penjara,

Setiap permohonan dan hajat yang pengunjung sampaikan kepada Habib Abdullah Bin Mukhsin selalu dikabulkan Allah S.w.t, para penjaga merasa kewalahan menghadapi para pengunjung yang mendatangi beliau Mereka lalu mengusulkan kepada kepala penjara agar segera membebaskan beliau. Namun, ketika usulan ditawarkan kepada Habib Abdullah, beliau menolak dan lebih suka menunggu sampai selesainya masa hukuman.

Pada suatu malam pintu penjara tiba–tiba terbuka dan datanglah kepada beliau kakek beliau Al Habib Umar Bin Abdurrohman Al Athas seraya berkata, Jika kau ingin keluar dari penjara keluarlah sekarang, tetapi jika engkau mau bersabar maka bersabarlah.

Beliau ternyata memilih untuk bersabar dalam penjara, pada malam itu juga Sayyidina Al Faqih Al Muqodam dan Syekh Abdul Qadir Jaelani serta beberapa tokoh wali mendatangi beliau. Pada kesempatan itu Sayyidina Al Faqih Al Muqodam memberikan sebuah kopiah. Ternyata di pagi harinya kopiah tersebut masih tetap berada di kepala Al Habib Abdullah padahal beliau bertemu dengan Al Faqih Al Muqodam di dalam impian. Para pengujung terus berdatangan kepenjara sehingga berubahlah penjaraan itu menjadi rumah yang selalu dituju, Beliau pun mendapatkan berbagai kekeramatan yang luar biasa, mengingatkan kembali hal yang dimiliki para salaf yang besar seperti As-Sakran dan Syekh Umar Al Muhdor.

Diantara karomah yang beliau peroleh adalah sebagaimana yang disebutkan Al Habib Muhammad Bin Idrus Al Habsyi bahwa Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas ketika mendapatkan anugrah dari Allah S.w.t, beliau tenggelam penuh dengan kebesaran Allah, hilang dengan segala hubungan alam dunia dan segala isinya. Al Habib Muhammad Idrus Al Habsyi juga menuturkan, ketika aku mengujunginya Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas dalam penjara, aku lihat penampilannya amat berwibawa dan beliau terlihat dilapisi oleh pancaran Illahi. Sewaktu beliau melihat aku, beliau mengucapkan bait-bait syair Habib Abdullah Al Hadad yang awal baitnya adalah sebagai berikut; "Wahai yang mengunjungi Aku di malam yang dingin, ketika tak ada lagi orang yang akan menebarkan berita fitnah..". Selanjutnya, kata Habib Muhammad Idrus, kami selagi berpelukan dan menangis.

Karomah lainnya, setiap kali beliau memandang borgol yang membeleggu kakinya, maka terlepaslah borgol itu.

Disebutkan juga bahwa ketika pimpinan penjara menyuruh bawahannya untuk mengikat leher Habib Abdullah Bin Mukhsin dengan rantai besi, maka atas izin Allah, rantai itu terlepas dan pemimpin penjara beserta keluarga dan kerabatnya mendapat sakit panas. Setelah dokter tak mampu mengobati penyakit pemimpin penjara dan keluarganya itu, barulah kemudian pemimpin penjara sadar bahwa penyakitnya dan penyakit keluarganya itu diakibatkan karena dia telah menyakiti Al Habib Abdullah yang sedang dipenjara.

Kemudian, kepala penjara mengutus bawahannya kepada Al Habib Abdullah, meminta untuk didoakan agar sembuh dari penyakit yang diderita oleh kepala penjara dan keluarganya itu. Maka, berkatalah Habib Abdullah kepada utusan itu; "Ambillah borgol dan rante ini ikatkan di kaki dan leher pemimpin penjara itu, maka akan sembuhlah dia". Kemudian dikerjakanlah apa yang dikatakan oleh Habib Abdullah, maka dengan izin Allah S.w.t penyakit pimpinan penjara dan keluarganya sembuh seketika.

Kejadian ini menyebabkan pimpinan penjara makin yakin akan kekeramatan Al Habib Abdullah Mukhsin Al Athas. Sekeluarnya dari penjara, beliau tinggal di Jakarta selama beberapa tahun.

Perjalanan Habib Abdullah ke Empang, Bogor

Dari sumber lain disebutkan, bahwa awal mula kedatangan Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas ke Indonesia, pada tahun 1800 Masehi.

Waktu itu beliau diperintahkan oleh Al Habibul Imam Abdullah bin Abu Bakar Alaydrus, untuk menuju kota Mekkah. Dan sesampainya di kota Mekkah, beliau melaksanakan shalat, pada malam harinya beliau mimpi bertemu dengan Rasulullah S.a.w, entah apa yang dimimpikannya, yang jelas keesokan harinya beliau berangkat menuju negeri Indonesia.

Sesampainya di Indonesia, beliau dipertemukan dengan Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas yang berada di pakojan Jakarta dan beliau belajar ilmu agama darinya, lalu Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas memerintahkan agar beliau datang berziarah ke Habib Husen di luar Batang, dari sana sampailah perjalanan beliau ke Bogor.

Beliau datang ke Empang dengan tidak membawa apa-apa, Pada saat beliau datang ke Empang Bogor, disana disebutkan bahwa Empang yang pada saat itu belum ada penghuninya, namun dengan Ilmu beliau bisa menyala dan menjadi terang benderang Diceritakan, ada kekeramatan yang lain terjadi pula ketika beliau tengah makan dipinggiran empang, kebetulan pada saat itu datang kepada beliau seorang penduduk Bogor dan berkata; “Habib, kalau anda benar-benar seorang Habib Keramat, tunjukanlah kepada saya akan kekeramatannya"

Pada saat itu kebetulan Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas tengah makan dengan seekor ikan dan ikan itu tinggal separuh lagi. Maka Habib Abdullah berkata; "Yaa sama Anjul ilaman Tabis" (wahai ikan kalau benar-benar cinta kepadaku tunjukanlah) maka atas izin Allah S.w.t seketika itu juga ikan yang tinggal sebelah itu meloncat ke empang. Konon ikan sebelah (tinggal setengah) tersebut sampai sekarang masih hidup di laut.

Masjid Keramat Empang didirikan sekitar tahun 1828 M. pendirian Masjid ini dilakukan bersama para Habaib dan ulama-ulama besar di Indonesia. Di sekitar areal Masjid Keramat terdapat peninggalan rumah kediaman Habib Abdullah, yang kini rumah itu ditempati oleh Khalifah Masjid, Habib Abdullah Bin Zen Al Athas. Di dalam rumah tersebut terdapat kamar khusus yang tidak bisa sembarang orang memasukinya, karena kamar itu merupakan tempat khalwat dan dzikir beliau. Bahkan di sana terdapat peninggalan beliau seperti tempat tidur, tongkat, gamis dan sorbannya yang sampai sekarang masih disimpan utuh.

Kitab-kitab beliau kurang lebih ada 850 kitab, namun yang ada sekarang tinggal 100 kitab, sisanya disimpan di “Jamaturkhair" atau di "Rabitoh”. Tanah Abang Jakarta. Salah satu kitab karangan beliau yang terkenal adalah “Faturrabaniah”, dan kitab itu hanya beredar di kalangan para ulama besar.

Adapun karangannya yang lain adalah kitab "Ratibul Atthas" dan "Ratibul Haddad". Kedua kitab itu merupakan pelajaran rutin yang diajarkan setiap maghrib oleh beliau kepada murid-muridnya pada masa beliau masih hidup, bahkan kepada anak dan cucunya, Habib Abdullah bin Mukhsin Al Athas menganjurkan supaya tetap dibacanya.

"Al Habib Abdullah bin Al Athas, adalah seorang Waliyullah dengan kiprahnya menyebarkan Agama Islam dari satu negeri ke negeri lain.".

Di Kampung Empang beliau menikahi seorang wanita keturanan dalem Sholawat. Dari sanalah beliau mendapatkan wakaf tanah yang cukup luas, sampai sekarang 85 bangunan yang terdapat di kampung Empang di dalam sertifikatnya atas nama Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas.

Semasa hidupnya sampai menjelang akhir hayatnya beliau selalu membaca Shalawat Nabi yang setiap harinya dilakukan secara dawam di baca sebanyak seribu kali, dengan kitab Sholawat yang dikenal yaitu; “Dalail Khairat” yang artinya Kebaikan yang diperintahkan oleh Allah S.w.t.

Menurut Manakib, beliau dipanggil Allah S.w.t pada hari Selasa, 29 Zulhijjah 1351 Hijriah di awal waktu zuhur. Jenazah beliau dimakamkan keesokan harinya hari Rabu setelah Shalat Dhuhur. Tak terhitung jumlah orang yang ikut meshalatkan jenazahnya. Beliau dimakamkan di bagian Barat Masjid An Nur. Sebelum wafat beliau yang dikarenakan flu ringan, kebanyakan waktunya ditenggelamkan dalam dzikirnya dan doanya kepada Allah S.w.t, sampai beliau pulang kepangkuan Allah S.w.t.

Al Habib Abdullah bin Muhsin Al-Athas (Keramat Empang) pernah berkata kepada santri kesayangannya Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad;

"Ya Alwi, ilmu ana bakal ana kasih kepada semua murid, tapi sir ana gak akan ana kasih kepada anak dan murid ana. Kecuali kepada orang yang bisa menggali sir ana.".

Memang, pada kenyataannya semua anak didik Habib Abdullah bin Muhsin adalah orang alim, tidak ada yang tidak alim. Semua termasuk golongan min Kibaril ulama pada masanya, yaitu: Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Al-Haddad, Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Alwi Al Haddad, Habib Usman bin Abdullah bin Agil bin Yahya (Mufti Betawi), Habib Muhsin Keramat Jati, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik).

Nasehat-nasehat Al Habib Abdullah bin Mukhsin Al Athas

"Apakah kalian mengetahui kunci-kunci surga itu?, ketahuilah bahwa kunci surga yang sebenarnya adalah Bismillahirrahmannirrahim"

"Terangilah rumahmu dengan lampu-lampu dan terangilah hatimu dengan bacaan Al Qur'an"

"Semua para Auliya itu diangkat oleh Allah S.w.t ke sebuah derajat yang tinggi, karena hatinya bersih, tidak sombong, tidak dengki dan selalu rendah hati.".

"Guru yang paling bertaqwa adalah Nabi Muhammad S.a.w, dan Rasulullah bersabda; "Aku dididik oleh Tuhanku dengan sebaik-baiknya didikan".

"Jadikan akalmu, hatimu, ruhmu, jasadmu, karena bila semua terisi dengan nama-Nya, berbahagialah kamu".

"Istiqamah di dalam agama menjauhkan kesedihan dan ketakutan".

"Ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan ikhlas, maka ikhlas mendatangkan keridha'an".

"Kunci kesuksesan ada tiga, yaitu; Menuntut ilmu dan beramal, Istiqomah dan sabar, Saling menghormati".


Semoga kita semua mendapatkan keberkahan dari Al-Arifbillah Al Alim Al-Quthb Al Habib Abdullah bin Muhsin Al-Athas. Aamiin.

Wassalam

Disadurkan dari berbagai tulisan yang bersumber dari kitab manaqib Al Habib Abdullah bin Mukhsin Al Athas.

Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi - Shohib Simthud Dhurar

Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi - Shohib Simthud Dhurar

Al Habib Ali bin Muhammad bin Husin Al Habsyi (1259 – 1333 H) dilahirkan pada hari Jum'at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut. Beliau dibesarkan dibawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya yaitu ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya, As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.

Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu dzahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.

Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.

Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan dan minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.

Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan saja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya, seperti di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.

Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.

Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bungsu, Al Habib Alwi bin Ali Al Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Beliau dikenal sebagai pribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan. Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabiul awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta.

Berkata Al Habib Umar bin Idrus Alaydrus di hadapan Al Imam Al Quthub Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (Shohib Simthud Dhuror), "Ya habib.. Semalam aku bermimpi seakan-akan aku mencurahkan perasaan hatiku akan keadaan putra-putraku yang sulit dalam memahami ilmu, maka kemudian engkau berkata kepadaku: 'Sarankan kepada mereka untuk menulis Maulidku (Simthud Dhuror)'.". Selanjutnya Al Habib Umar juga berkata: "Dan seakan-akan engkau mengisyaratkan kepadaku, bahwa futuh (terbukanya kefahaman) adalah ada dalam menulis maulid ini".

Maka Al Habib Ali Al Habsyi menjawab: "Barang siapa berharap kefahaman ilmu, maka hendaknya ia menghafalkan maulid atau menulisnya". Beliau juga berkata: "Jika seseorang mengistiqamahkan dalam membaca maulidku atau menghafalnya atau menjadikan wiridnya, maka akan ditampakkan padanya sirr Rasulullah S.a.w".

Beliau menambahkan: "Aku yang menyusun maulid ini, aku pula yang mendiktenya. Ketika maulid ini dibaca di hadapanku, maka terbukalah pintu yang menghubungkan aku dengan Datukku.. Rasulullah S.a.w".

Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya. Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad S.A.W dan diberinya judul “Simthud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar" (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama, Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya). (lihat: Maulid Simthud Durar).

Habib Ali Al-Habsyi meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabiul akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama.

5 Nasehat Habib Ali Bin Muhammad al-Habsyi

1. Berhati-hatilah dalam memilih kawan dan teman, mengingat pergaulan itu amat besar pengaruhnya dalam kehidupan dan membentuk kepribadian seseorang.

2. Berpegang teguhlah pada thoriqoh para ulama terdahulu. Bersungguh-sungguh dalam bertakwa kepada Allah baik dalam keadaan sendirian maupun dalam keramaian sebagai bekal utama dalam mengarungi kehidupan ini, dan juga tekunlah dalam menuntut ilmu yang bermanfaat serta tinggalkanlah kebiasaan dan pola hidup yang tidak berguna.

3. Ketahuilah adanya pertemuan-pertemuan di dalam majelis dzikir dan majelis ilmu itu bisa membawa kemanfaatan dan kebaikan yang besar pada umat manusia. Dan ketahuilah bahwa perkumpulan kita dalam suatu majelis dzikir dan ilmu berada dalam pengawasan junjungan kita Nabi Muhammad S.a.w. Melalui perkumpulan semacam itu cahaya Ilahiyah akan memancar kepada siapapun, baik yang dekat maupun yang jauh, baik bagi mereka yang taat maupun yang bermaksiat, baik yang alim maupun yang jahil. Orang yang hadir dalam majelis tersebut, sewaktu pulang akan membawa keuntungan yang besar.

4. Sangat penting bagi kita untuk memperhatikan akan pentingnya belajar dan mengajarkan ilmu agama. Di sela-sela kesibukan kita dalam mengumpulkan harta hendaknya kita harus mau menyisihkan sebagian harta kita untuk para penuntut ilmu. Gunakan waktu dan kesempatan kita untuk belajar dan mengajarkan ilmu. Kita melihat manusia di zaman akhir ini telah kehilangan semangat untuk belajar dan mengajarkan ilmu agama. Mereka terlalu sibuk untuk memperkaya diri, menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan duniawiyah.

5. Jagalah silaturahmi dan juga berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Ketahuilah barang siapa yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ia akan beruntung di dunia dan akhirat. Dan siapa saja yang durhaka kepada kedua orang tuanya dia akan rugi dan celaka di dunia maupun akhirat. Tidak ada amalan yang manfaatnya paling besar di dunia ini selain birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua). Dengan berbuat baik kepada orangtua, seorang anak akan lebih dekat dengan Allah dan juga Rasul-Nya dan terhindar dari suul khatimah.

Semoga Allah S.w.t memberi kita Hidayah dan Taufiq-Nya, dan menyelamatkan kita di dunia dan akhirat, Aamiin

Chord dan Lirik

Ulasan Film

ad2

Keimanan dan Keyakinan

Olahan Makanan

Tempo Doeloe

Tips dan Trik

Explore Indonesia

Broker Kripto