Top Bisnis Online

Trading dan Investasi

ad1

Iklan Gratis

Tampilkan postingan dengan label Tasawuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tasawuf. Tampilkan semua postingan
Memperbaiki Budi Pekerti

Memperbaiki Budi Pekerti

Sungguh, seorang hamba bisa mencapai derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di akhirat dengan bekal budi pekerti yang baik, meskipun ia lemah dalam beribadah


Segala puji bagi Allah S.w.t, yang telah memperindah rupa manusia dengan keindahan bentuk dan ukurannya dan melimpahkan urusan perbaikan budi pekerti pada kesungguhan dan kesiapan hamba. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada pemimpin kita Nabi Muhammad S.a.w, hamba Allah, Nabi-Nya, kekasih-Nya, penyebar kabar gembira dan peringatan dari-Nya; juga kepada Keluarganya dan para Sahabatnya, yang telah membersihkan wajah Islam dari kegelapan dan kekelaman, kekafiran. Amma Ba’du.

Adapun budi yang baik adalah watak pemimpin para rasul (Nabi Muhammad S.a.w), amalan utama orang-orang yang lurus hatinya, separuh dari agama, dan buah dari penempaan diri orang-orang yang bertakwa.

Adapun perangai yang buruk adalah racun pembunuh dan perusak, kehinaan yang mempermalukan, serta keburukan yang menjauhkan seseorang dari sisi Sang Penguasa alam semesta. Perangai yang buruk adalah penyakit bagi hati.

Minat para dokter untuk menguasai ilmu pengobatan tubuh sangat tinggi, padahal dampak dari gagalnya pengobatan tubuh hanyalah hilangnya kehidupan yang bersifat fana. Karena itu, perhatian pada pengobatan penyakit hati, yang bisa berdampak pada hilangnya kehidupan yang kekal, tentu lebih diperlukan. Allah S.w.t telah berfirman:

"Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya". (QS Al-Syams [91]: 9-10).

Jadi, dengan mengobati penyakit hati, jiwa menjadi bersih; dan dengan mengabaikan pengobatan hati, jiwa menjadi kotor.

Hanya Rasulullah S.a.w yang mempunyai kesempurnaan budi pekerti, karena itu orang yang paling dekat dengan Allah adalah orang yang mengikuti Rasulullah dengan budi pekerti yang baik

Keutamaan Budi Pekerti Yang Baik

Allah telah berfirman kepada Nabi Muhammad Sa.w, seraya memujinya dan memperlihatkan nikmat-Nya kepada Beliau, "Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur" (QS Al-Qalam: 4).

Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah S.a.w tentang budi pekerti yang baik, Beliau pun membaca firman Allah, "Jadilah pemaaf, suruh orang mengerjakan yang makruf, dan jangan engkau pedulikan orang-orang yang bodoh" (QS Al-A’raf [7]: 199). Kemudian Beliau S.a.w bersabda, “Budi yang baik ialah menyambung silaturahmi kepada orang yang memutuskannya darimu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu, dan memaafkan orang yang menzalimimu.”.

Rasulullah S.a.w pun telah bersabda, “Perkara yang paling berat ketika ditimbang di Mizan pada Hari Kiamat nanti adalah ketakwaan kepada Allah dan budi pekerti yang baik.”. Riwayat yang lain mengggunakan redaksi, “Perkara yang paling berat ketika ditimbang di Mizan adalah budi pekerti yang baik.”. Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu menolong semua orang dengan hartamu maka bantulah mereka dengan wajah yang ceria dan budi pekerti yang baik.”. Sang Nabi S.a.w pun pernah bersabda, “Sungguh, seorang hamba bisa mencapai derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di akhirat dengan bekal budi pekerti yang baik meskipun ia lemah dalam beribadah.”.

Hasan Al-Bashri menyatakan, “Barang siapa berperangai buruk, ia menyiksa dirinya sendiri.”. Anas bin Malik R.a mengatakan, “Seseorang bisa mencapai derajat yang tinggi dengan budi pekerti yang baik meskipun ia bukan ahli ibadah. Sebaliknya, meskipun gemar beribadah, seseorang bisa terdampar pada kedudukan yang paling rendah karena perangainya yang buruk.”.

Al-Kanani mengatakan, “Tasawuf adalah soal budi pekerti. Maka, barang siapa memiliki budi pekerti yang lebih baik daripada dirimu, berarti tasawufnya lebih baik daripada tasawufmu.”. Ibnu Abbas mengutarakan, “Setiap bangunan mempunyai fondasi, dan fondasi Islam adalah budi pekerti yang baik.”. Atha’ menyatakan, “Tidak ada orang yang berkedudukan tinggi, kecuali karena budi pekertinya yang baik.”. Dan, hanya Rasulullah S.a.w yang mempunyai kesempurnaan budi pekerti, karena itu, orang yang paling dekat dengan Allah adalah orang yang mengikuti Rasulullah dengan budi pekerti yang baik.

Semakin dekat derajat budi pekerti seseorang dengan Rasulullah, berarti semakin dekat ia dengan Allah S.w.t

Penjelasan Mengenai Budi Pekerti Yang Baik

Kata khuluq (budi pekerti) dan khalq (bentuk tubuh) bisa digunakan secara bersamaan. Misalnya, hasana al-khuluqu wa al-khalqu. Artinya, sisi batiniah dan lahiriahnya baik. Jadi, yang dimaksud dengan khalq adalah tubuh yang kasat mata, sedangkan khuluq adalah sisi bathiniah seseorang. Dengan kata lain, budi pekerti adalah suatu sifat yang sudah menancap kuat pada jiwa seseorang, yang darinya timbul berbagai perilaku dengan mudah. Jika yang muncul adalah perilaku-perilaku yang baik, sifat itu dinamakan budi pekerti yang baik. Jika yang lahir adalah perilaku-perilaku yang buruk, sifat itu dinamakan budi pekerti yang buruk.

Ada empat hal yang terkait dengan budi pekerti, yaitu:
1). Perilaku baik dan buruk
2). Kekuatan untuk melakukan perilaku baik atau buruk
3). Pengetahuan tentang dua jenis perilaku tersebut
4). Kondisi kejiwaan yang mengarah pada salah satu di antara dua budi pekerti tersebut.

Yang dinamakan budi pekerti tidaklah terbatas pada perilaku itu sendiri. Bisa jadi seseorang berperilaku dermawan, tetapi faktanya ia tidak mau bersedekah saat sedang dihinggapi kemiskinan atau ada halangan. Budi pekerti adalah unsur yang keempat yang tersebut di atas. Budi pekerti adalah kondisi pada jiwa seseorang, yang karena kondisi itu ia siap melahirkan perbuatan. Dengan kata lain, budi pekerti merupakan keadaan pada jiwa dan bathiniah seseorang.

Bentuk lahiriah wajah seseorang tidak bisa dikatakan cantik, kecuali jika kedua mata, hidung, mulut, dan pipinya indah secara keseluruhan. Demikian pula kecantikan batin tidak bisa terwujud, kecuali jika empat unsur pada diri seseorang bersifat baik secara keseluruhan. Jika empat unsur itu baik, terwujudlah apa yang dinamakan budi pekerti yang baik. Empat unsur itu adalah ilmu, amarah, nafsu, dan keseimbangan di antara tiga unsur tersebut.

Ilmu bisa dikatakan baik jika ia mampu dengan mudah membedakan antara kejujuran dan kebohongan dalam ucapan, kebenaran dan kebathilan dalam keyakinan, serta kebaikan dan keburukan dalam perbuatan. Ilmu yang baik akan berbuah hikmah. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. (QS Al-Baqarah [2]: 269).

Amarah bisa dikatakan baik jika naik dan turunnya selaras dengan tuntutan hikmah. Begitu juga nafsu bisa dikatakan baik jika mengikuti bimbingan hikmah, yaitu petunjuk nalar dan syariat. Adapun yang dimaksud dengan keseimbangan di antara tiga unsur ialah terkendalinya nafsu dan amarah di bawah petunjuk nalar dan syariat.

Induk dari berbagai budi pekerti yang baik ada empat, yaitu Hikmah, Syaja’ah, ‘Iffah, dan ‘Adalah.

Dengan adanya keseimbangan dalam menggunakan kekuatan nalar, akan muncul kecakapan dalam mengorganisasi, kejernihan pikiran dan pandangan, intuisi yang benar, kecakapan dalam mengerjakan berbagai pekerjaan, dan kecerdasan dalam melihat berbagai rahasia hati. Namun jika nalar digunakan kelewat batas, akan timbul sifat kedurjanaan, kelicikan, kecurangan, dan kemunafikan. Adapun jika nalar diremehkan, akan lahir watak bebal, ketakutan untuk mencoba sesuatu, kedunguan, dan kerusakan nalar.

Dengan adanya syaja’ah, akan muncul sifat kemurahan hati, penolong, kesatria, rendah hati, ketegaran, kesabaran, keteguhan hati, pengendalian emosi, kehormatan diri, ketenangan diri, dan sebagainya. Namun jika syajd’ah tersebut melampaui batas, akan lahir sikap sembrono, pongah, tinggi hati, mudah marah, sombong, dan  bangga diri. Adapun jika syaja’ah dikesampingkan, yang akan muncul adalah kehinaan, kenistaan, ketakutan, kerendahan diri, dan rasa ; gentar dalam memperjuangkan hak.

Adapun dengan adanya ‘iffah, akan terlahir sifat kedermawanan, rasa malu, kesabaran, toleransi, qana ‘ah, wara’, kelembutan, keringanan tangan, kesantunan, dan kekayaan hati. Akan tetapi jika ‘iffah terlalu berlebihan atau diabaikan, yang akan lahir justru sifat tamak, rakus, tidak tahu malu, boros, kemubaziran, pelit, riya, dengki, melakukan hal-hal yang sia-sia, senang atas kesusahan dan kemiskinan orang lain, menghinakan diri di depan orang kaya, suka menghina orang miskin, dan sebagainya.

Dengan demikian, pangkal dari segala keluhuran budi pekerti adalah hikmah, syaja’ah, ‘iffah, dan ‘adalah. Adapun sifat-sifat yang lain merupakan cabang-cabangnya saja.

Tidak ada seorang pun yang berhasil mencapai kesempurnaan budi pekerti, yaitu keseimbangan dalam empat induk budi pekerti sebagaimana yang telah disebutkan, kecuali Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Adapun manusia selain Beliau berbeda-beda derajat kedekatan mereka dengan budi pekerti Beliau.

Semakin dekat derajat budi pekerti seseorang dengan Rasulullah, berarti semakin dekat ia dengan Allah S.w.t.

Al-Quran telah memberi isyarat mengenai empat induk budi pekerti tersebut. Allah berfirman, Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka yang berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (QS Al-Hujurat [49]: 15). Keimanan kepada Allah dan Rasulullah tanpa keraguan adalah kekuatan keyakinan dan buah dari penalaran serta puncak dari kebijaksanaan. Perjuangan dengan harta benda merupakan sikap kedermawanan yang bersumber dari pengendalian terhadap kekuatan nafsu. Adapun jihad dengan jiwa merupakan sifat keberanian yang bertolak dari penggunaan kekuatan amarah secara seimbang dan sesuai dengan petunjuk nalar. Allah Swt. menggambarkan karakter para sahabat dengan firman-Nya, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Dengan maksud memberikan isyarat bahwa sikap keras ada tempatnya dan sikap lembut pun ada tempatnya tersendiri.

Yang dimaksud dengan “mengubah budi pekerti menjadi baik” bukanlah mematikan elemen amarah dan nafsu secara total, melainkan meluruskan dan memperbaiki keduanya, dan dengan mengembalikan elemen amarah dan nafsu pada titik keseimbangan

Budi Pekerti Bisa Berubah

Seandainya budi pekerti tidak bisa berubah, tidak ada gunanya lagi nasihat, pengarahan, dan pendidikan. Lagi pula Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki budi pekerti.”.

Sesungguhnya amarah dan nafsu bisa dipengaruhi dengan pilihan. Jika hendak melenyapkan dan mematikan keduanya, tentu saja kita tidak bisa. Namun, kita bisa mengarahkan dan mengatur keduanya dengan latihan dan penempaan diri. Sebagai perumpamaan, biji apel maupun kurma bukanlah apel atau kurma itu sendiri. Biji kurma ditakdirkan untuk bisa berubah menjadi pohon kurma jika dirawat dengan baik. Adapun biji apel sudah digariskan tidak bisa menjadi pohon apel meskipun telah ditanam dan dirawat dengan baik. Jadi, ada hal yang mungkin diubah dan ada hal yang tidak mungkin diubah. Salah satu hal yang mungkin diubah dan diperbaiki ialah budi pekerti.

Watak dasar manusia mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda-beda untuk dipengaruhi dan diubah. Perbedaan itu ditentukan oleh perbedaan kekuatan naluri dasar (baca: amarah dan nafsu) seseorang dan seberapa kuat ia dipengaruhi oleh perilaku yang sering dilakukannya.

~ Orang yang tidak bisa membedakan kebenaran dari kebathilan dan kemuliaan dari kehinaan, bisa dengan cepat diperbaiki budi pekertinya. Ia hanya memerlukan seorang guru dan pembimbing.

~ Orang yang sudah bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, tetapi tidak terbiasa mengerjakan kebaikan dan malah tunduk pada hawa nafsunya, lebih sulit untuk diluruskan budi pekertinya. Untuk mengubahnya, apa yang sudah tertanam kuat di jiwanya harus dicabut terlebih dulu. Setelah itu, harus ditanamkan pada dirinya kebiasaan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.

~ Orang yang meyakini perilaku buruk sebagai kemuliaan dan terbiasa melakukan keburukan, hampir tidak bisa diperbaiki budi pekertinya. Kita hanya bisa berharap agar ia bisa menjadi baik, tetapi hal itu termasuk kejadian langka.

~ Orang yang paling sulit untuk diperbaiki budi pekertinya adalah orang yang tumbuh bersama nilai-nilai yang salah, terbiasa melakukan perilaku buruk, dengan memandang keburukan sebagai keutamaan dan membanggakannya, serta menganggap hal itu bisa meninggikan derajatnya.

Orang model pertama dinamakan orang bodoh. Orang kedua bodoh dan sesat. Orang ketiga bodoh, sesat, dan fasik. Adapun orang keempat adalah orang bodoh, sesat, fasik, dan jahat.

Yang dimaksud dengan “mengubah budi pekerti menjadi baik” bukanlah mematikan elemen amarah dan nafsu secara total, melainkan meluruskan dan memperbaiki keduanya. Allah Swt. telah berfirman, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Ketegasan di sini tiada lain bersumber dari elemen amarah. Seandainya amarah disingkirkan, tentu tidak ada syariat yang bernama jihad. Allah pun telah menyatakan bahwa salah satu ciri orang yang beriman ialah, Orang-orang yang menahan amarahnya (QS Ali ‘Imran [3]: 134). Allah tidak mengatakan orang-orang yang menghilangkan amarahnya.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan perbaikan budi pekerti adalah mengembalikan elemen amarah dan nafsu pada titik keseimbangan.

Allah S.w.t. juga berfirman, Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar (QS Al-Furqan [25]: 67). Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) (QS Al-Isra’ [17]: 29). Makan dan minumlah kalian, tetapijangan berlebihan (QS Al-A’raf [7]: 31). Mengenai amarah, Allah pun berfirman, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Demikian pula kedermawanan berada di antara pemborosan dan kekikiran, keberanian di antara kegentaran dan kesembronoan, dan’iffah di antara ketamakan dan kebekuan (tidak bernafsu). Jadi, semua sifat baik berada di tengah, sedangkan semua sifat yang berada di dua sisi ekstrem merupakan sifat yang tercela.

Hanya saja, seorang guru ruhani dalam membimbing murid-muridnya diharuskan untuk menistakan perilaku emosional dan kikir secara mutlak. Tujuannya, agar para murid tidak menyisakan kebakhilan dan kemarahan. Jika mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melenyapkan kebakhilan dan kemarahan, tentu tidak mudah bagi mereka untuk melenyapkan keduanya. Dengan begitu, mereka akan kembali pada titik tengah.

Puncak dari budi pekerti adalah tercerabutnya kecintaan pada dunia dan tertanamnya kecintaan kepada Allah S.w.t. di dalam jiwa

Cara Memperoleh Budi Pekerti Yang Baik

Engkau sudah tahu bahwa budi pekerti yang luhur berasal dari keseimbangan kekuatan nalar, kesempurnaan kebijakan, keseimbangan elemen amarah dan nafsu, serta ketundukan kedua elemen tersebut pada syariat dan nalar. Keseimbangan berbagai unsur tersebut bisa diperoleh dengan dua cara:

1). Melalui anugerah llahi dan kesempurnaan fitrah.
2). Melalui pelatihanan dan penempaan diri, yaitu dengan membiasakan diri mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Maka, siapa yang ingin memiliki sifat dermawan, ia harus memaksakan diri untuk mengerjakan perilaku-perilaku dermawan, yaitu menyedekahkan harta benda. Tidak hanya itu, ia pun harus memaksakan diri untuk melakukannya secara terus-menerus sehingga menjadi terbiasa dan menjadi mudah baginya untuk melakukannya. Begitu pula jika ada orang yang ingin mempunyai sifat rendah hati. Ia harus membiasakan dirinya untuk mempraktikkan berbagai perilaku orang-orang yang rendah hati sehingga perilaku-perilaku itu menjadi sifat yang melekat pada dirinya.

Semua budi pekerti yang terpuji bisa diperoleh dengan cara demikian. Allah S.w.t. berfirman di dalam bab shalat, Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (QS Al-Baqarah [2]: 45). Rasulullah S.a.w pun bersabda, “Beribadahlah kepada Allah dalam keadaan senang. Jika tidak bisa, pada kesabaran dalam menjalankan apa yang tidak kau sukai (baca: ibadah) terdapat banyak kebajikan.”.

Maksud dari semua ibadah tiada lain ialah untuk memberi kesan di dalam hati. Hal tersebut hanya bisa menjadi kuat dengan banyaknya pengulangan. Adapun puncak dari budi pekerti adalah tercerabutnya kecintaan pada dunia dan tertanamnya kecintaan kepada Allah S.w.t. di dalam jiwa. Jika jiwa bisa menikmati kebathilan dan senantiasa berhasrat padanya karena kebiasaan, mengapa jiwa tidak bisa pula menikmati kebenaran jika sudah dikembalikan padanya dan beristiqamah melakukan kebaikan?

Engkau sudah tahu bahwa budi pekerti yang baik terkadang merupakan bawaan sejak lahir atau fitrah, terkadang muncul karena pembiasaan dalam melakukan kebaikan, dan terkadang datang setelah seseorang melihat perilaku orang-orang yang berbudi luhur dan berteman dengan mereka. Maka, jika pada diri seseorang telah berkumpul budi pekerti yang terpuji karena fitrahnya memang demikian, karena pembiasaan, dan karena pembelajaran, sungguh ia telah sampai pada puncak keutamaan. Dan barang siapa secara fitrah berbudi pekerti buruk, berteman dengan orang-orang berperangai buruk, lalu belajar keburukan dari mereka, sehingga terbiasa dengan tindak keburukan dan menikmatinya, sungguh ia telah berada di tempat yang paling jauh dari Allah S.w.t.

Di antara dua kedudukan itu, terdapat orang-orang dengan kedudukan yang berbeda-beda. Kedekatan dan kejauhan mereka dari Allah berbeda-beda sesuai dengan budi pekerti mereka masing-masing. Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya; dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (QS Al-Zalzalah [99]: 7-8). Kami tidak menzalimi mereka, justru merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri (QS Al-Nahl [16]: 118).

Secara umum, cara untuk memperbaiki budi pekerti adalah dengan melakukan sifat-sifat yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsu

Perincian Cara Memperbaiki Budi Pekerti

Dalam hal penyembuhan, jiwa bagaikan badan. Penyembuhan jiwa dilakukan dengan membersihkan sifat-sifat hina dan menghadirkan sifat-sifat mulia, sedangkan penyembuhan badan dengan membersihkan berbagai penyakit dan mengupayakan kebugaran badan. Secara fitrah, tubuh manusia berada dalam keseimbangan di antara elemen-elemen di dalamnya, tetapi tubuh kemudian bisa menjadi sakit karena pengaruh makanan, udara, dan lingkungannya. Seorang anak pun demikian. Setiap bayi dilahirkan dengan fitrahnya, tetapi ayah dan ibunya yang membuatnya menjadi pemeluk Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Tubuh pun pada awalnya tidak diciptakan dalam kondisi yang sempurna. Ia bisa menjadi sempurna dan kuat hanya setelah tumbuh, memperoleh pendidikan, dan mendapatkan asupan makanan. jiwa pun seperti itu. Ia diciptakan dalam potensi untuk bisa menjadi. sempurna. Ia hanya bisa menjadi sempurna dengan pendidikan, budi pekerti yang baik, dan asupan ilmu.

Seorang guru panutan yang hendak menyembuhkan jiwa para murid dan memperbaiki kondisi hati mereka hendaknya tidak tergesa-gesa dalam merekomendasikan latihan dan amalan kepada murid-muridnya selagi belum mengetahui budi pekerti dan penyakit mereka. Ia hendaknya mengobati penyakit hati dan jiwa mereka setelah terlebih dahulu memeriksa penyakit mereka, keadaan mereka, dan seberapa besar kekuatan mereka untuk melakukan penempaan diri.

Jika seorang murid masih pemula dan belum mengerti dasar-dasar syariat, hendaknya sang guru terlebih dahulu mengajarkan kepadanya bab tentang bersuci, shalat, dan berbagai ibadah ragawi lainnya. Jika seorang murid berkecimpung dalam dunia haram atau kemaksiatan, sang guru hendaknya terlebih dahulu memerintahkannya untuk meninggalkan dunia haram atau kemaksiatan tersebut. Apabila seorang murid sudah menjalankan ibadah-ibadah ragawi dengan baik dan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan lahiriah, barulah sang guru bisa memperhatikan sisi batiniahnya guna mengetahui budi pekerti dan penyakit-penyakit di hatinya. Setelah itu sang guru hendaknya secara bertahap membersihkan hati sang murid dari virus-virus batin dan merawatnya.

Salah satu rahasia penempaan diri: jika seorang murid kesulitan meninggalkan suatu sifat buruk, seorang guru tidak boleh langsung memberikan terapi berupa kebalikan dari sifat itu secara seketika. Ia hendaknya membawa sang murid dari sifat buruk itu ke sifat buruk lain yang 'lebih ringan' terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana anak-anak di sekolah. Pada awalnya mereka didorong untuk menyukai permainan, kemudian didorong untuk menyukai kerapian dan keindahan berpakaian, kemudian didorong untuk menjadi pemimpin dan mendapatkan kedudukan, baru kemudian didorong untuk mencintai akhirat.

Ada sebagian orang berlatih untuk membiasakan diri bersabar dengan menyewa seseorang untuk mencacinya di depan khalayak. Ia memaksakan diri bersabar dan menahan amarah sehingga bersabar menjadi biasa baginya. Sebagian yang lain merasa dirinya penakut, lantas ia ingin mempunyai sifat pemberani. Ia pun naik perahu di laut pada musim dingin, ketika gelombang sedang bergejolak.

Secara umum, cara untuk memperbaiki budi pekerti adalah dengan melakukan sifat-sifat yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsu. Hal ini telah Allah jelaskan secara global dalam satu kalimat-Nya, Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, sesungguhnya surga adalah tempat tinggal(nya) (QS AI-Nazi’at [79]: 40-41).

Adapun pokok terpenting dalam upaya memperbaiki budi pekerti adalah komitmen terhadap apa yang telah ditekadkan. Jika seseorang sudah berkomitmen untuk meninggalkan suatu sifat yang buruk, tetapi hal-hal yang bisa menggagalkan komitmen tersebut begitu banyak dan mudah maka hendaknya ia bersabar dan tetap meneruskan komitmennya. Jika seseorang terbiasa membatalkan komitmennya, jiwanya menjadi lemah, lalu rusak.

Cobaan pertama dan utama yang dihadapi budi pekerti yang baik adalah kesabaran dalam menerima perlakuan buruk dan ketegaran dalam menghadapi perilaku kasar. Barang siapa mengeluhkan keburukan budi pekerti orang lain, itu menunjukkan keburukan budi pekertinya sendiri

Tanda-tanda Budi Pekerti Yang Baik

Sebagian orang yang telah berjuang untuk menempa diri dengan perjuangan kecil berupa menjauhi dosa-dosa besar, terkadang beranggapan bahwa mereka telah berhasil memperbaiki budi pekerti mereka. Oleh sebab itu, tanda-tanda budi pekerti yang baik perlu dijelaskan di sini..

Sesungguhnya budi pekerti yang baik ialah iman. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sebelum ia mampu mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”. Beliau juga menyatakan, “Barang siapa beriman kepada Allah dan rasuI-Nya, hendaknya ia memuliakan tamunya; dan barang siapa beriman kepada Allah dan rasul-Nya, hendaknya ia mengucapkan perkataan yang baik atau diam saja” Sabdanya yang lain, “Jika engkau menemukan orang yang diberi anugerah kezuhudan terhadap dunia dan sedikit bicara, mendekatlah kepadanya. Sesungguhnya ia memancarkan hikmah.” Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa merasa senang dengan kebaikannya dan merasa susah dengan keburukannya, sesungguhnya ia seorang mukmin.”.

Cobaan pertama dan utama yang dihadapi budi pekerti yang baik adalah kesabaran dalam menerima perlakuan buruk dan ketegaran dalam menghadapi perilaku kasar. Barang siapa mengeluhkan keburukan budi pekerti orang lain, itu menunjukkan keburukan budi pekertinya sendiri. Pada suatu hari Rasulullah S.a.w berjalan bersama Anas R.a. Beliau mengenakan selendang Najran yang pinggiran kainnya kasar. Lalu bertemulah mereka dengan seorang Arab badui dan orang itu tiba-tiba menarik dengan keras selendang di leher Rasul. Anas R.a. menceritakan, “Aku melihat leher Rasulullah S.a.w, tampak selendang itu meninggalkan bekas di leher Beliau karena kerasnya tarikan orang badui tersebut. Orang itu lalu mengatakan, ‘Wahai Muhammad. Beri aku harta Allah yang ada padamu.’ Baginda Rasul lantas menoleh kepadanya dan tertawa. Kemudian Beliau memerintahkanku untuk memberinya sesuatu.”.

Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham pergi ke kawasan gurun. Lalu datanglah seorang tentara kepadanya seraya bertanya, “Apakah engkau seorang hamba?” Ia menjawab, “Ya.” Tentara itu kembali bertanya, “Di manakah permukiman?” Ibrahim menunjuk pada tanah kuburan. Tentara itu mengatakan, “Maksudku tanah permukiman.” Ia menjawab, “Ya, itu tanah permukiman.” Jawaban Ibrahim membuat marah sang tentara. Lalu tentara itu mencambuk kepala Ibrahim bin Adham hingga kepalanya berdarah. Lantas ia membawa Ibrahim ke negerinya. Di sana, sang tentara disambut oleh teman-temannya. Mereka bertanya, “Ada apa?” Sang tentara lalu menceritakan kepada mereka apa yang telah terjadi. Mereka pun memberitahukan, “Ini adalah Ibrahim bin Adham.” Sang tentara itu lantas buru-buru turun dari kudanya, lalu mencium kedua tangan dan kaki Ibrahim, seraya meminta maaf. Setelah itu ditanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa Anda katakan kepadanya bahwa Anda seorang hamba sahaya?” Ibrahim menjawab, “Dia tidak menanyakan kepadaku, hamba siapakah aku. Dia hanya menanyakan, apakah aku hamba. Maka aku pun mengiyakan karena aku memang hamba Allah. Ketika ia memukul kepalaku, aku memohon kepada Allah surga untuknya.” Lalu ditanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa Anda mintakan surga untuknya, padahal dia menzalimimu?” Ibrahim menjawab, “Karena aku tahu bahwa aku mendapatkan pahala atas apa yang ia lakukan terhadapku. Aku tidak ingin diriku mendapatkan pahala karena dia, sementara pada saat yang sama dia mendapatkan dosa karena (menyakiti) aku.

Sahal At-Tustari pernah ditanya tentang budi pekerti yang baik. Ia menjawab, “Setidaknya, budi pekerti yang baik adalah bersikap tegar dalam menghadapi perlakuan buruk, tidak mengharap balasan atas kebaikan, serta mengasihi orang yang berbuat zalim dan memintakan ampun untuknya.

Diriwayatkan bahwa jika Uwais Al-Qarni terlihat oleh anak-anak kecil, ia akan dilempari dengan bebatuan oleh mereka. Jika sudah demikian, ia akan berkata kepada mereka, “Wahai saudara-saudaraku. Jika kalian memang harus melempariku, lempari aku dengan bebatuan kecil saja, jangan lukai betisku hingga mencegahku untuk melaksanakan shalat.

Seorang lelaki mencaci maki Ahnaf bin Qais, tetapi Ahnaf tidak menggubrisnya. Lelaki itu pun membuntuti Ahnaf. Ketika sudah dekat dengan perkampungan, Ahnaf berhenti. Kepada lelaki itu ia berkata, “Jika di hatimu masih ada hal yang ingin kausampaikan, katakan saja di sini agar orang-orang bodoh dari kampung di depan tidak mendengar caci makimu. Jika sampai mendengarnya, mereka bisa menyakitimu.”.

Dikisahkan bahwa Sayyidina Ali ~semoga Allah memuliakannya~ memanggil budak lelakinya, tetapi budak itu tidak menghiraukan. Sayyidina Ali pun menyerunya hingga tiga kali, tetapi tetap saja budak itu mengabaikan. Maka bangkitlah Sayyidina Ali mendatanginya. Ternyata budak itu sedang berbaring. Sayyidina Ali bertanya, “Tidakkah kaudengar seruanku?” Si budak menjawab, “Ya, aku mendengarnya.” Sayyidina Ali kembali bertanya, “Lalu apa sebabnya engkau tidak menjawab panggilanku?” Si budak menjawab, “Saya tidak takut akan Anda hukum. Karenanya, saya malas menjawab seruan Anda.” Lalu berkatalah Sayyidina Ali, “Pergilah. Engkau sekarang merdeka karena Allah.”.

Seorang perempuan memanggil Malik bin Dinar dengan seruan, “Wahai tukang pamer.” Malik bin Dinar membalas, “Hai perempuan. Sungguh engkau telah mengetahui namaku, padahal penduduk Basrah tidak mengetahuinya.”.

Dikisahkan bahwa Yahya bin Ziyad mempunyai seorang budak yang buruk perangainya. Lalu ia ditanya, “Mengapa tidak kau lepaskan saja budakmu itu?” Yahya menjawab, “Agar aku bisa belajar bersikap sabar darinya.”.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

~ Al Habib Umar bin Hafidz ~
Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din, Bab Kedua dari Kuarter al-Muhlikat
Sumber: www.alhabibahmadnoveljindan.org

Baca juga: Keajaiban-keajaiban Hati

Akibat dari Perbuatan Maksiat

Akibat dari Perbuatan Maksiat

Berpalinglah engkau dari perbuatan-perbuatan maksiat agar engkau terhindar dari kemarahan dan siksa dari Allah SWT, setiap kali jiwamu mengajakmu untuk berbuat maksiat maka peringatkanlah ia bahwasanya Allah SWT selalu melihat dan mengawasi dirimu


 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ 

Allah SWT berfirman:

انه من يأت ربه مجرما فان له جهنم لا يموت فيها ولا يحيى

Artinya: “Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”. (Qs. Thaaha: 74)

أم حسب الذين يعمل السيئات أن يسبقونا ساء ما يحكمون

Artinya: “Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.” (Qs. Al-Ankabut: 4)

ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا

Artinya: “Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”  (Qs. Al-Ahzab: 36)

Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda:

لا يزني الزانى حين يزنى وهو مؤمن, وللا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن, ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن

Artinya: “Tidaklah seorang pezina ketika ia berzina ia dalam keadaan beriman, tidaklah seorang pencuri ketika ia mencuri ia dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang peminum ketika ia meminum arak ia dalam keadaan beriman.”

إذا أذنب العبد ذنبا كانت نكتة سوداء في قلبه, وإن عاد زاد ذلك حتى يسود قلبه

Artinya:  “Jika seorang hamba berbuat suatu dosa maka timbullah bintik hitam di hatinya, dan apabila ia mengulanginya lagi, maka bintik itu semakin bertambah banyak hingga menghitamlah hatinya.”

Itulah arti dari firman Allah SWT:

كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون

Artinya: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.”  (Qs. Al-Muthaffifin: 14)

Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda:

قسوة القلب من كثرة الذنوب

Artinya: “Kerasnya hati itu disebabkan terlalu banyaknya dosa.”

إن العبد ليحرم الرزق لذنب يصيبه

Artinya: “Sesungguhnya seorang hamba ter-cegah dari memperoleh rezeki karena dosa yang diperbuatnya.”

Allah SWT telah mewahyukan kepada Nabi Musa A.s:

يا موسى أول من مات من خلقي إبليس لعنه الله , لأنه أول من عصا ني ومن عصا ني كتبته ميتا

Artinya: “Wahai Musa, yang pertama kali mati dari makhluk-Ku adalah iblis, semoga Allah SWT melaknatnya, karena dialah yang pertama menentang-Ku, dan barangsiapa yang menentang-Ku Aku menganggapnya sudah mati.”

Said bin Musayyab R.a berkata: “Tidaklah para hamba menjadi mulia dirinya kecuali sebagaimana mereka mentaati Allah SWT, dan tidaklah para hamba menjadi hina dirinya kecuali sebagaimana mereka menentang Allah SWT, dan cukuplah bagi seorang mukmin yang Allah SWT telah menolongnya ketika ia melihat musuhnya berbuat kemaksiatan kepada Allah SWT.”

Muhammad bin Wasi’ berkata: “Perbuatan dosa ditambah lagi perbuatan dosa dapat mematikan hati.”

Berkata salah seorang dari para salaf kita: “Jika engkau bermaksiat kepada Allah SWT sedangkan engkau beranggapan bahwa Ia melihatmu, berarti engkau meremehkan pandangan Allah SWT. Dan apabila engkau bermaksiat kepada-Nya, sedangkan engkau beranggapan bahwa Ia tidak melihatmu, berarti engkau adalah orang kafir.”

Wuhaib bin Ward ra ditanya: “Apakah orang yang bermaksiat kepada Allah SWT akan merasakan kenikmatan beribadah?” Beliau berkata: “Tidak, dan begitu pula bagi orang yang berkeinginan untuk melakukan maksiat.”

Dahulu para shalihin sebelum kitaberkata:” Kemaksiatan merupakan suatu pengantar menuju kekafiran.”

Jadi kesimpulannya, bahwa perbuatan maksiat itu dapat menjatuhkan martabat seseorang dimata Allah SWT dan menimbul-kan kemurkaan Allah SWT atas pelaku perbuatan maksiat tersebut, bahkan orang yang terus menerus berbuat maksiat adalah orang yang paling dimurkai Allah SWT, merupakan teman dari syaitan dan termasuk yang paling dibenci oleh golongan orang yang beriman.

Oleh sebab itu wahai saudaraku, berpalinglah engkau dari perbuatan-perbuatan maksiat agar engkau terhindar dari kemarahan dan siksa dari Allah SWT, setiap kali jiwamu mengajakmu untuk berbuat maksiat maka peringatkanlah ia bahwasanya Allah SWT selalu melihat dan mengawasi dirimu.

Peringatkanlah ia akan ancaman Allah SWT bagi siapapun yang bermaksiat kepada-Nya akan mendapat siksa yang pedih, dan hukuman yang berat. Andaikan dalam melakukan perbuatan maksiat tidak mendapat balasan melainkan ia kehilangan kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT dan ia diharamkan dari pahala orang-orang yang berbuat kebaikan, pastilah hal itu cukup baginya sebagai hukuman yang setimpal.

Lalu mau bagaimana lagi? Sedangkan dalam perbuatan maksiat terdapat kehinaan, siksa neraka, dan kemurkaan Allah SWT yang tidak mampu langit dan bumi untuk mengembannya.

Kita memohon kepada Allah SWT keselamatan berkat karunia-Nya.

Risalatul Mudzakarah Maal Ikhwanul Muhibbin Min Ahli Khair Wad-Din Karya al-Alamah al-Habib Abdullah bin Alwi al Haddad

Taqarrub, Meraih Cinta Allah S.W.T

Taqarrub, Meraih Cinta Allah S.W.T

Orang yang bertaqarrub kepada Allah, selain mengerjakan kewajiban, ia juga bersungguh-sungguh melaksanakan nawafil (sunnah-sunnah) dan menahan diri dari makruhat (sesuatu yang dibenci, namun tidak haram). Hamba demikian inilah yang berhak mendapatkan kecintaan Allah Subhannahu wa Ta'ala“.


Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam: “Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: Barang siapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidak ada bentuk taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding (mengerjakan) apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan terus menerus seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan nawafil (amalan sunnah) sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang dia melihat dengannya, menjadi tangannya yang dia gunakan memukul, serta menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, maka Aku pasti memberinya, dan jika dia minta tolong kepada-Ku niscaya Aku pasti menolongnya.“. (HR al-Bukhari).

Tinjauan Rawi

Beliau adalah Sayyidul Huffazh seorang Sahabat yang mulia, Abu Hurairah R.a. Nama asli beliau dan ayahnya diperselisihkan oleh banyak kalangan, namun yang paling rajih (kuat) adalah Abdur Rahman bin Shahr ad-Dausi. Beliau masuk Islam pada awal tahun ke tujuh setelah hijrahnya Nabi S.a.w pada tahun terjadinya perang Khaibar.

Al-Imam adz-Dzahabi berkata: “Abu Hurairah telah membawa dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ilmu yang sangat banyak, sangat bagus dan diberkahi tiada tertandingi“. Dan tidak ada seorang pun yang meriwayatkan hadits dari Nabi S.a.w melebihi dari apa yang ia riwayatkan, dikarenakan ia selalu mendampingi Nabi S.a.w. Hadits yang diriwayatkannya mencapai sekitar 5374 buah hadits.

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan darinya (Abu Hurairah R.a) bahwa dia berkata, "Sesungguhnya kalian mengatakan: "Sungguh Abu Hurairah telah mendapatkan hadits yang amat banyak dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam", dan kalian juga mengatakan, "Apa yang dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar sehingga tidak memperoleh hadits sebanyak yang diperoleh Abu Hurairah?", Sesungguhnya saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin sibuk dengan jual beli (bekerja/berdagang) di pasar sedangkan aku mendampingi Rasulullah sepanjang hari, maka aku hadir tatkala mereka pergi dan aku hafal tatkala mereka lupa. Sedangkan saudara-saudaraku dari kaum Anshar sibuk mengurus harta (kebun/ladang) mereka, sementara aku merupakan salah seorang dari orang-orang miskin ash-Shuffah. Aku memahami pada saat mereka terlupa.

Rasulullah S.a.w pernah berkata dalam sebuah sabda yang beliau (Abu Hurairah R.a) sampaikan: "Sungguh tidak seorangpun yang membentangkan pakaiannya sehingga aku menyelesaikan keseluruhan ucapanku ini, kemudian ia mendekap pakaiannya itu, kecuali dia akan faham terhadap apa yang aku ucapkan.".

Maka aku (Abu Hurairah) membentangkan selimut yang kupakai, sehingga ketika Rasulullah S.a.w selesai dari pembicaraannya, aku mendekap selimut itu ke dadaku. Maka aku pun tidak pernah lupa terhadap sabda Rasulullah S.a.w tersebut sedikitpun.".


Penjelasan Matan Hadits
  • Sabda Nabi Shalallaahu Alaihi Wasalam: "Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,", menunjukkan bahwa hadits ini merupakan hadits qudsi (firman Allah S.w.t dengan redaksi dari Nabi S.a.w).
  • "Barang siapa memusuhi wali-Ku,", dalam riwayat lain barangsiapa yang menyakiti, dan dalam riwayat lain lagi barang siapa yang menghina. Wali berasal dari kata muwalah arti aslinya adalah kedekatan, sedang mu'aadah (memusuhi) arti aslinya adalah jauh. Yang dimaksudkan wali di sini adalah orang yang sangat dekat dengan Allah, senantiasa menjalankan ketaatan dan menjauhi segala maksiat.
  • "Maka Aku maklumkan (mengumumkan) perang terhadapnya,", yaitu Aku umumkan bahwa Aku memeranginya sebagai mana dia telah memerangi wali-Ku.
  • "Tidak ada suatu bentuk taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai daripada (mengerjakan) apa yang aku wajibkan atasnya.". Setelah Allah mnyebutkan bahwa memusuhi wali-Nya sama saja dengan memusuhi Allah, maka selanjutnya Dia menyebut kan ciri wali-Nya yang haram dimusuhi dan wajib berwala' (cinta dan loyal) kepadanya. Disebutkan bahwa wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, dan yang pertama kali dikerjakan adalah menunaikan kewajiban-kewajiban.
  • "Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia melihat dengannya, tangannya yang dengan tangan itu dia memukul dan kakinya yang dia gunakan untuk berjalan.". Maksudnya adalah bahwa barang siapa yang yang sungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan kewajiban, kemudian nawafil (amalan-amalan sunnah) maka Allah akan mendekatkan orang itu kepada-Nya, dan akan mengangkatnya dari derajat iman ke derajat ihsan. Ia beribadah kepada Allah dengan rasa muraqabah (pengawasan) Allah, seakan-akan melihat-Nya. Hatinya penuh dengan ma'rifatullah, kecintaan terhadap-Nya, pengagungan kepada-Nya, rasa takut, jinak (tunduk/patuh) dan rindu kepada-Nya. Sehingga ma'rifat (mengenal) Allah ini menjadikan ia seperti melihat Allah dengan mata bashirah (mata hati). Maka kalau dia berbicara.. berdasar petunjuk Allah, kalau mendengar.. berdasar petunjuk Allah, kalau melihat.. berdasar petunjuk Allah dan jika memukul.. berdasarkan dengan petunjuk Allah S.w.t.
  • "Jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya"…dan seterusnya. Bahwasanya orang yang dicintai Allah dan didekatkan kepada-Nya, dia memiliki kedudukan khusus yang menyebabkan ia selalu diberi oleh Allah apabila meminta, dilindungi Allah S.w.t jika memohon perlindungan dari sesuatu, dan dikabulkan jika berdoa.

Faidah Hadits
  • Seorang hamba hendaknya membiasakan untuk menjalankan ketaatan baik yang wajib maupun yang sunnah serta menjauhi segala maksiat baik kecil maupun besar agar termasuk wali Allah yang Dia cintai dan mereka cinta kepada-Nya, serta cinta kepada orang yang dicintai Allah. Allah permaklumkan untuk memusuhi siapa saja yang memusuhi, menyakiti, membenci dan mengganggu mereka. Allah juga akan melindungi dan menolong Wali-wali-Nya dan akan membela mereka.
  • Wajib wala' (setia/loyal) kepada Wali-wali Allah dan mencintai mereka, serta haram memusuhi mereka. Sebaliknya wajib memusuhi musuh-musuh Allah dan haram berwala' kepada mereka. Allah S.w.t berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS al-Mumtahanah: 1) dan Firman Allah S.w.t, yang artinya: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. [5]: 56).
  • Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang bertaqarrub kepada Allah itu ada dua macam:

    1). Orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan ini merupakan tingkatan paling 'sederhana' dari seorang hamba (yakni pas-pasan). Sayyidina Umar bin Khatthab R.a berkata: "Amalan yang paling utama adalah melaksanakan apa yang diwajibkan Allah dan menjaga diri (wara') dari yang diharamkan Allah, serta niat yang jujur terhadap apa yang di sisi Allah (yakni ikhlas dalam beramal).".

    2). Orang yang bertaqarrub kepada Allah, selain mengerjakan kewajiban, dia juga bersungguh-sungguh melaksanakan nawafil (sunnah-sunnah) dan menahan diri dari makruhat (sesuatu yang dibenci, namun tidak haram). Dan hamba yang demikian inilah yang berhak mendapatkan kecintaan Allah Subhannahu wa Ta'ala.
  • Orang yang telah dicintai Allah maka akan diberi kecintaan, kataatan, kesibukan berdzikir dan beribadah kepada-Nya, dan ia merasa betah mengerjakan amalan yang mendekatkan kepada Allah S.w.t. Maka akhirnya dia menjadi orang yang dekat kepada Allah dan memperoleh bagian yang besar dari sisi-Nya. Allah S.w.t berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS [5]: 54).
  • Kecintaan Allah Subhannahu wa Ta'ala adalah tujuan yang amat penting dan bahkan paling penting. Siapa saja yang mendapatkannya maka telah memperoleh kabaikan dunia dan akhirat. Ini semua akan terwujud, di antaranya dengan cara-cara berikut:

    1). Melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah S.w.t sebagaimana tersebut di dalam hadits di atas. Di antara kewajiban yang terpenting adalah bertauhid secara benar, shalat wajib lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, haji bagi yang mampu, birul walidain, silaturrahim, berakhlak yang baik, jujur, tawadhu', dan lain-lain.

    2). Menjauhi hal hal yang diharamkan baik berupa dosa besar maupun dosa kecil, dan menjauhi yang makruh semaksimal mungkin.

    3). Bertaqarrub dengan nawafil (amalan sunnah) baik shalat, puasa, shadaqah, amar ma'ruf nahi mungkar dan amal kebajikan lainnya, seperti: banyak membaca dan mendengarkan al-Qur'an dengan penghayatan terhadap isinya, menghafal yang mampu dihafal dan terus mengulanginya. Orang yang sudah sangat cinta kepada al-Qur'an maka baginya tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding Kalam (firman) Allah yang ia cintai.

    4). Banyak mengingat Allah dengan hati dan lisan, Allah S.w.t berfirman: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.”. (QS [2]: 152).

    5). Mencintai para kekasih Allah dan para wali-Nya karena Allah, dan memusuhi musuh-musuh Allah karena Allah.
  • Berdasarkan hadits di atas, maka seluruh cara atau jalan menuju Allah dan meraih cinta-Nya yang tidak pernah disyariatkan melalui lisan Rasul adalah klaim dusta dan bathil. Sebagaimana orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah dengan persangkaan bahwa hal itu dapat mendekatkan mereka kepada-Nya. (lihat QS az-Zumar ayat 3). Orang yahudi dan nashara juga mengklaim, "Kami anak-anak Allah dan kekasih-Nya," padahal mereka terus menerus mendustakan para Rasul, melanggar larangan Allah serta meninggalkan kewajiban.
  • Setiap muslim berharap agar doanya terkabul, amalnya diterima, permintaannya dipenuhi, dan permohonan perlindungannya dikabulkan. Ini semua merupakan pemberian yang amat besar yang tidak akan didapat kecuali oleh orang yang dekat kepada Allah, mengerjakan kewajiban, nawafil dan sunnah dengan dibarengi niat yang ikhlas, serta mutaba'ah (mengikuti) Nabi Shalallaahu Alaihi Wasalam.
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

~ Syekh Nashir al-Syimali ~
Diterjemah dan diringkas dari makalah “Taqarrab Yuhibkallah



Baca juga: Bening Hati Berbalas Surga

Ibadah yang Afdhal

Ibadah yang Afdhal

Wajib bagi seorang yang ingin menempuh jalan menuju Allah untuk berdzikir dengan kekuatan sempurna


Ibadah yang afdhal (yakni paling utama) menurut kesepakatan para ahli ma‘rifah adalah berdzikir menyebut lafazh “Allah”. Karena itu, napas-napas yang keluar-ma­suk dari diri kita harus senantiasa dijaga, agar selalu disertai lafazh “Allah”.

Masalah ini dikemukakan oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam sebuah kitab karyanya, Hidayah Al-Adzkiya’. Marilah kita menyimak apa yang beliau kata­kan disertai dengan penjelasan lebih lanjut yang diberikan oleh pen­syarah, K.H. Saifuddin Amsir.

Syekh Zainuddin Al-Malibari mengatakan: “Telah bersepakat sebagian besar ahli ma‘rifat, bahwa ibadah-ibadah ka­rena Allah yang Maha Luhur yang paling utama adalah menjaga napas-napas, keadaan keluarnya dan masuknya, dengan menyebut lafazh “Allah” di te­ngah orang maupun sendirian“.

Dengan mentasydidkan lafazh “Allah”, kemudian memanjangkannya, dari bawah kemudian ke atas dalam mensifati Allah dengan perantara, maka sempurnakanlah“.

Bait-bait ini dikutip oleh penyusun dari Syekh Abdullah bin Abi Bakar Al-Aydrus ~semoga Allah meridhai mereka semua~ yakni, “Telah sepakat sebagian besar ahli ma`rifat bahwasanya ketaatan yang paling utama adalah menjaga napas-napas”. Yaitu, keluar dan masuk­nya napas adalah dengan ucapan “Allah”, baik bersama jama’ah maupun sendirian. Karena hal itu merupakan pembuka keghaiban, penarik kebaikan, penghibur orang-orang yang kesepian dan penghimpun segala yang bersera­kan dari yang melakukannya.


Apabila orang yang dzikir telah di­kuasai oleh rasa cinta terhadap Nama yang didzikirkan, keadaannya sedemiki­an rupa, sehingga salah seorang pelaku dzikir pernah kejatuhan sebongkah batu, lalu darah menetes ke tanah, dan tertulis kalimat “Allah, Allah”. Demikian yang di­tuturkan oleh Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya`rani.

Wajib bagi seorang murid (orang yang ingin menempuh jalan Allah) untuk berdzikir dengan kekuatan sempurna, yang tidak tersisa ruang dalam hatinya bagi selain Allah. Apabila seorang murid melakukan dzikir kepada Tuhannya dengan kuat dan mantap, niscaya ia meraih maqam-maqam jalan menuju Allah S.w.t dengan cepat, tidak lambat. Terkadang dalam sesaat ia dapat me­nempuh maqam-maqam yang orang selainnya harus menempuhnya dalam masa sebulan, bahkan lebih.

Dalil mengenai hal itu adalah firman Allah Ta‘ala yang artinya, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi….”. (QS Al-Baqarah: 74). Maka sebagaimana batu tidak bisa pecah kecuali dengan kekuat­an, demikian pula berdzikir tidak akan ber­pengaruh dalam rangka menyatukan hati pelakunya yang bercerai-berai ke­cuali dengan kekuatan. Demikian kete­rangan dari Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya`rani de­ngan mengutip keterangan dari sejum­lah ulama.

Perkataan pengarang di atas dapat dibaca dengan dua kemungkinan (cara). Yang pertama shiftan lah dan kata sebelum­nya harus dibaca dengan tanwin, faw­qun. Bisa juga dibaca dengan shifah lahu dan kata sebelumnya tidak dibaca dengan tanwin, fawqu.

Jika dibaca dengan kemungkinan pertama, maknanya adalah hadirkan sosok gurumu dalam berdzikir, agar ia dapat menjadi teman perjalanan menuju Allah Ta‘ala, dan ini merupakan adab terpenting. Maka pengertian ucapan pengarang adalah: “Dzikirlah dengan lidahmu akan ucapan “Allah” dengan murni karena Allah Ta‘ala, disertai menghadirkan gurumu di hatimu“.

Se­dang­kan jika dibaca dengan kemung­kinan kedua, maknanya adalah: “Sesung­guhnya tata cara dalam berdzikir itu (terkhusus pada dzikir lafazh “Allah“, ini) harus dilakukan bersama seorang guru“, maka pelaku dzikir tidak boleh melam­paui kepada dzikir yang lain selain dari yang telah ditalqinkan oleh gurunya kepadanya, kecuali se-izin gurunya, dan tidak pula pindah kepada wirid-wirid yang dikhususkan dengan thariqah gurunya.
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ

~ Syekh Zainuddin Al-Malibari - Hidayah Al-Adzkiya’ ~

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ


Penguasaan Diri dalam Hal Makan dan Tidur

Penguasaan Diri dalam Hal Makan dan Tidur

Sedikit makan, tidur, dan ber­bicara tidaklah dapat diterapkan dan di­lakukan secara spontan dan tiba-tiba be­gitu saja..

Pada pelajaran kali ini, ada dua penguasaan yang mesti engkau perhatikan dan terapkan dalam keseharianmu, sehingga keduanya akan dapat menolong dan membantumu dalam pendakianmu kepada derajat yang lebih tinggi dalam perkara ini (meniti jalan menuju Allah S.w.t). Yakni, pertama, penguasaan diri dalam hal kesucian lahir, dan kedua, penguasaan diri dalam perkara mengatur waktu dalam menjalankan aktivitas keseharian kita.

Segala puji bagi dan hanya milik Allah S.w.t dengan pujian hamba yang tenggelam  dalam karunia-Nya, kebajik­an-Nya, kemurahan-Nya, dan pemberian-Nya, pujian hamba yang teramat lemah dari menunaikan syukur kepada-Nya atas segala nikmat dan karunia-Nya, pujian hamba yang mengakui dengan segala keteledorannya serta buruk dan kejinya segala amal dan keberanian dirinya da­lam berbuat kedurhakaan terhadap-Nya, pujian hamba yang penuh harap ke­pada karunia Allah, kebajikan-Nya, dan juga kemurahan-Nya.

Shalawat serta salam semoga senan­tiasa Allah curahkan dan limpahkan ke­pada penghulu dan junjungan kita, Say­yidina Muhammad S.a.w, insan paling agung dalam menunjukkan jalan menuju Allah S.w.t, pintu yang tiada duanya menuju Allah S.w.t.

Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan meng­ampuni kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Semoga Allah senantiasa mencurah­kan shalawat, salam, dan keberkahan atas Beliau, ahli baitnya, para sahabat­nya, para tabi‘in dan pengikut-pengikut me­reka dalam kebajikan, hingga hari Kiamat.

Semoga sejak pelajaran yang lalu kita semua telah memantapkan langkah un­tuk menguasai nafsu kita. Berhadats, engkau kembali mengambil air wudhu, atau janabah, engkau pun mandi hadats besar untuk menghilangkannya. Engkau telah menguasai hatimu dalam perkara penampilan lahirmu atau engkau sudah berusaha melakukan semua itu dan kini engkau tengah berada di jalan menuju itu semua.

Pada pelajaran kali ini, ada dua pe­nguasaan yang mesti engkau perhatikan dan terapkan dalam keseharianmu, se­hingga keduanya akan dapat menolong dan membantumu dalam pendakianmu kepada derajat yang lebih tinggi dalam perkara ini (meniti jalan menuju Allah S.w.t). Yakni, pertama, penguasaan diri da­lam hal kesucian lahir. Dan kedua, penguasaan diri dalam perkara mengatur waktu dalam menjalankan aktivitas ke­seharian kita.

Pada pelajaran yang lalu kita telah sama-sama berbicara bahwa penguasa­an diri terhadap kesucian lahir memiliki kaitan yang sangat erat dan tak terpisah­kan dengan penerangan terhadap per­kara-perkara bathin (ruhani). Dan kesuci­an bathin berkaitan erat dengan memi­nimkan makanan, tidur, dan pembicara­an. Namun yang demikian itu, guru-guru kita — semoga Allah memberikan balas­an terindah kepada mereka semua atas segala jasa mereka kepada kita — me­ngatakan, sedikit makan, tidur, dan ber­bicara tidaklah dapat diterapkan dan di­lakukan secara spontan dan tiba-tiba be­gitu saja.

Penguasaan Diri dalam Hal Makan

Penguasaan diri terhadap makanan tidaklah datang secara tiba-tiba atau di­lakukan secara spontan tanpa latihan dan pembiasaan sebelumnya. Tidak mungkin dalam sehari-semalam seseorang dapat mengubah pola makannya menjadi satu suap begitu saja.

Rasulullah S.a.w ber­sabda: “Sesungguhnya agama ini adalah agama yang kokoh, maka masuklah ke dalamnya dengan kelemahlembutan. Karena sesungguhnya perjalanan tanpa henti itu tidak akan pernah menyampaikan kepada tujuan dan tidak pula mem­buat punggung nyaman karenanya.”.

Lalu langkah apa yang harus dilaku­kan agar hal ini berhasil?

1). Berlatih untuk melakukan puasa. Pada saat puasa itulah kita ber­usaha untuk sederhana ketika berbuka, mencoba untuk makan dua kali, yakni ketika berbuka dan sahur, dan kita belajar menyederhanakan macam-macam ma­kan­an pada keduanya.

2). Pada majelis yang lalu kita telah berkata, “Aku akan berhenti makan di saat masih berselera terhadapnya.”. Kita meninggalkannya karena Allah S.w.t.

3). Kita meningkat lagi dalam pem­belajaran ini, yaitu dengan mengu­rangi jumlah atau kuantitas makanan yang kita makan dalam sekali makan. Ke­mudian kita membiasakan diri untuk mengurangi yang kita inginkan dengan cara lebih mengutamakan yang kita tidak berselera terhadapnya daripada yang kita berselera terhadapnya. Demikianlah kait­annya dengan makanan.

Penguasaan Diri dalam Hal Tidur

Berapa jam engkau tidur dari sehari semalam? Mari kita menata segala urus­an kita. Bukankah kita telah mengatakan bahwa kita semua adalah muridul akhirah (yakni pengharap negeri akhirat).

Seorang murid peniti jalan menuju Allah yang tidak tahu berapa lama mesti ia tidur dan berapa lama seharusnya ia jaga, bukanlah ia seorang murid.

Berapa jamkah yang cukup untukmu? Delapan jam? Lebih dari delapan jam, ini sama sekali tidak dapat diterima. Lebih dari delapan jam untuk tidur dari dua pu­luh empat jam tidaklah mungkin diterima bagi seorang muslim awam, terlebih lagi seorang murid peniti jalan menuju Allah S.w.t.

Akan tetapi, bagi orang yang terbiasa tidak mengatur waktunya, kami katakan, “Mulailah dengan dari delapan jam untuk waktu tidur.”. Adapun yang sudah ter­biasa, mulailah dari enam jam, niscaya itu sudah cukup baginya. Namun, bila eng­kau tidak mampu untuk melakukan­nya, mulailah dari delapan jam, kemudian se­telah itu kurangi seperempat jam.

Setelah satu bulan berlalu dan eng­kau kuasai dirimu dengan delapan jam waktu untuk tidur ini maknanya bahwa engkau telah membiasakan tubuhmu un­tuk cukup dengan delapan jam untuk wak­tu tidur. Maknanya, engkau telah memiliki kemampuan tidur tidak melebihi waktu yang ditentukan. Karena melebihi dari kadar tertentu yang telah ditentukan untuk tidur akan menimbulkan kelemahan pada jiwa. Karenanya jiwa pun akan men­jadi lemah, dan lahirlah malas, enggan, tidak bersemangat, dan terus semakin lemah semangatnya.

Jangan pernah ada delapan jam se­tengah atau delapan jam seperempat ber­lalu dari dirimu dalam satu bulan itu sam­pai melekat keteraturan itu pada diri­mu dan nafsumu menjadi terbiasa de­ngan­nya. Setelah itu, kurangi lagi sepe­rempat jam….

Saat ini engkau adalah seorang yang terikat dan teratur dengan waktu. Bagimu sudah ada perbedaan antara tidur se­tengah jam dan seperempat jam. Sebe­lum itu, mungkin engkau tidur setengah jam atau seperempat jam melebihi kadar tertentu tidak ada masalah. Akan tetapi sekarang tidak demikian halnya. Seka­rang engkau adalah seorang peniti jalan menuju Allah S.w.t. Seperempat jam ter­amat berharga untukmu. Karenanya ku­rangilah seperempat jam dari waktu ti­durmu. Demikian seterusnya hinga di­kurangi seperempat jam yang kedua, ke­tiga, dan seterusnya hingga sampai ke­pada enam jam. Ketahuilah, pertengah­an tidur bagi seorang salik adalah enam jam. Dan bila engkau memiliki semangat yang lebih tinggi lagi setelah terbiasa de­ngan itu, boleh juga engkau kurangi lagi seperempat jam.

Perhatikan! Seperempat jam yang eng­kau kurangi ini dan seperempat jam be­rikutnya hingga sampai kepada enam jam haruslah disertai pula dengan hari yang tertata. Dalam arti bahwa seperem­pat jam yang engkau kurangi dari waktu tidurmu itu haruslah engkau pergunakan un­tuk kegiatan berharga untuk mengisi­nya, dan jangan engkau isi dengan ke­bingungan atau kesia-siaan membuang-buang waktu percuma.

Sebagian anak muda berkata, “Mari kita pergi menghabiskan waktu!

Sesungguhnya engkau tidaklah di­ciptakan untuk membuang dan mengha­bis-habiskan waktu. Sesungguhnya eng­kau diciptakan untuk meraih keberun­tungan kekayaan waktu. Seorang murid akan merasa nafasnya bernilai apabila nafasnya berlalu dalam dzikir, dakwah kepada Allah S.w.t, atau memberikan manfaat lain bagi hamba-hamba Allah S.w.t.

Bila engkau dapat memenuhi aktivitas di siang hari dengan perbuatan-perbuat­an yang semestinya, niscaya engkau akan dapat menata waktu-waktu tidurmu. Akan tetapi bila engkau biarkan waktu jagamu terbuang begitu saja, sudah ba­rang tentu engkau tidak akan pernah da­pat menata tidurmu selama-lamanya. An­tara keduanya terdapat hubungan, kese­imbangan, dan saling menyempurnakan. Di saat engkau menata waktu jagamu, niscaya engkau akan merasa butuh untuk menyedikitkan waktu tidurmu. Dari sana terciptalah penguasaan diri dalam hal menyedikitkan tidur.

Perhatikan baik-baik! Jangan engkau beranjak dengan semangat yang meng­gebu-gebu kemudian engkau putuskan bahwa mulai malam ini engkau akan mengurangi waktu tidurmu dari sepuluh jam menjadi dua jam, misalnya. Perkara suluk ini tidaklah demikian adanya, me­lainkan semuanya dilakukan dengan ber­tahap dan perlahan.

~ Al Habib Ali Al-Jufri - Penguasaan Diri Seorang Murid ~

Angan-angan Kosong

Angan-angan Kosong

Sesungguhnya angan-angan kosong adalah sumber dari berbagai macam perilaku yang jelek dan perbuatan yang jauh dari ketaatan


Adapun angan-angan kosong adalah suatu sifat yang sangat tercela, yang dapat menghancurkan akhiratnya (seseorang) dan (cenderung) memakmurkan dunianya.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam bersabda:

ينجو أول هذه الأمة بالزهد في الدنيا وقصر الأمل , ويهلك اخرها بالحرص وطول الأمل

Artinya: “Golongan pertama umat ini selamat karena sikap zuhud terhadap dunia dan angan-angan yang pendek, sedangkan golongan terakhir umat ini akan celaka karena rakus terhadap dunia dan karena angan-angan kosong.”.

من الشقاء أربع : جمود العين وقسوة القلب والحرص وطول الأمل

Artinya: “Empat hal yang mengakibatkan celaka: bekunya mata, kerasnya hati, sifat rakus (tamak), dan angan-angan kosong.”.

Dan di antara doa Beliau S.a.w:

أعوذ بك من طول الأمل يلهيني

Artinya: “Aku berlindung kepada-Mu dari segala angan-angan yang membuatku lalai.”.

Imam Ali Karamallahu Wajhah berkata: “Perkara yang paling aku takutkan atas kalian adalah menuruti hawa nafsu dan angan-angan kosong. Adapun menuruti hawa nafsu akan mencegah seseorang dari perbuatan yang benar, sedangkan angan-angan kosong dapat melalaikan seseorang dari akhirat.”.

Dan dari sebagian riwayat mengatakan: “Barangsiapa yang panjang angan-angannya maka buruklah amalannya.”.

Jadi, yang dimaksud dengan angan-angan kosong artinya perasaan seseorang yang menganggap bahwa dirinya akan lama hidup di atas bumi ini, hal ini menunjukkan bahwa orang yang bersifat demikian adalah orang yang benar-benar bodoh, karena ia telah menghilangkan sesuatu yang nyata dan sebaliknya malah berpegang teguh pada angan-angan yang tidak ada artinya.

Andaikan ia ditanya di sore hari: “Apa engkau yakin bahwa engkau akan hidup sampai esok?”, atau di pagi hari: “Apa engkau yakin bahwa engkau akan hidup sampai sore?”, Ia pasti menjawab: “Tidak.”, sementara itu ia melakukan pekerjaan untuk mengumpulkan kekayaan dunia seolah dia tidak bakal mati, andaikan ia diberi tahu bahwa ia akan kekal di muka bumi niscaya ia tidak akan pernah mendapatkan tempat untuk menambah keadaannya yang rakus dan tamak terhadap dunia. Jadi, siapakah yang lebih bodoh daripada orang yang memiliki sifat demikian?

Sesungguhnya angan-angan kosong adalah sumber dari berbagai macam perilaku yang jelek dan perbuatan yang jauh dari ketaatan, bahkan dapat mendorong seseorang terjerumus dalam kemaksiatan, seperti sikap tamak, kikir dan takut miskin.
Dan yang lebih buruk lagi dari sifat-sifat tersebut adalah merasa senang terhadap hal-hal bersifat duniawi, berusaha untuk memakmurkan dan mengumpulkan harta benda sekuat tenaga.

Rasulullah S.a.w bersabda:

بعثت لخراب الدنيا فمن عمرها فليس مني

Artinya: “Aku diutus tidak untuk bermegah-megahan di dunia, maka barangsiapa yang memakmurkannya ia bukan dari golonganku.”.

Dan dari sebab angan-angan kosong ini timbullah sikap selalu menunda-nunda, dia bagaikan orang yang mandul yang tidak dapat melahirkan kebaikan apapun, dikatakan: Sesungguhnya kebanyakan jeritan penduduk neraka disebabkan sifat menunda-nunda. Orang yang suka menunda-nunda selalu merasa berat dalam menjalankan ketaatan dan menunda taubatnya atas perbuatan maksiat yang dilakukannya hingga maut menjemputnya.

Allah S.w.t berfirman:

رب لولا أخرتني إلى أجل قريب فأصدق وأكن من الصالحين

Artinya: “Lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh ? ”. (QS Al-Munafiqun: 10).

Maka dikatakan padanya:

ولن يؤخر الله نفسا إذا جاء أجلها

Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya.”. (QS Al-Munafiqun: 11).

أولم نعمر كم ما يتذكر فيه من تذكر وجاءكم النذير

Artinya: “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.”. (QS Faathir: 37).

Maka ia keluar dari dunia ini dengan membawa kerugian yang tiada batasnya, dan penyesalan yang tiada akhirmya. Oleh karena itu, perpendeklah angan-anganmu wahai saudaraku! Dan jadikanlah ajalmu selalu berada di hadapanmu dan angan-anganmu berada di belakang punggungmu, gunakanlah cara untuk mewujudkan hal itu dengan banyak mengingat mati sebagai penghancur kelezatan dan pemecah belah kesatuan.

Pikirkanlah orang-orang yang telah mendahuluimu, baik itu sahabatmu maupun kerabatmu, hendaknya engkau merasa akan dekatnya kematian, karena itu adalah sesuatu perkara gaib yang sudah pasti ditunggu kedatangannya, bersiap-siaplah untuk menghadapinya dan waspadailah kedatangannya di setiap keadaan.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam bersabda:

 والذي نفسي بيده مارفعت طرفي و ظننت أني أحفضه حتى أقبض ولا أكلت لقمة فظننت أني أسيغها حتى أغص بها من الموت

Artinya: “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah aku mengangkat kedua mataku lalu aku mengira bahwa aku dapat menurunkannya hingga aku dicabut nyawaku, dan tidaklah aku memakan sesuap pun melainkan aku mengira bahwa aku dapat menelannya hingga aku merasa tersendat karena kematian.”.

Terkadang Beliau S.a.w memukul tangannya pada sebuah tembok untuk bertayammum, lalu ada yang mengatakan pada Beliau: “Sesungguhnya air dekat darimu,”, Beliau S.a.w berkata: “Aku tidak tahu mungkin saja aku tidak dapat mencapainya.”.

Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq R.a mengungkapkan dalam sebuah syairnya:

“Setiap orang berkumpul bersama keluarganya di pagi hari,
sedang, kematian berada lebih dekat dari ikat tali sandalnya.“

Imam Ghazali R.h.m berkata: “Ketahuilah bahwa kematian tidak akan datang di waktu tertentu, atau keadaan tertentu atau di umur tertentu, tetapi ia pasti datang, maka persiapanmu dalam menyambut kedatangannya adalah lebih baik dari pada persiapanmu menyambut dunia.”.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

~ Al-Alamah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad ~
Pembahasan Kitab Risalatul Mudzakarah Maal Ikhwanul Muhibbin Min Ahli Khair Wad-Din
Sumber: www.alhabibahmadnoveljindan.org


Kelebihan Ahli Ma‘rifat

Kelebihan Ahli Ma‘rifat

ia melihat segala sesuatu dengan pandangan fana

Jika mempelajari dengan cermat ajaran-ajaran agama, kita dapat memahami bahwa puncak dan inti dari semua­nya adalah mengenal Allah, ma‘rifat kepada Allah. Dan inilah yang dirindukan dan dicari oleh setiap mukmin yang se­sungguhnya.

Betapa tingginya keduduk­an ma‘rifat kepada Allah dan orang-orang yang mencapainya disebutkan oleh pengarang dalam uraian berikut ini dan dijelaskan oleh pensyarah, yakni Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, dalam kitab Salalim al-Fudhala. Selain itu dalam uraian ini juga ditambahkan beberapa tambahan keterangan dari pensyarah yang lain, yaitu Sayyid Bakri Syatha, dalam kitabnya, Kifayah al-Atqiya’. Marilah kita perhatikan apa yang dikatakan pengarang dan penjelasan lebih lanjut dari pensyarah.

Syekh Zainuddin Al-Malibari mengatakan: "Orang-orang yang ma‘rifat terhadap Tuhan, mereka itu lebih utama daripada orang ahli ilmu furu‘ dan ilmu ushul dalam hal kesempurnaannya. Karena satu raka'at orang yang ma‘rifat adalah lebih utama daripada seribu raka'at orang yang alim, maka terimalah".

Orang-orang yang ma‘rifat kepada Tuhan itu lebih utama daripada semua ahli fiqih dan ahli tauhid, bagaimana tidak, mereka adalah pemilik pancaran sinar terang, sebagaimana yang dikata­kan Syekh Ahmad bin ‘Alan. Syekh Al-Aydrus berkata dengan mengutip pen­da­pat sebagian ulama: “Satu raka'at shalat yang dilakukan seorang arif (ahli ma‘rifat) itu lebih utama daripada seribu raka'at orang alim. Sedangkan satu napas dari se­orang ahli hakikat tauhid itu lebih utama daripada amal ibadah seluruh orang alim dan orang ma'rifat”.

Karena ma‘rifat kepada Allah meng­ungguli segala sesuatu, mereka yang memilikinya lebih utama dibandingkan para ahli fiqih dan tauhid yang tidak memilikinya. Karena kemuliaan suatu ilmu itu tergantung kemuliaan yang diketahui dengan ilmu itu dan buahnya.

Ada ulama yang mengatakan, “Orang arif (ahli ma‘rifat) itu di atas apa yang ia ucap­kan, dan orang alim itu di bawah apa yang ia ucapkan.”. Syekh Ruwaim ber­kata, “Sikap ‘riya’ orang-orang ma`rifat itu lebih utama daripada keikhlasan para murid (orang-orang yang sedang menuju Allah S.w.t)”.

Ketahuilah, di antara tanda-tanda ma‘rifat kepada Allah adalah terdapatnya perasaan takut yang sesungguhnya ke­pada Allah. Barang siapa bertambah ma‘rifatnya, bertambah pula rasa takut­nya kepada-Nya, dan ma‘rifat itu menim­bulkan ketenangan.

Abu Ya‘qub As-Susi pernah ditanya, “Apakah orang yang arif (ahli ma‘rifat) itu dapat merasa senang dengan sesuatu selain Allah?”, Ia menjawab, “Apakah orang arif itu melihat selain Allah sehingga ia senang dengannya?”. Kemudian ia ditanya lagi, “Jadi de­ngan pandangan apa ia melihat segala sesuatu?”, Ia menjawab: “Dengan pandangan fana”.

Maksud perkataan Abu Ya‘qub itu, orang arif selalu melihat dan selalu me­nyadari bahwa segala sesuatu itu se­bagai sesuatu yang akan binasa, se­dang­kan orang yang tidak arif, meskipun tahu bahwa segala sesuatu selain Allah pasti akan binasa, terkadang lupa.

Abu Yazid pernah mengatakan, “Orang yang arif itu bagaikan orang yang terbang, sedangkan orang zuhud itu ba­gaikan orang yang berjalan, dan orang arif itu matanya menangis tetapi hatinya tertawa”. Sedangkan Al-Junaid mengata­kan, “Tidaklah seseorang itu disebut arif sampai ia seperti bumi yang dipijak oleh orang yang baik dan yang tidak baik, seperti awan yang memayungi segala sesuatu, dan seperti hujan yang mengairi apa yang ia sukai dan tidak ia sukai”.

Imam Al-Ghazali mengatakan, ma‘rifat ke­pada Allah adalah sesuatu yang paling lezat dan tak ada kelezatan yang me­lebihinya. Karena itu, Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Allah memiliki hamba-hamba yang perasaan takut kepada ne­raka dan berharap terhadap surga saja tidak dapat menyibukkannya dari Allah, lalu bagaimana dunia dapat menyibuk­kan mereka dari Allah?

Syekh Abu Bakar Al-Warraq ber­pen­dapat: “Diamnya orang arif itu lebih bermanfaat, dan ucapannya itu lebih diinginkan dan lebih baik”. Syekh Dzun Nun berkata: “Orang-orang zuhud adalah raja-raja akhirat, dan mereka adalah orang-orang ahli ma`rifat yang faqir”, demikian penuturan Syekh Al-Qusyairi.

Syekh Zainuddin Al-Malibari ~ Hidayah Al-Adzkiya’
Dijelaskan oleh K.H. Saifuddin Amsir

alKisah


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ


Chord dan Lirik

Ulasan Film

ad2

Keimanan dan Keyakinan

Olahan Makanan

Tempo Doeloe

Tips dan Trik

Explore Indonesia

Broker Kripto