Top Bisnis Online

Trading dan Investasi

ad1

Iklan Gratis

Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan
Taqarrub, Meraih Cinta Allah S.W.T

Taqarrub, Meraih Cinta Allah S.W.T

Orang yang bertaqarrub kepada Allah, selain mengerjakan kewajiban, ia juga bersungguh-sungguh melaksanakan nawafil (sunnah-sunnah) dan menahan diri dari makruhat (sesuatu yang dibenci, namun tidak haram). Hamba demikian inilah yang berhak mendapatkan kecintaan Allah Subhannahu wa Ta'ala“.


Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam: “Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: Barang siapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidak ada bentuk taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding (mengerjakan) apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan terus menerus seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan nawafil (amalan sunnah) sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang dia melihat dengannya, menjadi tangannya yang dia gunakan memukul, serta menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, maka Aku pasti memberinya, dan jika dia minta tolong kepada-Ku niscaya Aku pasti menolongnya.“. (HR al-Bukhari).

Tinjauan Rawi

Beliau adalah Sayyidul Huffazh seorang Sahabat yang mulia, Abu Hurairah R.a. Nama asli beliau dan ayahnya diperselisihkan oleh banyak kalangan, namun yang paling rajih (kuat) adalah Abdur Rahman bin Shahr ad-Dausi. Beliau masuk Islam pada awal tahun ke tujuh setelah hijrahnya Nabi S.a.w pada tahun terjadinya perang Khaibar.

Al-Imam adz-Dzahabi berkata: “Abu Hurairah telah membawa dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ilmu yang sangat banyak, sangat bagus dan diberkahi tiada tertandingi“. Dan tidak ada seorang pun yang meriwayatkan hadits dari Nabi S.a.w melebihi dari apa yang ia riwayatkan, dikarenakan ia selalu mendampingi Nabi S.a.w. Hadits yang diriwayatkannya mencapai sekitar 5374 buah hadits.

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan darinya (Abu Hurairah R.a) bahwa dia berkata, "Sesungguhnya kalian mengatakan: "Sungguh Abu Hurairah telah mendapatkan hadits yang amat banyak dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam", dan kalian juga mengatakan, "Apa yang dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar sehingga tidak memperoleh hadits sebanyak yang diperoleh Abu Hurairah?", Sesungguhnya saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin sibuk dengan jual beli (bekerja/berdagang) di pasar sedangkan aku mendampingi Rasulullah sepanjang hari, maka aku hadir tatkala mereka pergi dan aku hafal tatkala mereka lupa. Sedangkan saudara-saudaraku dari kaum Anshar sibuk mengurus harta (kebun/ladang) mereka, sementara aku merupakan salah seorang dari orang-orang miskin ash-Shuffah. Aku memahami pada saat mereka terlupa.

Rasulullah S.a.w pernah berkata dalam sebuah sabda yang beliau (Abu Hurairah R.a) sampaikan: "Sungguh tidak seorangpun yang membentangkan pakaiannya sehingga aku menyelesaikan keseluruhan ucapanku ini, kemudian ia mendekap pakaiannya itu, kecuali dia akan faham terhadap apa yang aku ucapkan.".

Maka aku (Abu Hurairah) membentangkan selimut yang kupakai, sehingga ketika Rasulullah S.a.w selesai dari pembicaraannya, aku mendekap selimut itu ke dadaku. Maka aku pun tidak pernah lupa terhadap sabda Rasulullah S.a.w tersebut sedikitpun.".


Penjelasan Matan Hadits
  • Sabda Nabi Shalallaahu Alaihi Wasalam: "Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,", menunjukkan bahwa hadits ini merupakan hadits qudsi (firman Allah S.w.t dengan redaksi dari Nabi S.a.w).
  • "Barang siapa memusuhi wali-Ku,", dalam riwayat lain barangsiapa yang menyakiti, dan dalam riwayat lain lagi barang siapa yang menghina. Wali berasal dari kata muwalah arti aslinya adalah kedekatan, sedang mu'aadah (memusuhi) arti aslinya adalah jauh. Yang dimaksudkan wali di sini adalah orang yang sangat dekat dengan Allah, senantiasa menjalankan ketaatan dan menjauhi segala maksiat.
  • "Maka Aku maklumkan (mengumumkan) perang terhadapnya,", yaitu Aku umumkan bahwa Aku memeranginya sebagai mana dia telah memerangi wali-Ku.
  • "Tidak ada suatu bentuk taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai daripada (mengerjakan) apa yang aku wajibkan atasnya.". Setelah Allah mnyebutkan bahwa memusuhi wali-Nya sama saja dengan memusuhi Allah, maka selanjutnya Dia menyebut kan ciri wali-Nya yang haram dimusuhi dan wajib berwala' (cinta dan loyal) kepadanya. Disebutkan bahwa wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, dan yang pertama kali dikerjakan adalah menunaikan kewajiban-kewajiban.
  • "Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia melihat dengannya, tangannya yang dengan tangan itu dia memukul dan kakinya yang dia gunakan untuk berjalan.". Maksudnya adalah bahwa barang siapa yang yang sungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan kewajiban, kemudian nawafil (amalan-amalan sunnah) maka Allah akan mendekatkan orang itu kepada-Nya, dan akan mengangkatnya dari derajat iman ke derajat ihsan. Ia beribadah kepada Allah dengan rasa muraqabah (pengawasan) Allah, seakan-akan melihat-Nya. Hatinya penuh dengan ma'rifatullah, kecintaan terhadap-Nya, pengagungan kepada-Nya, rasa takut, jinak (tunduk/patuh) dan rindu kepada-Nya. Sehingga ma'rifat (mengenal) Allah ini menjadikan ia seperti melihat Allah dengan mata bashirah (mata hati). Maka kalau dia berbicara.. berdasar petunjuk Allah, kalau mendengar.. berdasar petunjuk Allah, kalau melihat.. berdasar petunjuk Allah dan jika memukul.. berdasarkan dengan petunjuk Allah S.w.t.
  • "Jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya"…dan seterusnya. Bahwasanya orang yang dicintai Allah dan didekatkan kepada-Nya, dia memiliki kedudukan khusus yang menyebabkan ia selalu diberi oleh Allah apabila meminta, dilindungi Allah S.w.t jika memohon perlindungan dari sesuatu, dan dikabulkan jika berdoa.

Faidah Hadits
  • Seorang hamba hendaknya membiasakan untuk menjalankan ketaatan baik yang wajib maupun yang sunnah serta menjauhi segala maksiat baik kecil maupun besar agar termasuk wali Allah yang Dia cintai dan mereka cinta kepada-Nya, serta cinta kepada orang yang dicintai Allah. Allah permaklumkan untuk memusuhi siapa saja yang memusuhi, menyakiti, membenci dan mengganggu mereka. Allah juga akan melindungi dan menolong Wali-wali-Nya dan akan membela mereka.
  • Wajib wala' (setia/loyal) kepada Wali-wali Allah dan mencintai mereka, serta haram memusuhi mereka. Sebaliknya wajib memusuhi musuh-musuh Allah dan haram berwala' kepada mereka. Allah S.w.t berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS al-Mumtahanah: 1) dan Firman Allah S.w.t, yang artinya: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. [5]: 56).
  • Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang bertaqarrub kepada Allah itu ada dua macam:

    1). Orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan ini merupakan tingkatan paling 'sederhana' dari seorang hamba (yakni pas-pasan). Sayyidina Umar bin Khatthab R.a berkata: "Amalan yang paling utama adalah melaksanakan apa yang diwajibkan Allah dan menjaga diri (wara') dari yang diharamkan Allah, serta niat yang jujur terhadap apa yang di sisi Allah (yakni ikhlas dalam beramal).".

    2). Orang yang bertaqarrub kepada Allah, selain mengerjakan kewajiban, dia juga bersungguh-sungguh melaksanakan nawafil (sunnah-sunnah) dan menahan diri dari makruhat (sesuatu yang dibenci, namun tidak haram). Dan hamba yang demikian inilah yang berhak mendapatkan kecintaan Allah Subhannahu wa Ta'ala.
  • Orang yang telah dicintai Allah maka akan diberi kecintaan, kataatan, kesibukan berdzikir dan beribadah kepada-Nya, dan ia merasa betah mengerjakan amalan yang mendekatkan kepada Allah S.w.t. Maka akhirnya dia menjadi orang yang dekat kepada Allah dan memperoleh bagian yang besar dari sisi-Nya. Allah S.w.t berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS [5]: 54).
  • Kecintaan Allah Subhannahu wa Ta'ala adalah tujuan yang amat penting dan bahkan paling penting. Siapa saja yang mendapatkannya maka telah memperoleh kabaikan dunia dan akhirat. Ini semua akan terwujud, di antaranya dengan cara-cara berikut:

    1). Melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah S.w.t sebagaimana tersebut di dalam hadits di atas. Di antara kewajiban yang terpenting adalah bertauhid secara benar, shalat wajib lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, haji bagi yang mampu, birul walidain, silaturrahim, berakhlak yang baik, jujur, tawadhu', dan lain-lain.

    2). Menjauhi hal hal yang diharamkan baik berupa dosa besar maupun dosa kecil, dan menjauhi yang makruh semaksimal mungkin.

    3). Bertaqarrub dengan nawafil (amalan sunnah) baik shalat, puasa, shadaqah, amar ma'ruf nahi mungkar dan amal kebajikan lainnya, seperti: banyak membaca dan mendengarkan al-Qur'an dengan penghayatan terhadap isinya, menghafal yang mampu dihafal dan terus mengulanginya. Orang yang sudah sangat cinta kepada al-Qur'an maka baginya tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding Kalam (firman) Allah yang ia cintai.

    4). Banyak mengingat Allah dengan hati dan lisan, Allah S.w.t berfirman: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.”. (QS [2]: 152).

    5). Mencintai para kekasih Allah dan para wali-Nya karena Allah, dan memusuhi musuh-musuh Allah karena Allah.
  • Berdasarkan hadits di atas, maka seluruh cara atau jalan menuju Allah dan meraih cinta-Nya yang tidak pernah disyariatkan melalui lisan Rasul adalah klaim dusta dan bathil. Sebagaimana orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah dengan persangkaan bahwa hal itu dapat mendekatkan mereka kepada-Nya. (lihat QS az-Zumar ayat 3). Orang yahudi dan nashara juga mengklaim, "Kami anak-anak Allah dan kekasih-Nya," padahal mereka terus menerus mendustakan para Rasul, melanggar larangan Allah serta meninggalkan kewajiban.
  • Setiap muslim berharap agar doanya terkabul, amalnya diterima, permintaannya dipenuhi, dan permohonan perlindungannya dikabulkan. Ini semua merupakan pemberian yang amat besar yang tidak akan didapat kecuali oleh orang yang dekat kepada Allah, mengerjakan kewajiban, nawafil dan sunnah dengan dibarengi niat yang ikhlas, serta mutaba'ah (mengikuti) Nabi Shalallaahu Alaihi Wasalam.
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

~ Syekh Nashir al-Syimali ~
Diterjemah dan diringkas dari makalah “Taqarrab Yuhibkallah



Baca juga: Bening Hati Berbalas Surga

Kaum Ghuraba’ - Asing di Tengah Ramai

Kaum Ghuraba’ - Asing di Tengah Ramai

Di penghujung zaman, para pengamal ajaran Islam bagaikan orang asing, persis seperti yang berlaku atas generasi awal Islam terdahulu


Di tengah-tengah para Sahabat, Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam mengkhabarkan kondisi umat Islam pada akhir zaman kelak.

Beliau S.a.w bersabda: ”Pada akhir zaman nanti, umatku bagaikan memegang api membara di tangannya. Mereka asing di antara para manusia.”. Seorang Sahabat lalu bertanya: ”Berarti umat Islam menjadi umat yang sedikit (minoritas) nantinya, ya Rasulullah?”, Rasulullah kemudian menjawab: ”Bukan, bukan!”, ”Lalu, bagaimana?” tanya Sahabat. Rasulullah S.a.w menjelaskan:

Pada saatnya nanti hanya segelintir orang dari umatku yang tetap berpegang teguh pada Islam secara konsisten. Mereka ini bagaikan orang asing, seperti Islam generasi awal.”.

Pada awal penyampaian risalah, sewaktu Rasulullah mendakwahkan Islam kepada kaum kafir Quraisy, tanggapan sinis disertai caci-maki, hinaan, bahkan siksaan mendera diri Nabi Muhammad S.a.w, namun di tengah kuatnya tekanan masyarakat jahiliyah saat itu, Beliau S.a.w dan para pengikutnya (Sahabat R.a) dengan lantang terus menyuarakan kebenaran Islam yang agung, dengan keberanian dan semangat juang yang kuat melawan arus besar pemikiran, sikap dan tindakan masyarakat jahiliyah ketika itu. Petunjuk kebenaran yang disampaikan Rasulullah dengan para Sahabat dianggap keluar dari kebiasaan, menyimpang, sesuatu yang 'asing' di tengah-tengah tradisi kafir Quraisy.

Saat ini, agama Islam telah tersebar luas, tersampaikan dan banyak diketahui penduduk bumi. Di tiap jengkal tanah seantero bumi, telah tertanam benih-benih Islam. Namun disayangkan, kuantitas yang tinggi tersebut tidak seiring dengan kualitas keberagamaan para pemeluknya, masih relatif sedikit yang benar-benar teguh menjalani Islam sebagai matan keyakinan dan pegangan kehidupannya. Bahkan, acapkali umat Islam sendiri memandang 'sinis' terhadap saudara muslimnya yang mencoba menjalani Islam dengan sepenuhnya (kaffah) hingga yang sekecil-kecilnya (wara' dan zuhud), inilah yang memprihatinkan karena justru keluar dari rahim kepribadian umat Islam sendiri, maka tampaklah bahwa peringatan yang disabdakan oleh Rasulullah S.a.w beberapa abad lalu telah mewujud menjadi sebuah kenyataan.


Seseorang yang dalam keistiqamahannya berpegang teguh dengan agama, adalah merupakan orang yang asing di tengah kaum yang tidak memiliki prinsip seperti demikian


Di era 'millenium' ini, berat memang, diperlukan kesabaran dan tekad yang sungguh-sungguh untuk menjalani kehidupan sesuai dengan kaidah agama. Menggenggam kebenaran di jaman 'edan' ini laksana menggenggam api yang panas membara. Sabda Nabi Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam:

Akan tiba suatu masa, ketika itu orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti halnya orang yang sedang menggenggam bara api.”. (HR Tirmidzi).

Bagaimanapun, orang yang berperilaku lurus akan tampak asing bahkan aneh di mata orang-orang yang berperilaku 'bengkok' (yang masih berusaha agar lebih sempurna, atau masih belajar). Mengajak teman ke majelis yang mengagungkan syiar-syiar Islam, terlibat dalam kegiatan dakwah, atau menolak ajakan teman untuk nonton film maksiat, seringkali di-cap sebagai tindakan dan pandangan kuno. Walhasil yang benar-benar memegang erat dan melaksanakan ajaran Islam (secara total dengan segala adabnya) hanyalah sedikit dari umat ini, sebaliknya yang kebanyakan, menjalankan agama namun sambil berperilaku 'bebas lepas', tak mengindahkan rambu-rambu yang telah dituntun dalam syariat.

Rasulullah S.a.w bersabda: ”Sungguh, kalian akan mengikuti tradisi (kebiasaan-kebiasaan/tata cara) orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka., Kami (sahabat) bertanya: ”Wahai Rasulullah, yahudi dan nasrani kah?, Nabi S.a.w menjawab: ”Siapa lagi kalau bukan mereka?”. (Shahih Bukhari).

Seiring dengan lajunya perkembangan zaman, pesatnya modernisasi membawa perubahan dalam segala aspek kehidupan manusia, tak dapat kita pungkiri bahwa kerusakan akhlak yang mendera umat Islam telah banyak terjadi dan semakin nampak di pelupuk mata, dimana gaya hidup hingga cara berfikir mereka sangat dipengaruhi atau bahkan mengikut-ikuti kepada kaum di luar Islam.

Maka disinilah kemudian, kita (semua ummat) sungguh memerlukan kepada mereka yang selalu berada di dalam kebenaran, yang menunjukkan nilai-nilai murni Islam, sebagai pewaris-pewaris ajaran Rasulullah S.a.w. Mereka orang-orang yang lurus manakala kondisi manusia sudah 'rusak', dan yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia.


Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w bersabda:

( لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى تقوم الساعة ( رواه الشيخان

Artinya: ”Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang selalu berada dalam kebenaran dan berpegang teguh dengannya secara sempurna hingga datangnya hari kiamat.”. (HR Bukhari dan Muslim).

Yang berpegang teguh inilah yang harus kita jadikan referensi, panutan, rujukan, dan pengangan kehidupan (dalam hal ini, tentunya dari kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah, bermadzhab dan bertasawuf). Mereka tak lekang oleh waktu, tak lapuk diterpa zaman, mereka adalah manusia-manusia suci penggusung nilai-nilai kebenaran, yang meniti di jalan kebenaran. Lantas, siapakah mereka? Mari simak hadist berikut, dimana Nabi S.a.w telah mewasiatkan untuk kita semua, kepada siapa harus berpegang teguh, Rasulullah S.a.w bersabda:

Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian Tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yaitu Kitabullah dan Keturunanku.. Ahli Keluargaku.., selama kalian berpegang teguh kepada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat selamanya.”. (HR Ahmad, Tirmidzi dan Muslim).

(Catatan: Kitabullah di sini adalah Al Qur'an, baik itu yang 'tertulis', yakni Wahyu Ilahi (Kalamullah) yang terhimpun dalam kitab Al Qur'an, maupun yang 'berjalan(Al Qur'an berjalan) yaitu Rasulullah S.a.w, yakni Sunnah-sunnah Beliau S.a.w). ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ

Sayyidina Rasulullah S.a.w juga bersabda: ”Perumpamaan Ahli Keluargaku seperti bahtera Nabi Nuh, siapa yang menaikinya akan selamat, dan siapa yang tertinggal akan tenggelam (tidak selamat).”. (HR Hakim dan Thabarani).

(Baca juga: Keluarga Rasulullah S.A.W dan Cinta Kepada Keluarga Nabi S.A.W)

Ketahuilah, bahwa zaman semakin terpuruk, banyak perubahan, keburukan (kenakalan) terjadi bagai rentetan beruntun yang tak kunjung henti-henti. Di zaman sekarang ini, saat banyak terjadi kerusakan akhlak pada ummat Islam, dan ketika itu masih ada yang masih berpegang teguh pada Sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka baginya disediakan pahala yang sangat tinggi, Rasulullah S.a.w bersabda:

Barangsiapa yang berpegang dengan sunnahku ketika merata kerusakan pada ummatku, maka baginya pahala (seperti) orang yang mati syahid”. (HR Thabarani, dari Abu Hurairah R.a).

Oleh itu maka marilah kita terus mengamalkan dengan sungguh-sungguh ajaran dan tuntunan yang telah disyariatkan oleh Nabi S.a.w secara menyeluruh, yakni menyentuh ke dalam segala aspek kehidupan kita, termasuk mengagungkan syiar-syiar Islam hingga tata cara hidup yang Islami. Sebagaimana disaat kejayaan Islam zaman dahulu, mengikut apa yang umat zaman dahulu (zaman Rasulullah S.a.w) lakukan, yakni seperti yang ditunjukkan oleh ummat pada kurun salaf yang shaleh, para Tabi'in, hingga para Sahabat (Radhiallaahu 'Anhum), walau resikonya akan menjadi tampak asing di hadapan orang banyak. Di akhir zaman, para pengamal ajaran Islam (secara menyeluruh, beserta dengan adab-adabnya) akan menjadi ghuraba' (orang asing), persis seperti yang berlaku atas generasi awal Islam dahulu.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ

Karakteristik Kaum Ghuraba’

Pada awal perkembangan Islam, syariat Rasulullah S.a.w dipandang asing oleh orang-orang kafir Makkah, ini terjadi karena telah datangnya kebenaran yang semuanya bertolak belakang dengan faham dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang menyimpang dan jahiliyah. Maka sangat beruntunglah para Sahabat (Radhiallaahu 'Anhum) yang termasuk ke dalam golongan yang amat asing ketika itu. Pada akhir zaman nanti, agama Islam akan kembali asing seakan seperti masa awalnya, tapi kali ini asing pada pandangan umat Islam itu sendiri, yakni dikarenakan banyaknya dari kalangan kaum muslim sendiri yang tidak lagi mengamalkan tuntunan Islam, walhasil yang teguh berpegang pada ajaran agama menjadi tampak asing di mata mereka (yang notabene mereka sesama muslim). Dan kaum asing (ghuraba') inilah yang menjadi golongan yang sangat beruntung. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang) asing, maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut)”. (HR Muslim, dari Abu Hurairah R.a).

Kajian (Secara Bahasa)

1. Lafazh ghariiban; yang merupakan kata turunan (derivasi) dari lafazh al-Ghurbah memiliki dua makna: pertama, makna yang bersifat fisik seperti seseorang hidup di negeri orang lain (bukan negeri sendiri) sebagai orang asing. Kedua, bersifat maknawi ~makna inilah yang dimaksud di sini~ yaitu bahwa seseorang dalam keistiqamahannya, ibadahnya, berpegang teguh dengan agama dan menghindari fitnah-fitnah yang timbul adalah merupakan orang yang asing di tengah kaum yang tidak memiliki prinsip seperti demikian. Keterasingan ini bersifat relatif, sebab terkadang seseorang merasa asing di suatu tempat namun tidak di tempat lainnya, atau pada masa tertentu merasa asing namun pada masa lainnya tidak demikian.

2. Makna kalimat "bada-al Islamu ghariibaa (Islam dimulai dalam kondisi asing)": ia dimulai dengan (terhimpunnya) orang per-orang (yang masuk Islam), kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian akan mengalami surut dan berbagai 'ketidakberesan' hingga tidak tersisa lagi selain orang per-orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia dimulai.

3. Makna kalimat "fa thuuba lil ghurabaa' (maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut))". Para ulama berbeda pendapat mengenai makna lafazh thuuba. Terdapat beberapa makna, di antaranya: fariha wa qurratu 'ain (berbahagia dan terasa sejuklah dipandang mata); ni'ma maa lahum (alangkah baiknya apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah bagi mereka); khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi mereka); al-Jannah (surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits di atas.

Intisari dan Hukum-hukum Terkait

1. Hadits tersebut menunjukkan betapa besar keutamaan para Shahabat Radhiallaahu 'Anhum yang telah masuk Islam pada permulaan diutusnya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, dimana karakteristik tentang ghuraba' tersebut sesuai dengan apa yang mereka alami. Keterasingan (ghurbah) yang mereka alami adalah bersifat maknawi, dimana kondisi mereka menyelisihi kondisi yang sudah berlaku di tengah kaum mereka yang telah terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.

2. Berpegang teguh kepada Dienullah, beristiqamah dalam menjalankannya serta mengambil suri teladan Nabi kita Muhammad S.a.w, adalah merupakan sifat seorang mukmin yang haq, yang mengharapkan ridha-Nya, sebagaimana yang ditumjukkan oleh kaum ghuraba' tersebut, meskipun (dalam menggapai hal tersebut) kebanyakan orang yang menentangnya. Yang menjadi tolok ukur adalah berpegang teguh kepada al-Haq, bukan kondisi yang berlaku dan dilakukan oleh kebanyakan orang. Allah Ta'ala berfirman:

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya...". (QS 6: 116).

3. Besarnya pahala yang akan diraih oleh kaum ghuraba' serta tingginya derajat (kedudukan) mereka. Yang dimaksud adalah kaum ghuraba' terhadap agamanya, dimana mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada al-Haq dan beristiqamah terhadapnya, bukan mereka yang jauh dari negeri asalnya dan menjadi asing di sana.

4. Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba' adalah orang yang lurus (baik) manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga terdapat makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia, ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata belumlah cukup akan tetapi harus ada tindakan (upaya) yang dilakukan secara bijak, lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam memperbaiki kondisi umat yang sudah rusak, agar label ghuraba' yang dipuji dalam hadits di atas dapat ditempelkan kepada seorang mukmin.
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ

Wal akhir, marilah kita tutup dengan berdoa:

اللهم اني أسألك علماً نافعا،ورزقاً طيباً وعملاً متقبلاً

"Allahumma Inni As Aluka 'ilman Naafi'an Wa Rizqan Thayiban Wa 'Amalan Mutaqabbalan (Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu, ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik (halal) dan amal yang diterima)". Aamiin. [Dalam riwayat Ibnu Majah, dari Ummu Salamah R.a, bahwasanya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam senantiasa membaca doa ini di waktu pagi.] (Al-Adzkar ~ Imam An-Nawawi).

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ


Niat yang Ikhlas

Niat yang Ikhlas

"Dalam hadits ini, mencakup sepertiga Islam"

Hadits berikut ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: "Dalam hadits tentang niat ini mencakupi sepertiga ilmu". Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya.

Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata: "Hadits ini mencakupi tujuh puluh bab dalam fiqh". Sejumlah ulama bahkan berkata: "Hadits ini merupakan sepertiga Islam".

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]


Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab Radiallahu Anhu, dia berkata: 'Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda:

"Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.".'.

(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya adalah merupakan kitab yang paling shahih yang pernah ditulis).

Hadits ini ada sebabnya, yaitu ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais, jadi bukan untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (orang yang hijrah karena Ummu Qais).

Beberapa hikmah dan pelajaran yang terdapat dalam hadits:

۞ Niat merupakan syarat layak diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah S.w.t).

۞ Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati, diperbolehkan juga sampai terucap atau keluar di lisan.

۞ Ikhlas dan berniat semata-mata karena Allah S.w.t dituntut pada semua amal shalih dan ibadah.

۞ Seorang mukmin akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.

۞ Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah jika diiringi niat karena mencari keridhaan Allah S.w.t maka perbuatan itu akan bernilai ibadah.

۞ Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan atau rutinitas) adalah niat.

Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena ia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jama'ah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.

Diteruskan dari sumber www.mohammadhidirbaharudin.blogspot.com


40 Berita Kebaikan

40 Berita Kebaikan


Diriwayatkan dari Mujahid dan Salman R.a dari Nabi Muhammad S.a.w bahwa Beliau bersabda:

مَنْ حَفِظَ عَلَى اُمَّتِى هَذِهِ اْلاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَحَشَرَهُ اللهُ تَعَالَى مَعَ الاَنْبِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ . فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، اَيُّ الاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا؟ قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ : اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّيْنَ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَبِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى . وَتَشْهَدَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ . وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ بِإِسْبَاغِ الْوُضُوْءِ لِوَقْتِهَا بِتَمَامِ رُكُوْعِهَا وَسُجُوْدِهَا . وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ بِحَقِّهَا . وَتَصُوْمَ شَهْرَ رَمَضَانَ . وَتَحُجَّ الْبَيْتَ اِنِ اسْتَطَعْتَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً . وَتُصَلِّيَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَهِيَ سُنَّتِى ، وَثَلاَثَ رَكَعَاتٍ وِتْرًا لاَ تَتْرُكْهَا . وَلاَ تُشْرِكْ بِاللهِ شَيْئًا . وَلاَ تَعْصِ وَالِدَيْكَ . وَلاَ تَأْكُلْ مَالَ الْيَتِيْمِ . وَلاَ تَأْكُلِ الرِّبَا . وَلاَ تَشْرَبِ الْخَمْرَ . وَلاَ تَحْلِفْ بِاللهِ كَاذِبًا . وَلاَ تَشْهَدْ شَهَادَةَ الزُّوْرِ عَلَى اَحَدٍ قَرِيْبٍ اَوْ بَعِيْدٍ . وَلاَ تَعْمَلْ بِالْهَوَى . وَلاَ تَغْتَبْ اَخَاكَ . وَلاَ تَقَعْ فِيْهِ مِنْ خَلْفِهِ وَقُدَامِهِ . وَلاَ تَقْذِفِ الْمُحْصَنَةَ . وَلاَ تَقُلْ ِلأَخِيْكَ : يَا مُرَآئِى ، فَتَحْبَطَ عَمَلَكَ . وَلاَ تَلْعَبْ وَلاَ تَلْهُ مَعَ اللاَّهِيْنَ . وَلاَ تَقُلْ لِلْقَصِيْرِ : يَا قَصِيْرُ ، تُرِيْدُ بِذَلِكَ عَيْبَهُ . وَلاَ تَسْخَرْ مِنْ اَحَدٍ مِنَ النَّاسِ . وَلاَ تَأْمَنْ مِنْ عِقَابِ اللهِ تَعَالَى . وَلاَ تَمْشِ بِالنَّمِيْمَةِ فِيْمَا بَيْنَ الإِخْوَانِ . وَتَشْكُرَ ِللهِ عَلَى كُلِّ نِعْمَةٍ الَّتِى اَنْعَمَ بِهَا عَلَيْكَ . وَتَصْبِرَ عِنْدَ الْبَلاَءِ وَالْمُصِيْبَةِ . وَلاَ تَقْنُطْ مِنْ رَّحْمَةِ اللهِ . وَتَعْلَمَ اَنَّ مَا اَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَاَنَّ مَا اَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ . وَلاَ تَطْلُبْ سُخْطَ الرَّبِّ بِرِضَا الْمَخْلُوْقِيْنَ . وَلاَ تُؤْثِرِ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ . وَاِذَا سَأَلَكَ اَخُوْكَ الْمُسْلِمُ مِمَّا عِنْدَكَ فَلاَ تَبْخَلْ عَلَيْهِ . وَانْظُرْ فِى اَمْرِ دِيْنِكَ اِلَى مَنْ فَوْقَكَ وَفِى اَمْرِ دُنْيَاكَ اِلَى مَنْ هُوَ دُوْنَكَ . وَلاَ تَكْذِبْ . وَلاَ تُخَالِطِ السُّلْطَانَ . وَدَعِ الْبَاطِلَ وَلاَ تَأْخُذْ بِهِ . وَاِذَا سَمِعْتَ حَقًّا فَلاَ تَكْتُمْهَ . وَاَدِّبْ اَهْلَكَ وَوَلَدَكَ بِمَا يَنْفَعُهُمْ عِنْدَ اللهِ وَيُقَرِّبُهُمْ اِلَى اللهِ ، وَأَحْسِنْ اِلَى جِيْرَانِكَ وَلاَ تَقْطَعْ اَقَارِبَكَ وَذَا رَحِمِكَ وَصِلْهُمْ . وَلاَ تَلْعَنْ اَحَدًا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى . وَاَكْثِرْ التَّسْبِيْحَ والتَّهْلِيْلَ وَالتَّحْمِيْدَ وَالتَّكْبِيْرَ وَلاَ تَدَعْ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ عَلَى كُلِّ حَالٍ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ جُنُبًا ، وَلاَ تَدَعْ حُضُوْرَ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَاتِ وَالْعِيْدَيْنِ . وَانْظُرْ كُلَّ مَا لَمْ تَرْضَ اَنْ يُقَالَ لَكَ وَيُصْنَعَ بِكَ ، فَلاَ تَرْضَ بِهِ وَلاَ تَصْنَعْهُ بِهِ . بَلْ قَالَ سَلْمَانُ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ : قُلْتُ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ ، مَا ثَوَابُ هذِهِ الاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا؟ قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ : وَالَّذِىِ بَعَثَنِى بِالْحَقِّ نَبِيًّا اِنَّ اللهَ تَعَالَى يَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الاَنْبِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ . وَمَنْ تَعَلَّمَ هذِهِ الاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا وَعَلَّمَهَا النَّاسَ كَانَ ذلِكَ خَيْرًا مِنَ اَنْ يُعْطَى الدُّنِيَا وَمَا فِيْهَا

"Barangsiapa yang mengutipkan 40 berita ini kepada umatku, maka ia akan masuk surga dan Allah akan mengumpulkannya bersama para Nabi dan Ulama pada hari kiamat!", kami (para sahabat) bertanya: "Wahai Rasulullah, 40 berita yang manakah itu?", Rasulullah S.a.w menjelaskan:

1. Hendaklah engkau beriman kepada Allah, hari kiamat, para malaikat, kitab-kitab, para Nabi, kebangkitan sesudah mati, dan takdir baik dan buruk dari Allah Ta'ala.

2. Engkau mengakui bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.

3. Engkau mendirikan shalat dengan menyempurnakan wudhu pada waktunya, dengan menyempurnakan ruku' dan sujudnya.

4. Engkau menunaikan zakat dengan haknya.

5. Engkau berpuasa pada bulan Ramadhan.

6. Engkau pergi haji ke Baitullah jika mampu.

7. Engkau shalat dua belas raka'at sehari semalam. Shalat dua belas raka'at adalah sunnahku (menurut riwayat Imam an-Nasai, Ummu Habibah, maksudnya adalah shalat rawatib, yaitu 4 raka'at sebelum shalat fardlu dhuhur; 2 raka'at sesudah shalat fardlu dhuhur; 2 raka'at sebelum shalat fardlu asar; 2 raka'at sesudah shalat fardlu maghrib; dan 2 raka'at sebelum shalat fardlu isyak). Janganlah engkau tinggalkan shalat witir tiga raka'at.

8. Jangan engkau sekutukan Allah dengan sesuatu.

9. Jangan engkau durhakai kedua orang tuamu.

10. Jangan engkau makan harta anak yatim.

11. Jangan engkau makan harta riba.

12. Jangan engkau minum arak.

13. Jangan engkau bersumpah atas nama Allah dengan dusta.

14. Jangan engkau menjadi saksi palsu terhadap seseorang, baik kerabat dekat maupun jauh.

15. Jangan engkau berbuat karena menuruti hawa nafsu.

16. Jangan engkau mengghibah saudaramu.

17. Jangan engkau terjatuh dalam perbuatan ghibah dari belakang maupun dari muka saudaramu.

18. Jangan engkau menuduh zina perempuan yang baik-baik.

19. Jangan engkau mengatakan kepada saudaramu: "Hai orang yang riya", agar engkau tidak menghapus amalmu sendiri.

20. Jangan engkau bermain dan berbuat sia-sia bersama orang-orang yang berbuat lalai.

21. Jangan engkau katakan kepada orang yang pendek: "Hai si pendek", dengan maksud mencelanya.

22. Jangan engkau olok-olok seseorang.

23. Jangan engkau merasa aman dari siksa Allah Ta'ala.

24. Jangan engkau adu domba di antara para saudara.

25. Hendaklah engkau bersyukur pada Allah atas tiap nikmat yang telah diberikan kepadamu.

26. Hendaklah engkau bersabar pada waktu tertimpa bala' dan cobaan.

27. Jangan engkau berputus asa terhadap rahmat Allah.

28. Hendaklah engkau mengetahui bahwa musibah yang menimpamu tidak mungkin dapat terlepas darimu dan bahwa sesuatu yang tidak menimpamu tidak mungkin dapat mengenai kamu.

29. Jangan engkau cari kemurkaan Allah lantaran mencari kerelaan makhluk.

30. Jangan engkau pentingkan dunia dari pada akhirat.

31. Jika saudaramu meminta sesuatu yang ada padamu, janganlah engkau bakhil (kikir) kepadanya.

32. Bandingkanlah urusan agamamu dengan orang yang di atasmu, dan dalam urusan duniamu dengan orang yang di bawahmu.

33. Jangan engkau berdusta.

34. Jangan engkau bergaul dengan penguasa.

35. Tinggalkan perkara yang batal dan jangan engkau mengambilnya.

36. Jika engkau mendengar kebenaran, jangan engkau sembunyikan.

37. Didiklah keluarga dan anak-anakmu dengan segala sesuatu bermanfaat bagi mereka di sisi Allah dan dapat mendekatkan diri kepada Allah, berbuat baiklah kepada tetangga dan jangan putuskan hubungan kerabat dan famili, tapi sambungkan hubungan dengan mereka.

38. Jangan engkau laknat makhluk Allah Ta'ala.

39. Perbanyaklah membaca tasbih, tahlil, tahmid, takbir, dan jangan engkau tinggalkan membaca Al Qur'an pada setiap keadaan, kecuali jika kamu sedang junub, jangan engkau tinggalkan shalat Jum'at, shalat berjama'ah, dan shalat hari raya.

40. Perhatikanlah segala yang tidak engkau relakan untuk diucapkan dan dilakukan kepadamu, maka jangan engkau relakan untuk dilakukan kepada seseorang dan jangan engkau lakukan.

Sahabat Salman R.a bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah pahala dari 40 berita ini?", Rasulullah S.a.w bersabda:

"Demi Dzat yang telah mengutusku sebagai nabi dengan hak, sungguh Allah Ta'ala akan mengumpulkan dia pada hari kiamat bersama para nabi dan para ulama. Dan Barangsiapa yang mempelajari 40 berita ini dan mengajarkannya yang lain, niscaya hal itu lebih baik dari pada ia diberi dunia dan isinya.".

Demikianlah, Wal akhir, sebagai penutup marilah kita membaca Al Qur'an dan bershalawat kepada Sayyidina Rasulullah S.a.w.

Dalam surat An-Nuur ayat 51, Allah S.w.t berfirman:

٥١. إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: 'Kami mendengar dan kami patuh'. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.".

Shalawat Kamaliya:

اللهم صلّ وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله عدد كمال الله وكما يليق بكماله

Allahumma shalli wa sallim wa baarik 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala aalihi 'adada kamalillah wa kama yaliqu bi kamalih

"Ya Allah, limpahkan rahmat, keselamatan dan keberkahan kepada junjungan kami Nabi Muhammad (S.a.w) dan kepada keluarganya, sesuai dengan Kesempurnaan Allah dan sebagaimana layaknya kesempurnaan-Nya.".

Semoga Allah memberikan kita ilmu yang manfaat. Wallahu A'lam bisshawab.
Assalamu ’Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh


Mencintai dan Mengikuti Rasulullah S.A.W

Mencintai dan Mengikuti Rasulullah S.A.W

"Mencintai Rasulullah S.a.w bukan sebatas kata-kata. Cinta butuh bukti, dan bukti cinta kepada beliau adalah menjadikan pe­rikehidupan Beliau sebagai teladan"

Be­rikut sejumlah Hadits yang menjelaskan hal tersebut. Namun sebelumnya per­ha­ti­kanlah Ayat ini:

“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni­mu atas dosa-dosamu.”. (QS Ali Imran: 31).

Ayat ini berkenaan dengan pernyata­an orang-orang kafir yang mengatakan bah­wa perbuatan mereka dengan me­nyembah berhala semata-mata adalah bentuk kecintaan kepada Allah dan agar memperoleh kedekatan dengan-Nya. Hal demikian dibantah Nabi S.a.w de­ngan menegaskan bahwa, jika mereka benar-benar mencintai Allah, hendaklah mendengarkan perkataaan Beliau yang diutus oleh Allah Ta‘ala. Allah S.w.t me­nurunkan ayat di atas kepada Nabi Mu­hammad S.a.w untuk disampaikan ke­pada mereka.

Ayat ini memiliki relevansi sebagai ayat untuk mencambuk semangat umat guna mengikuti jalan Rasulullah S.a.w. Kare­na, sebaik-baiknya teladan ialah jalan yang dicontohkan Beliau, jalan yang di­penuhi cahaya wahyu. Sebagaimana fir­man Allah yang artinya, “Tiadalah Ia (Nabi Muhammad S.a.w) mengatakan sesuatu ber­dasarkan hawa nafsunya, akan tetapi ia benar-benar wahyu yang disampaikan kepadanya.” (QS An-Najm: 3-4).


Dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi S.a.w, Beliau bersabda, “Biarkanlah apa yang tidak aku terangkan kepada kalian. Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab terlalu banyak bertanya dan perselisihan mereka dengan nabi-nabi mereka. Jadi, jika aku melarang kalian akan sesuatu, tinggalkanlah; dan jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu, kerjakanlah se­mampu kalian.”. (Muttafaq `Alaih).

Al Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam kitab Berpegang Teguh dengan Agama bab Mengikuti Sunnah Rasul­ullah S.a.w. Sedangkan Muslim meriwa­yatkannya dalam kitab Keutamaan-ke­utamaan bab Penghormatan Nabi S.a.w dan Meninggalkan Banyak Bertanya yang tidak Begitu Penting.

Sebab disabdakannya hadits ini ialah ketika Rasulullah S.a.w menyampaikan khutbahnya mengenai kewajiban ber­haji. Salah seorang sahabat bertanya ten­tang pelaksanakan haji, apakah se­tiap tahun ataukah tidak. Pertanyaan ini diulang berkali-kali sehingga Nabi ber­sabda sebagaimana teks di atas.

Hadits ini mengajarkan kita untuk ti­dak banyak bertanya yang justru menim­bulkan kesulitan, bahkan mengakibatkan adanya perselisihan. Cukuplah sesuatu yang disampaikan Rasululullah dipaha­mi dengan tidak secara berlebihan dan kekurangan. Allah Ta‘ala berfirman yang artinya, “Janganlah kalian bertanya se­suatu (kepada Nabi) hal-hal yang jika di­terangkan kepada kalian niscaya me­nyulitkan kalian....”. (QS Al-Maidah 101).

Perselisihan atau perdebatan yang tidak perlu dapat melemahkan kekukuh­an persaudaraan dan mengakibatkan ke­hancuran. Hal yang demikian terjadi pada Bani Israil, yang berani berban­tah­an de­ngan para nabi yang diutus kepada me­reka, bahkan membunuh mereka. Se­tiap perbuatan yang dilakukan se­orang mu­kal­laf dalam menaati perintah Rasulullah S.a.w tentu akan menghadapi ber­bagai kesulit­an. Sehingga perintah atau sunnah itu se­suai konteks hadits terse­but, dimaksud­kan sekadar tingkat ke­sanggupan.


Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah R.a, ia berkata, “Rasulullah S.a.w mem­beri kami sebuah nasihat yang meng­ge­tarkan hati dan mencucurkan air mata. Kemudian kami berkata, ‘Ya Rasulullah, nasihat engkau seakan-akan nasihat perpisahan. Wasiatkanlah (nasihatilah) kami’.”. Beliau S.a.w berkata:

‘Aku berwasiat ke­pada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, tetap mendengar perintah dan taatilah, sekalipun yang memerintah itu seorang budak Habasyi. Sesungguhnya orang-orang yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian memegang te­guh sunnahku dan sunnah para peng­gantiku yang diberi petunjuk Allah. Ber­pegangteguhlah pada sunnah-sunnah itu dan jauhilah urusan yang dibuat-buat. Sesungguhnya setiap bid`ah itu sesat'.”. (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Hadits ini dirangkum Abu Dawud da­lam kitab Sunnah bab Melazimkan Per­buatan Sunnah. Sedangkan At-Tirmidzi dalam kitab Ilmu bab Mengambil Jalan Sunnah dan Menjauhi Perbuatan Bid’ah.

Dalam pandangan Ibnu ‘Allan, pe­nulis Dalil al-Falihin, bid‘ah adalah se­suatu yang diada-adakan atau sesuatu yang baru yang bertentangan dengan tun­tunan Allah Ta‘ala dan dalil yang di­jadikan hujjah. Ini ada yang bersifat khash (khusus/spesifik) dan ‘am (umum/global).

Pada intinya, menurut keterangan pen­syarah, bid‘ah yang dianggap dha­lalah (sesat) adalah perbuatan yang di­ada-adakan dan menyalahi ruh syari’at Islam.

Hadits di atas menjelaskan ihwal kewajiban beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah S.w.t dengan cara mengi­kuti perintah syari’at dan menjauhi la­rangan-Nya. Selanjutnya hadits ini me­nerangkan kewajiban taat kepada pe­mimpin yang mengajak berbuat ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hadits di atas juga mengkhabarkan salah satu ben­tuk mukjizat Nabi S.a.w tentang ra­malan Rasulullah mengenai sesuatu yang bakal terjadi di masa mendatang yang menimpa umat, yakni perselisihan dan perpecahan umat serta terbentuk­nya kelompok-kelompok umat Islam.


Dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi S.a.w, bahwasanya Rasulullah S.a.w ber­sabda, “Seluruh umatku akan masuk sur­ga kecuali mereka yang berpaling.”. Lalu dikatakan, “Siapakah gerangan orang yang berpaling itu, wahai Rasul­ullah?”, Beliau menjawab, “Siapa yang me­naatiku akan masuk surga, dan siapa yang bermaksiat kepadaku berarti ia telah berpaling.”. (HR Al-Bukhari).

Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam kitab Berpegang Teguh dengan Agama bab Mengikuti Sunnah Rasul­ullah S.a.w.

Untuk masuk surga, disyaratkan ke­taatan kepada Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya. Setiap orang yang mengikuti sya­ri’at dari Allah Ta‘ala dan Rasulullah S.a.w, sesungguhnya ia orang yang men­cintai keduanya. Begitu pun sebaliknya, bila mengingkari syari’at Beliau berarti ia orang yang tidak mencintai keduanya. Na‘udzu billah.

Mencintai Nabi S.a.w bukan dengan sekadar berkata-kata dan mengaku-ngaku. Mencintai Nabi diperlukan ketulusan meng­ikuti syari’atnya, mencintai sunnah­nya, mencontoh adabnya, dan mencintai apa yang Nabi cintai seraya membenci apa yang Nabi benci.

"Mengikuti jalan Rasulullah S.a.w da­lam segala hal, baik perkataan, perbuat­an maupun budi pekerti, merupakan ben­tuk pengakuan sejati sebagai pecinta Beliau S.a.w".

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

zawiyah alKisah

Baca juga: Jadikanlah Rasulullah S.A.W Kekasih Sejati Anda


Menata Hidup ala Rasulullah S.A.W

Menata Hidup ala Rasulullah S.A.W

Sebuah syair yang masyhur meng­a­takan: “Waktu itu laksana pedang, jika engkau tidak mematahkannya, ia akan memenggalmu“.

Hidup itu tidak bisa lepas dari hambatan-hambatan, karena itu seorang manusia harus selalu berikhtiar dalam mencari solusinya.

Kajian hadits berikut ini mengutip sebuah pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang amat berharga bagi setiap orang yang tengah mengarungi hidup. Tujuannya agar hidup yang singkat ini bermakna dan maknanya akan terasa saat kita kembali ke sisi Allah Ta`ala.


Dari Ibn Umar R.a, ia berkata, “Ra­sulullah S.a.w memegang kedua bahuku seraya berkata, ‘Jadikanlah keberada­anmu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang mengembara’.”.

Selanjutnya Ibn Umar R.a berkata (kepada para sahabat), “Jika engkau ber­ada di waktu sore, janganlah me­nunggu waktu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu wak­tu sore. Gunakan masa sehatmu sebe­lum masa sakitmu dan waktu hidupmu untuk menghadapi kematianmu.”. (Riwa­yat Al-Bukhari).

Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari da­lam kitab Kelembutan Hati bab Perkata­an Nabi S.a.w, “Jadilah engkau di dunia ini... (dan seterusnya).”.


Cara Nabi Muhammad S.a.w menga­jak bicara Abdullah bin Umar R.a dengan memegang pundaknya menandakan hu­bungan kedekatan dan kecintaan beliau kepada putra sahabatnya itu dan juga kepada sahabat-sahabat yang lain. Di samping itu, cara Beliau ini menunjukkan apa yang Beliau sampaikan sebagai suatu hal yang patut ditanggapi dengan sungguh-sungguh.

Maksud hadits di atas adalah meng­gunakan waktu dalam kehidupan dunia ini secara maksimal dalam ketaatan ke­pada Allah dan menyegerakan amal. Juga larangan berleha-leha dan berpan­jang mimpi, karena perbuatan ini dapat me­lahirkan sikap culas dan malas. Di samping itu hadits ini juga mengingatkan betapa pentingnya arti sehat dan hidup. Karena keduanya merupakan dua harta yang bernilai bagi seorang mukmin, yang harus dipergunakannya untuk amal kebaikan.


Dari Ibn Mas‘ud R.a, ia berkata, “Nabi S.a.w menggambar garis empat persegi panjang. Kemudian Beliau membuat satu garis di tengah-tengahnya yang garisnya sampai keluar. Lalu Beliau mem­buat garis-garis kecil (pendek-pendek) di bagian dalam (tengah) per­segi panjang. Setelah menggambar itu, Beliau S.a.w berkata, ‘Ini manusia, dan empat persegi panjang yang mengelilingi ini ajalnya, garis yang keluar ini cita-citanya, dan garis-garis kecil ini hambatan-ham­batan hidupnya. Apabila ia mampu meng­hadapi satu hambatan, akan ia hadapi hambatan berikutnya. Apabila ia mampu menghadapi hambatan berikut­nya, ia akan menghadapi lagi hambatan berikutnya’.”. (Riwayat Al-Bukhari).

Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Kelembutan Hati bab Harapan dan Panjangnya Harapan.


Nabi S.a.w adalah seorang pendidik yang sempurna! Beliau mampu meng­ekspresikan kata-katanya yang bertabur ilmu dan hikmah dalam bentuk visual, demi memudahkan para sahabat mema­hami apa yang disampaikannya. Pesan yang disampaikan Rasulullah dalam hadits ini, seorang mukmin hendaknya menyegerakan taubat, berbuat baik, dan tidak larut dengan berpanjang mimpi.

Perbuatan berharap yang tercela ada­lah berharap-harap yang membawa seseorang kepada sikap meremehkan nikmat Allah dan tak ada kemauan ter­hadap perbuatan baik. Sehingga ia ter­jebak hanya pada sekadar harapan, se­dangkan langkah konkretnya tidak per­nah dilaksanakan. Hidup itu tidak bisa lepas dari hambatan-hambatan, karena itu seorang manusia harus selalu ber­ikhtiar dalam mencari solusinya.

Manusia sering kali mengira bahwa cita-citanya dapat terwujud sebelum da­tangnya ajal, akan tetapi bisa jadi ajalnya datang lebih cepat daripada cita-citanya.


Dari Abu Hurairah R.a, Rasulullah S.a.w bersabda, “Bersegeralah dalam ber­amal sebelum tiba tujuh perkara: Apa yang engkau nantikan selain keadaan miskin yang memperdaya, atau keadaan kaya yang membuatmu sombong, atau sakit yang membuatmu payah, atau masa tua yang membuat lemah, atau kematian yang memutuskan, atau dajjal, yang amat buruk ditunggu, ataukah Kiamat, yang amat buruk dan pahit.”. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).

Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Zuhud bab Menyegerakan Amal. Orang yang punya badan yang sehat namun sedikit ibadah-ibadahnya, menyia-nyiakan waktunya dari perbuat­an baik, melalaikan urusannya, kelak akan menyesalinya.


Rasulullah S.a.w dengan haditsnya ini mengajak umatnya untuk senantiasa bersegera dalam melakukan perbuatan baik sebelum datangnya berbagai peng­halang yang menimpa, seraya memperi­ngatkan umat ini dari melalaikan berba­gai hal yang menimpa manusia, seperti kemiskinan, kekayaan, sakit, masa tua, kematian, fitnah dajjal, hingga datangnya hari akhir.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

zawiyah alKisah



Amar Ma’ruf Nahi Munkar - Ciri Khas Umat Islam

Amar Ma’ruf Nahi Munkar - Ciri Khas Umat Islam

"Islam tidak menghendaki seorang mukmin baik hanya untuk dirinya sendiri, sementara ia tidak berupaya untuk memperbaiki saudara mukmin lainnya"


Amar Ma'ruf Nahi Munkar ~ Inilah kewajiban atau syi'ar yang merupakan baju pelindung bagi syi'ar-syi'ar lainnya. Barangkali akan membuat terkejut bagi sebagian orang jika kewajiban Amar Ma'ruf Nahi Munkar ini termasuk kewajiban-kewajiban yang azasi (mendasar) dalam Islam, mungkinkah karena selama ini perihal yang satu ini 'kurang terkenal' dari kewajiban-kewajiban lainnya.

Bagaimanapun, bagi siapa saja yang mau mempelajari Al Qur'an dan As-Sunnah, maka dia akan menemukan bahwa mengenai Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar ini, lebih jelas dan terang dari terangnya sinar matahari.

Amar Ma'ruf Nahi Munkar Adalah Keistimewaan Ummat Islam

Di dalam Al Qur'an telah dinyatakan, amar ma'ruf dan nahi munkar sebagai keistimewaan yang dimiliki oleh ummat ini (ummat Nabi Muhammad S.a.w) sehingga disebut sebagai yang terbaik, mengungguli ummat-ummat lainnya. Allah S.w.t berfirman:

"Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS Ali Imran: 110).

Dalam ayat ini penyebutan amar ma'ruf dan nahi munkar lebih didahulukan daripada penyebutan iman, padahal iman merupakan azas. Hal ini karena iman kepada Allah itu merupakan ketentuan yang bersifat umum (yang mana juga dimiliki) antara umat-umat Ahlul Kitab semuanya, sedangkan Amar ma'ruf Nahi munkar merupakan kemuliaan ummat ini, suatu sifat khas yang hanya dimiliki ummat Rasulullah S.a.w.

Seperti tumbuh-tumbuhan padang pasir, Allah-lah yang mengeluarkannya, dan dia tidak dikeluarkan agar hidup untuk dirinya saja, tetapi dikeluarkan untuk (kemaslahatan) ummat manusia seluruhnya. Ummat ini adalah ummat Dakwah dan Risalah, tugasnya menyebarkan yang ma'ruf dan memperkuatnya dan mencegah yang munkar serta menghancurkannya.

Sebelum Ayat di atas disebutkan, dalam beberapa ayat sebelumnya Allah S.w.t berfirman:

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran: 104).

Ayat di atas memiliki dua makna; yang pertama kalimat "min" berarti lit-tajrid, dengan demikian artinya 'hendaklah kamu menjadi ummat yang selalu mengajak kepada kebajikan'. Dan pula yang memperkuat makna ini adalah pembatasan keberuntungan kepada mereka, bukan kepada yang lain, seperti yang ada pada kalimat "wa ulauika humul muflihuun".

Adapun makna tafsirnya: "Hendaklah seluruh ummat Islam menjadi penyeru kebaikan, memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah kemunkaran, masing-masing sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya, sehingga termasuk berhak memperoleh keberuntungan".

Makna yang kedua, kata "min" berarti lit-tab'idh -sebagaimana ini terkenal- artinya: hendaklah di dalam masyarakat Islam itu, ada sekelompok kaum Muslimin yang memiliki 'spesialisasi', memiliki kemampuan dan memiliki persiapan yang sesuai, untuk mengemban kewajiban.berdakwah dan beramar ma'ruf nahi munkar.

Yang dimaksud "thaifah" di sini adalah mewuludkan Jama'atul Muslimin secara umum dan Ulil Amri secara khusus. Maka wajib bagi mereka mempersiapkan sebab-sebab (sarana) untuk terwujudnya thaifah tersebut dan mendukungnya baik secara moril maupun materil agar dapat tertegak risalah-Nya. Selagi ummat atau thaifah yang dicita-citakan ini belum terwujud maka dosanya akan ditanggung oleh seluruh kaum muslimin sebagai fardhu kifayah yang ditinggalkan dan diabaikan.

Al Qur'an menghendaki adanya ummat yang berdakwah ke arah kebaikan, dimana satu-satunya pintu kebaikan yang haq dan diridhai-Nya ialah Syariat Nabi Muhammad S.a.w, yakni Agama Islam. Hendaknya ummat itu mampu memerintah dan melarang, karena hal itu adalah perkara yang lebih khusus dan lebih besar daripada sekedar mau 'izhah dan tadzkir (nasehat dan peringatan). Setiap orang yang mempunyai lidah, ia bisa memberi nasehat dan peringatan, tetapi tidak selamanya bisa memerintah dan melarang. Dan yang dituntut oleh ayat tersebut adalah mewujudkan ummat yang mampu berdakwah, memerintah dan melarang.


Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar Merupakan Khas Ummat Islam

Dalam menjelaskan ciri-ciri secara umum bagi masyarakat mukmin yang berbeda dengan masyarakat orang-orang kafir dan munafik, maka Amar ma'ruf dan Nahi Munkar merupakan ciri utama bagi masyarakat Islam dan bagi individu anggota masyarakat tersebut.

Islam tidak menghendaki mereka baik hanya untuk diri sendiri. sementara mereka tidak berupaya untuk memperbaiki orang lain. Dalam hal ini, Allah S.w.t menjelaskan dalam Surat Al Ashr:

"Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya mentaati kesabaran." (QS Al Ashr: 1-3).

Maka tidak cukup hanya dengan iman dan beramal shalih untuk memperoleh keselamatan dari kerugian dan kehancuran, sehingga mereka mau melaksanakan saling berwasiat dalam melakukan kebenaran dan saling mewasiati untuk tetap bersabar. Dengan kata lain, sehingga mereka mau memperbaiki orang lain dan menyebarkan makna saling menasehati dan dakwah di masyarakat untuk berpegang kepada kebenaran dan tetap dalam kesabaran. Dan hal itu termasuk pilar kekuatan masyarakat setelah iman dan amal shalih.

Di dalam surat At-Taubah juga terdapat penjelasan tentang sifat-sifat orang yang beriman, yang mana Allah telah membeli (menukar) diri dan harta mereka dengan surga, demikian itu tersebut dalam Firman Allah S.w.t:

"Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (QS At-Taubah: 112)

Dalam Surat Al Hajj, Al Qur'an menjelaskan kewajiban yang terpenting ketika ummat Islam diberi kesempatan oleh Allah S.w.t di bumi ini untuk memiliki kedaulatan dan kekuasaan, Allah berfirman:

"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong-(agama)Nya, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di maka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (QS Al Hajj: 40-41).

Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar setelah shalat dan zakat adalah faktor terpenting yang menjadi kewajiban dalam masyarakat Islam, bahkan mereka tidak berhak memperoleh pertolongan Allah kecuali dengan melaksanakan tugas itu, sebagaimana diterangkan dalam dua ayat tersebut. Inilah kewajiban amar ma'ruf dan nahi munkar dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia merupakan lambang atas wajibnya takaful (saling memikul beban) secara moral di antara kaum Muslimin, sebagaimana zakat merupakan lambang atas wajibnya takaful materi di antara mereka.

Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w bersabda: "Sesungguhnya manusia itu apabila melihat orang yang zhalim, lalu mereka tidak memegang kedua tangannya (mencegahnya) maka Allah akan meratakan siksa dari sisi-Nya." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa'i).

Yang penting adalah memperkuat pelaksanaan kewajiban yang besar ini dan menghidupkannya kembali, serta menghidupkan aktifitas dakwah, yang dengannya akan sanggup melaksanakan syiar ini dalam kehidupan yang nyata. Dan para Da'i (Alim, Ulama, Kyai, Ustadz) dalam hal ini memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat Islam.

Kewajiban ber-amar ma'ruf dan nahi munkar adalah sarana terbaik untuk membentuk ummat yang bersandar pada akhlak Islami (yakni Akhlaknya Rasulullah S.a.w), tata susila yang paling benar, paling adil, paling kekal dan paling kuat, karena standar itu diambil dari Al Haq yang 'azli dan abadi, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala.


Mengenal Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi munkar yang biasa diartikan dengan “Memerintahkan untuk berbuat baik dan mencegah terjadinya perbuatan munkar” adalah salah satu perintah syara’ yang fardlu kifayah.

Amar ma’ruf nahi munkar adalah satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya, kedua hal tersebut adalah saling menetapi (talazum).

Yang disebut dengan Ma’ruf adalah:

المعروف وهو اسم لكل ما عرف من طاعة الله عز وجل, والتقرب إليه والإحسان إلى الناس ,وكل ما ندب اليه الشرع.

Ma’ruf adalah nama bagi setiap perbuatan yang diketahui merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jall, mendekatkan diri kepada-Nya, berbuat baik kepada manusia, dan setiap apa yang disunnahkan oleh syara’.

Sedangkan yang disebut dengan Munkar adalah kebalikan dari ma’ruf.

Dalil dari Al Qur’an adalah:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (ال عمران:110)

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.".

Dalil dari As-Sunnah adalah:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه, فإن لم يستطع فبقلبه, وذلك أضعاف الإيمان.

"Barangsiapa di antara kamu sekalian yang melihat kemunkaran hendaknya merubah kemunkaran tersebut dengan tangannya, apabila tidak mampu maka dengan lisannya, apabila tidak mampu maka dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemahnya iman.".

Dari hadits ini bisa diambil kesimpulan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar memiliki tiga tingkatan:

1). Yang pertama dan ini adalah yang paling kuat yaitu dengan menggunakan tangan/kemampuan/kekuasaan. Ini adalah merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan fardlu ain dan wajib dilakukan dengan segera (al-wajib ‘ala al-faur) apabila memang memiliki kemampuan untuk itu.

2). Yang kedua: Apabila langkah pertama tidak dapat dilakukan, maka bagi orang yang melihat kemunkaran wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan berpindah pada tingkatan yang kedua, yaitu dengan menggunakan lisan.

Ketika melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan menerapkan cara yang pertama dan kedua, hendaknya dilakukan dengan kelembutan sikap dan perasaan kasih sayang, dengan ucapan yang halus dan santun.

3). Apabila dua tingkatan ini tidak bisa dilakukan, maka hendaknya menerapkan amar ma’ruf nahi munkar tingkat ketiga, yaitu dengan cara melakukan pengingkaran dalam hati (tidak senang dengan adanya kemungkaran tersebut) dan haram untuk cuek bebek atau tidak perduli ketika melihat terjadinya suatu kemungkaran. Dan tingkatan yang ketiga ini merupakan amar ma’ruf yang dilakukan sebab adanya kelemahan iman.

Dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila hendak melakukannya, yaitu:

1. Orang yang hendak melakukannya adalah seorang yang Alim (benar-benar paham/mengerti) dengan apa yang diperintahkannya atau yang dicegahnya tersebut.

2. Hendaknya amar ma’ruf yang dilakukan tidak menyebabkan kemunkaran atau kerusakan yang lebih besar.

3. Orang yang melakukan amar ma’ruf hendaknya memiliki prasangka kuat bahwa yang dilakukannya tersebut bisa berfaedah.

Apabila dua syarat yang pertama tidak dapat dipenuhi, maka haram untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Apabila syarat yang ketiga tidak dapat dipenuhi, maka kewajiban amar ma’ruf nahi munkar adalah gugur.

(disarikan dari Kitab Syarah ash-Shawi ‘ala Jauharah at-Tauhid karya Syekh al-Imam al-Faqih Ahmad bin Muhammad al-Maliki ash-Shawi).

Berdakwah atau Mengajak Kepada Kebaikan dengan Lemah-lembut

"Amar ma'ruf nahi munkar harus dilakukan dengan sikap bijak, lembut dan bertahap" ~ (Sayyid Muhammad bin Alawy Al Maliki).

Ber-amar ma’ruf nahi munkar-lah dengan penuh hikmah dan kearifan, ajaklah mereka ke jalan Allah dengan budi pekerti dan akhlak mulia Rasulullah S.a.w, dan semoga hidayah Allah dicurahkan dengan mengikuti jejak para Sahabat mulia, Salafus shaleh, para Imam Mujtahid, Wali-wali-Nya, Auliya wa Shalihin.

Firman Allah S.w.t: "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS Fushshilat: 33).

Islam mengajarkan umatnya agar bersikap lemah-lembut dalam berdakwah atau mengajak kepada kebaikan. Rasulullah S.a.w dikenal kelemah-lembutannya dalam mengemban Risalah Islam. Karena sikap lemah-lembut Beliau itu pula Islam memiliki daya tarik sangat kuat, sebagaimana diabadikan dalam Al Qur'an:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”. (QS Ali Imran: 159).

Rasulullah S.a.w bersabda: “Sesungguhnya tidaklah kelemah-lembutan itu ada pada sesuatu melainkan ia akan memperindahnya dan tidaklah kelemah-lembutan itu dicabut dari sesuatu melainkan akan memperburuknya.”. (HR Muslim).

Demikianlah, Islam mengajarkan kelembutan, cara-cara yang damai, sopan santun, etis, penuh kesejukan dan menyenangkan. Islam tidak mengajarkan kekerasan, sikap kasar, atau pun menyakiti orang lain. Islam hanya menegakkan kekerasan dalam dua hal; perang dan penegakan hukum (yakni ketika hak Allah dilanggar).

Allah S.w.t berfirman:

ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعضة الحسنة وجدلهم بالتي هي أحسن

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantalah mereka dengan cara yang lebih baik.”. (QS an-Nahl: 125).

Bekerja atas dorongan cinta dan disertai keikhlasan maka akan terasa senang tiada jemu dan rasa lelah. Sesungguhnya hati memiliki keinginan, kepedulian, dan keengganan, maka datangilah ia dari arah kesenangan dan kepeduliannya, sebab jika hati itu dipaksakan, ia akan buta. Berdakwalah dengan Ikhlas dan penuh semangat, bukan karena seseorang atau pujian makhluk. Ketika hal tersebut sudah terpantri di dalam hati tidak ada satu pun makhluk yang mampu menghentikan langkah kaki ini. Wallahul Musta'aan. ~ Nasihat Al Habib Hud Alatas.


Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abdullah bin Humaid, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa’y, Ibnu Majah, Ad-Daruquthny, Al-Baihaqy, dan Abu Ya’la mentakhrijkan dari Qais bin Abu Hazim, dia berkata: “Setelah Abu Bakar menjadi khalifah, dia naik ke atas mimbar, lalu menyampaikan pidato. Setelah menyampaikan pujian kepada Allah, dia berkata:

“Wahai semua manusia , tentunya kalian juga membaca ayat ini, ‘Hai orang orang yang beriman, jagalah diri kalian. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk' (QS Al-Maidah: 105), namun kalian meletakkan ayat ini bukan pada tempatnya. Aku pernah mendengar Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Sesungguhnya apabila manusia melihat kemungkaran dan mereka tidak mau merubahnya, maka Allah akan menyegerakan siksa yang menyelingkupi mereka semua’.”. (Al-Kanzu, 2/138).

Ath-Thabrani mentakhrijkan dari Thariq bin Syihab, dia berkata, “Itris bin Urqub Asy-Syaibany menemui Abdullah R.a seraya berkata, “Binasalah orang yang tidak menyuruh kepada yang ma’ruf dan tidak mencegah dari yang mungkar.”, Abdullah R.a meralat (menambahkan) ucapannya dengan, “Bahkan binasalah orang yang tidak memperlihatkan yang makruf dan tidak mengingkari yang mungkar”. (Al-Haitsamy, 7/275, Rijalnya Shahih).


Hadist-hadist yang Berkenaan Dengan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar

Dari Abu Hurairah R.a, bahwasanya Rasulullah S.a.w bersabda: “Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.”. (H.R. Muslim).

Dari Ibnu Mas’ud R.a berkata, Rasulullah S.a.w bersabda: “Barang siapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengerjakannya.”. (H.R. Muslim).

Abu Sa’id Al-Khudry R.a berkata: Saya mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Barang siapa di antara kamu sekalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubah dengan kekuasaannya, kalau tidak mampu maka dengan tegurannya, dan kalau tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang terakhir adalah selemah-lemahnya iman.”. (H.R. Muslim).

Dari Ibnu Mas’ud R.a, bahwasanya Rasulullah S.a.w bersabda: “Tidak seorang nabi pun yang diutus Allah kepada suatu ummat sebelumku kecuali ia mempunyai penolong-penolong setia dan kawan-kawan yang senantiasa mengikuti sunnahnya dan mentaati perintahnya, kemudian sesudah periode mereka timbullah penyelewengan dimana mereka mengucapkan apa yang tidak mereka kerjakan dan mereka mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa yang memerangi mereka dengan kekuasaannya maka ia adalah orang yang beriman, barang siapa yang memerangi mereka dengan ucapannya, maka ia adalah orang yang beriman dan barang siapa yang memerangi mereka dengan hatinya, maka ia adalah seorang yang beriman juga; selain dari itu tidaklah ada padanya rasa iman walau hanya sebiji sawi.”. (H.R. Muslim).

Abu Bakr Ash-Shiddiq R.a berkata: ”Wahai sekalian manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini: ‘Yaa ayyuhal ladziina aamnuu ‘alaikum anfusakum laa yadhurrukum man dhalla idzahtadaitum’ (Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu masing-masing, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu jika kamu telah mendapat petunjuk). Dan sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Bahwasanya manusia itu bila mengetahui orang berbuat zhalim kemudian mereka tidak mengambil tindakan, maka Allah akan meratakan siksaan kepada mereka semua.”. (H.R. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i).

Dari Hudzaifah R.a, Rasulullah S.a.w bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, kamu harus sungguh-sungguh menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran, kalau tidak Allah akan menurunkan siksaan kepadamu, kemudian kamu berdoa kepada-Nya, maka tidak akan dikabulkan doamu itu.”. (H.R. Tirmidzi).

Ibnu Mas’ud R.a berkata: ”Saya mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Semoga Allah memberi cahaya berkilau-kilau kepada seseorang yang mendengar sesuatu dariku kemudian ia menyampaikan sebegaimana yang ia dengar, karena banyak orang yang disampaikan kepadanya (sesuatu itu) lebih menerima daripada orang yang mendengarnya sendiri.”. (H.R. Tirmidzi)

Abu Zaid Usamah bin Haritsah R.a berkata: “Saya mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Pada hari kiamat kelak ada seseorang yang digiring lantas dilemparkan ke dalam neraka, seluruh isi perutnya keluar lalu berputar-putar seperti berputar-putarnya keledai di kincir, kemudian seluruh penghuni neraka berkumpul mengerumuninya, lantas menegur: “Wahai Fulan, apa yang terjadi padamu, apakah kemu tidak beramar ma’ruf dan nahi munkar?” Ia menjawab: “Ya, saya menganjurkan kebaikan tetapi saya sendiri tidak menjalankannya, dan saya melarang kemunkaran tetapi saya sendiri malah mengerjakannya.”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Sa’id Al-Khudry R.a, Rasulullah S.a.w bersabda: “Jauhilah olehmu sekalian duduk di jalan-jalan.”, para Sahabat berkata: “Ya Rasulullah kami tidak bisa meninggalkan tempat duduk kami (di jalan) itu dimana kami berbincang-bincang di sana”, Rasulullah menjawab: “Apabila kamu sekalian enggan untuk tidak duduk di sana maka penuhilah hak jalan itu.”. Para Sahabat bertanya: “Apakah hak jalan itu ya Rasulullah.”, Beliau menjawab: “Yaitu memejamkan mata, membuang kotoran, menjawab salam serta menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran.”. (HR Bukhari dan Muslim).

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

~ Assalamu Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh ~




Chord dan Lirik

Ulasan Film

ad2

Keimanan dan Keyakinan

Olahan Makanan

Tempo Doeloe

Tips dan Trik

Explore Indonesia

Broker Kripto