Agama Islam

Menu
Agama Islam

Topoin.com - Topbisnisonline.com - Dalam metode pengajaran dan mengajak kepada kebaikan, Rasulullah S.a.w memakai metode Al-Qur'an dari firman Allah:

١٢٥. ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ 

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”. (QS. An-Nahl: 125) 

Dalam ayat mulia ini terdapat gambaran sempurna untuk bermacam cara ajakan kepada setiap golongan manusia dan sistem yang baik yang telah digariskan oleh ayat yang mulia yang selaras dengan berbagai macam corak manusia dan karakter mereka. Sebagian ada yang ahli ilmu yang mencari kebenaran, ada orang awam, dan ada yang apriori dan menentang.

Dan masing-masing golongan dari mereka ada cara tertentu dan metode untuk mengajak mereka dan memberi tahu mereka tentang dasar-dasarnya. Rasulullah mengajak bicara umat sesuai dengan kapasitas akal mereka. Sabda Beliau selalu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Maka sabda Beliau cocok untuk semua golongan dengan penjelasannya selaras dengan golongan tersebut dan mengajak bicara sesuai dengan bahasa mereka.

Allah S.w.t telah menganugrahkan kepada Nabi-Nya kewibawaan dan menjadikan sabda-sabda Nabi-Nya disenangi dan diterima di setiap hati manusia dan tidak membutuhkan penjelasan selainnya.

Imam al-Qodli Iyadl berkata:

Allah S.w.t telah menaruh mahabbah diatas sabda Nabi-Nya dan melapisinya dengan mudah diterima. Allah juga mengumpulkan kepada Nabi-Nya antara kewibawaan dan kemanisan. Walaupun tanpa diulangi dan si pendengar juga tidak membutuhkan pengulangan maka sabda Beliau tidak berkurang satu kalimat pun, tidak membuat kaki terpeleset (tersesat) dan tidak rusak hujjahnya.”.

Apabila kita melihat ketiga golongan di atas maka kita akan memahami bahwasannya ayat ini terkhusus kepada setiap golongan dengan cara tertentu.

Maka golongan pertama (golongan ahli ilmu) cara mengajak dan mengajari mereka ialah menggunakan kata-kata ilmiyah yang benar dan dengan dalil yang menjelaskan kebenaran yang menghilangkan kerancuan. Karena mereka tidak akan puas kecuali dengan dalil-dalil jelas yang menghilangkan kesalah fahaman mereka, serta menguatkan argumentasi kepada mereka sehingga mereka mendapatkan petunjuk ke jalan Allah.

Adapun golongan kedua (orang-orang awam) maka cara mengajak dan mengajari mereka ialah dengan petuah-petuah yang bagus yakni ucapan-ucapan yang memuaskan dan yang bermanfaat sesuai cara yang tidak samar bagi mereka dengan menasehati mereka dan memberitahukan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Maka mereka tidak membutuhkan lagi penguat ucapan, karena mereka orang awam yang tidak membutuhkan dalil dan mereka tidak mengetahui kerancuan-kerancuan.

Adapun golongan ketiga (para penentang) maka cara mengajak dan mengajari mereka ialah dengan membantah mereka dengan cara yang baik, halus, memilih pendapat yang ringan dan menggunakan pendahuluan-pendahuluan yang masyhur untuk menenangkan kekacauan mereka dan memadamkan kobaran hati mereka sehingga mereka kembali kepada jalan Allah.

Terkadang pengajaran Rasulullah S.a.w kepada umatnya dengan metode tanya jawab yakni salah satu diantara shahabat menyampaikan pertanyaan kemudian Beliau menjawabnya, seperti dalam hadits yang menerangkan kebajikan dan dosa. Diriwayatkan dari an-Nuwas bin Sam'an R.A, beliau berkata:

“Aku bertanya kepada Rasulullah S.a.w tentang kebajikan dan dosa, lalu Rasulullah S.a.w menjawab: “Kebajikan adalah bagusnya budi pekerti, dan dosa adalah sesuatu yang membuat bimbang hatimu dan sesuatu yang tidak kamu sukai bila dilihat oleh orang lain.”. Dengan metode seperti inilah para perempuan bertanya kepada Rasulullah S.a.w kemudian Beliau menjawabnya.

Dengan ini kita memahami bahwasannya metode Nabi S.a.w dalam pendidikan diletakkan dalam rancangan yang lurus.

~ Karakter Pendidikan Abuya As-Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki  ~

Baca selengkapnya, download pdf Karakter Pendidikan Abuya As-Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki - karya K.H. Muhammad Najih Maimoen.

Topoin.com - Topbisnisonline.com - Dalam metode pengajaran dan mengajak kepada kebaikan, Rasulullah S.a.w memakai metode Al-Qur'an dari...
Kisah Muhammad Minggu, 11 Agustus 2024
Agama Islam

Sungguh, seorang hamba bisa mencapai derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di akhirat dengan bekal budi pekerti yang baik, meskipun ia lemah dalam beribadah


Segala puji bagi Allah S.w.t, yang telah memperindah rupa manusia dengan keindahan bentuk dan ukurannya dan melimpahkan urusan perbaikan budi pekerti pada kesungguhan dan kesiapan hamba. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada pemimpin kita Nabi Muhammad S.a.w, hamba Allah, Nabi-Nya, kekasih-Nya, penyebar kabar gembira dan peringatan dari-Nya; juga kepada Keluarganya dan para Sahabatnya, yang telah membersihkan wajah Islam dari kegelapan dan kekelaman, kekafiran. Amma Ba’du.

Adapun budi yang baik adalah watak pemimpin para rasul (Nabi Muhammad S.a.w), amalan utama orang-orang yang lurus hatinya, separuh dari agama, dan buah dari penempaan diri orang-orang yang bertakwa.

Adapun perangai yang buruk adalah racun pembunuh dan perusak, kehinaan yang mempermalukan, serta keburukan yang menjauhkan seseorang dari sisi Sang Penguasa alam semesta. Perangai yang buruk adalah penyakit bagi hati.

Minat para dokter untuk menguasai ilmu pengobatan tubuh sangat tinggi, padahal dampak dari gagalnya pengobatan tubuh hanyalah hilangnya kehidupan yang bersifat fana. Karena itu, perhatian pada pengobatan penyakit hati, yang bisa berdampak pada hilangnya kehidupan yang kekal, tentu lebih diperlukan. Allah S.w.t telah berfirman:

"Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya". (QS Al-Syams [91]: 9-10).

Jadi, dengan mengobati penyakit hati, jiwa menjadi bersih; dan dengan mengabaikan pengobatan hati, jiwa menjadi kotor.

Hanya Rasulullah S.a.w yang mempunyai kesempurnaan budi pekerti, karena itu orang yang paling dekat dengan Allah adalah orang yang mengikuti Rasulullah dengan budi pekerti yang baik

Keutamaan Budi Pekerti Yang Baik

Allah telah berfirman kepada Nabi Muhammad Sa.w, seraya memujinya dan memperlihatkan nikmat-Nya kepada Beliau, "Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur" (QS Al-Qalam: 4).

Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah S.a.w tentang budi pekerti yang baik, Beliau pun membaca firman Allah, "Jadilah pemaaf, suruh orang mengerjakan yang makruf, dan jangan engkau pedulikan orang-orang yang bodoh" (QS Al-A’raf [7]: 199). Kemudian Beliau S.a.w bersabda, “Budi yang baik ialah menyambung silaturahmi kepada orang yang memutuskannya darimu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu, dan memaafkan orang yang menzalimimu.”.

Rasulullah S.a.w pun telah bersabda, “Perkara yang paling berat ketika ditimbang di Mizan pada Hari Kiamat nanti adalah ketakwaan kepada Allah dan budi pekerti yang baik.”. Riwayat yang lain mengggunakan redaksi, “Perkara yang paling berat ketika ditimbang di Mizan adalah budi pekerti yang baik.”. Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu menolong semua orang dengan hartamu maka bantulah mereka dengan wajah yang ceria dan budi pekerti yang baik.”. Sang Nabi S.a.w pun pernah bersabda, “Sungguh, seorang hamba bisa mencapai derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di akhirat dengan bekal budi pekerti yang baik meskipun ia lemah dalam beribadah.”.

Hasan Al-Bashri menyatakan, “Barang siapa berperangai buruk, ia menyiksa dirinya sendiri.”. Anas bin Malik R.a mengatakan, “Seseorang bisa mencapai derajat yang tinggi dengan budi pekerti yang baik meskipun ia bukan ahli ibadah. Sebaliknya, meskipun gemar beribadah, seseorang bisa terdampar pada kedudukan yang paling rendah karena perangainya yang buruk.”.

Al-Kanani mengatakan, “Tasawuf adalah soal budi pekerti. Maka, barang siapa memiliki budi pekerti yang lebih baik daripada dirimu, berarti tasawufnya lebih baik daripada tasawufmu.”. Ibnu Abbas mengutarakan, “Setiap bangunan mempunyai fondasi, dan fondasi Islam adalah budi pekerti yang baik.”. Atha’ menyatakan, “Tidak ada orang yang berkedudukan tinggi, kecuali karena budi pekertinya yang baik.”. Dan, hanya Rasulullah S.a.w yang mempunyai kesempurnaan budi pekerti, karena itu, orang yang paling dekat dengan Allah adalah orang yang mengikuti Rasulullah dengan budi pekerti yang baik.

Semakin dekat derajat budi pekerti seseorang dengan Rasulullah, berarti semakin dekat ia dengan Allah S.w.t

Penjelasan Mengenai Budi Pekerti Yang Baik

Kata khuluq (budi pekerti) dan khalq (bentuk tubuh) bisa digunakan secara bersamaan. Misalnya, hasana al-khuluqu wa al-khalqu. Artinya, sisi batiniah dan lahiriahnya baik. Jadi, yang dimaksud dengan khalq adalah tubuh yang kasat mata, sedangkan khuluq adalah sisi bathiniah seseorang. Dengan kata lain, budi pekerti adalah suatu sifat yang sudah menancap kuat pada jiwa seseorang, yang darinya timbul berbagai perilaku dengan mudah. Jika yang muncul adalah perilaku-perilaku yang baik, sifat itu dinamakan budi pekerti yang baik. Jika yang lahir adalah perilaku-perilaku yang buruk, sifat itu dinamakan budi pekerti yang buruk.

Ada empat hal yang terkait dengan budi pekerti, yaitu:
1). Perilaku baik dan buruk
2). Kekuatan untuk melakukan perilaku baik atau buruk
3). Pengetahuan tentang dua jenis perilaku tersebut
4). Kondisi kejiwaan yang mengarah pada salah satu di antara dua budi pekerti tersebut.

Yang dinamakan budi pekerti tidaklah terbatas pada perilaku itu sendiri. Bisa jadi seseorang berperilaku dermawan, tetapi faktanya ia tidak mau bersedekah saat sedang dihinggapi kemiskinan atau ada halangan. Budi pekerti adalah unsur yang keempat yang tersebut di atas. Budi pekerti adalah kondisi pada jiwa seseorang, yang karena kondisi itu ia siap melahirkan perbuatan. Dengan kata lain, budi pekerti merupakan keadaan pada jiwa dan bathiniah seseorang.

Bentuk lahiriah wajah seseorang tidak bisa dikatakan cantik, kecuali jika kedua mata, hidung, mulut, dan pipinya indah secara keseluruhan. Demikian pula kecantikan batin tidak bisa terwujud, kecuali jika empat unsur pada diri seseorang bersifat baik secara keseluruhan. Jika empat unsur itu baik, terwujudlah apa yang dinamakan budi pekerti yang baik. Empat unsur itu adalah ilmu, amarah, nafsu, dan keseimbangan di antara tiga unsur tersebut.

Ilmu bisa dikatakan baik jika ia mampu dengan mudah membedakan antara kejujuran dan kebohongan dalam ucapan, kebenaran dan kebathilan dalam keyakinan, serta kebaikan dan keburukan dalam perbuatan. Ilmu yang baik akan berbuah hikmah. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. (QS Al-Baqarah [2]: 269).

Amarah bisa dikatakan baik jika naik dan turunnya selaras dengan tuntutan hikmah. Begitu juga nafsu bisa dikatakan baik jika mengikuti bimbingan hikmah, yaitu petunjuk nalar dan syariat. Adapun yang dimaksud dengan keseimbangan di antara tiga unsur ialah terkendalinya nafsu dan amarah di bawah petunjuk nalar dan syariat.

Induk dari berbagai budi pekerti yang baik ada empat, yaitu Hikmah, Syaja’ah, ‘Iffah, dan ‘Adalah.

Dengan adanya keseimbangan dalam menggunakan kekuatan nalar, akan muncul kecakapan dalam mengorganisasi, kejernihan pikiran dan pandangan, intuisi yang benar, kecakapan dalam mengerjakan berbagai pekerjaan, dan kecerdasan dalam melihat berbagai rahasia hati. Namun jika nalar digunakan kelewat batas, akan timbul sifat kedurjanaan, kelicikan, kecurangan, dan kemunafikan. Adapun jika nalar diremehkan, akan lahir watak bebal, ketakutan untuk mencoba sesuatu, kedunguan, dan kerusakan nalar.

Dengan adanya syaja’ah, akan muncul sifat kemurahan hati, penolong, kesatria, rendah hati, ketegaran, kesabaran, keteguhan hati, pengendalian emosi, kehormatan diri, ketenangan diri, dan sebagainya. Namun jika syajd’ah tersebut melampaui batas, akan lahir sikap sembrono, pongah, tinggi hati, mudah marah, sombong, dan  bangga diri. Adapun jika syaja’ah dikesampingkan, yang akan muncul adalah kehinaan, kenistaan, ketakutan, kerendahan diri, dan rasa ; gentar dalam memperjuangkan hak.

Adapun dengan adanya ‘iffah, akan terlahir sifat kedermawanan, rasa malu, kesabaran, toleransi, qana ‘ah, wara’, kelembutan, keringanan tangan, kesantunan, dan kekayaan hati. Akan tetapi jika ‘iffah terlalu berlebihan atau diabaikan, yang akan lahir justru sifat tamak, rakus, tidak tahu malu, boros, kemubaziran, pelit, riya, dengki, melakukan hal-hal yang sia-sia, senang atas kesusahan dan kemiskinan orang lain, menghinakan diri di depan orang kaya, suka menghina orang miskin, dan sebagainya.

Dengan demikian, pangkal dari segala keluhuran budi pekerti adalah hikmah, syaja’ah, ‘iffah, dan ‘adalah. Adapun sifat-sifat yang lain merupakan cabang-cabangnya saja.

Tidak ada seorang pun yang berhasil mencapai kesempurnaan budi pekerti, yaitu keseimbangan dalam empat induk budi pekerti sebagaimana yang telah disebutkan, kecuali Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Adapun manusia selain Beliau berbeda-beda derajat kedekatan mereka dengan budi pekerti Beliau.

Semakin dekat derajat budi pekerti seseorang dengan Rasulullah, berarti semakin dekat ia dengan Allah S.w.t.

Al-Quran telah memberi isyarat mengenai empat induk budi pekerti tersebut. Allah berfirman, Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka yang berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (QS Al-Hujurat [49]: 15). Keimanan kepada Allah dan Rasulullah tanpa keraguan adalah kekuatan keyakinan dan buah dari penalaran serta puncak dari kebijaksanaan. Perjuangan dengan harta benda merupakan sikap kedermawanan yang bersumber dari pengendalian terhadap kekuatan nafsu. Adapun jihad dengan jiwa merupakan sifat keberanian yang bertolak dari penggunaan kekuatan amarah secara seimbang dan sesuai dengan petunjuk nalar. Allah Swt. menggambarkan karakter para sahabat dengan firman-Nya, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Dengan maksud memberikan isyarat bahwa sikap keras ada tempatnya dan sikap lembut pun ada tempatnya tersendiri.

Yang dimaksud dengan “mengubah budi pekerti menjadi baik” bukanlah mematikan elemen amarah dan nafsu secara total, melainkan meluruskan dan memperbaiki keduanya, dan dengan mengembalikan elemen amarah dan nafsu pada titik keseimbangan

Budi Pekerti Bisa Berubah

Seandainya budi pekerti tidak bisa berubah, tidak ada gunanya lagi nasihat, pengarahan, dan pendidikan. Lagi pula Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki budi pekerti.”.

Sesungguhnya amarah dan nafsu bisa dipengaruhi dengan pilihan. Jika hendak melenyapkan dan mematikan keduanya, tentu saja kita tidak bisa. Namun, kita bisa mengarahkan dan mengatur keduanya dengan latihan dan penempaan diri. Sebagai perumpamaan, biji apel maupun kurma bukanlah apel atau kurma itu sendiri. Biji kurma ditakdirkan untuk bisa berubah menjadi pohon kurma jika dirawat dengan baik. Adapun biji apel sudah digariskan tidak bisa menjadi pohon apel meskipun telah ditanam dan dirawat dengan baik. Jadi, ada hal yang mungkin diubah dan ada hal yang tidak mungkin diubah. Salah satu hal yang mungkin diubah dan diperbaiki ialah budi pekerti.

Watak dasar manusia mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda-beda untuk dipengaruhi dan diubah. Perbedaan itu ditentukan oleh perbedaan kekuatan naluri dasar (baca: amarah dan nafsu) seseorang dan seberapa kuat ia dipengaruhi oleh perilaku yang sering dilakukannya.

~ Orang yang tidak bisa membedakan kebenaran dari kebathilan dan kemuliaan dari kehinaan, bisa dengan cepat diperbaiki budi pekertinya. Ia hanya memerlukan seorang guru dan pembimbing.

~ Orang yang sudah bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, tetapi tidak terbiasa mengerjakan kebaikan dan malah tunduk pada hawa nafsunya, lebih sulit untuk diluruskan budi pekertinya. Untuk mengubahnya, apa yang sudah tertanam kuat di jiwanya harus dicabut terlebih dulu. Setelah itu, harus ditanamkan pada dirinya kebiasaan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.

~ Orang yang meyakini perilaku buruk sebagai kemuliaan dan terbiasa melakukan keburukan, hampir tidak bisa diperbaiki budi pekertinya. Kita hanya bisa berharap agar ia bisa menjadi baik, tetapi hal itu termasuk kejadian langka.

~ Orang yang paling sulit untuk diperbaiki budi pekertinya adalah orang yang tumbuh bersama nilai-nilai yang salah, terbiasa melakukan perilaku buruk, dengan memandang keburukan sebagai keutamaan dan membanggakannya, serta menganggap hal itu bisa meninggikan derajatnya.

Orang model pertama dinamakan orang bodoh. Orang kedua bodoh dan sesat. Orang ketiga bodoh, sesat, dan fasik. Adapun orang keempat adalah orang bodoh, sesat, fasik, dan jahat.

Yang dimaksud dengan “mengubah budi pekerti menjadi baik” bukanlah mematikan elemen amarah dan nafsu secara total, melainkan meluruskan dan memperbaiki keduanya. Allah Swt. telah berfirman, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Ketegasan di sini tiada lain bersumber dari elemen amarah. Seandainya amarah disingkirkan, tentu tidak ada syariat yang bernama jihad. Allah pun telah menyatakan bahwa salah satu ciri orang yang beriman ialah, Orang-orang yang menahan amarahnya (QS Ali ‘Imran [3]: 134). Allah tidak mengatakan orang-orang yang menghilangkan amarahnya.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan perbaikan budi pekerti adalah mengembalikan elemen amarah dan nafsu pada titik keseimbangan.

Allah S.w.t. juga berfirman, Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar (QS Al-Furqan [25]: 67). Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) (QS Al-Isra’ [17]: 29). Makan dan minumlah kalian, tetapijangan berlebihan (QS Al-A’raf [7]: 31). Mengenai amarah, Allah pun berfirman, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Demikian pula kedermawanan berada di antara pemborosan dan kekikiran, keberanian di antara kegentaran dan kesembronoan, dan’iffah di antara ketamakan dan kebekuan (tidak bernafsu). Jadi, semua sifat baik berada di tengah, sedangkan semua sifat yang berada di dua sisi ekstrem merupakan sifat yang tercela.

Hanya saja, seorang guru ruhani dalam membimbing murid-muridnya diharuskan untuk menistakan perilaku emosional dan kikir secara mutlak. Tujuannya, agar para murid tidak menyisakan kebakhilan dan kemarahan. Jika mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melenyapkan kebakhilan dan kemarahan, tentu tidak mudah bagi mereka untuk melenyapkan keduanya. Dengan begitu, mereka akan kembali pada titik tengah.

Puncak dari budi pekerti adalah tercerabutnya kecintaan pada dunia dan tertanamnya kecintaan kepada Allah S.w.t. di dalam jiwa

Cara Memperoleh Budi Pekerti Yang Baik

Engkau sudah tahu bahwa budi pekerti yang luhur berasal dari keseimbangan kekuatan nalar, kesempurnaan kebijakan, keseimbangan elemen amarah dan nafsu, serta ketundukan kedua elemen tersebut pada syariat dan nalar. Keseimbangan berbagai unsur tersebut bisa diperoleh dengan dua cara:

1). Melalui anugerah llahi dan kesempurnaan fitrah.
2). Melalui pelatihanan dan penempaan diri, yaitu dengan membiasakan diri mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Maka, siapa yang ingin memiliki sifat dermawan, ia harus memaksakan diri untuk mengerjakan perilaku-perilaku dermawan, yaitu menyedekahkan harta benda. Tidak hanya itu, ia pun harus memaksakan diri untuk melakukannya secara terus-menerus sehingga menjadi terbiasa dan menjadi mudah baginya untuk melakukannya. Begitu pula jika ada orang yang ingin mempunyai sifat rendah hati. Ia harus membiasakan dirinya untuk mempraktikkan berbagai perilaku orang-orang yang rendah hati sehingga perilaku-perilaku itu menjadi sifat yang melekat pada dirinya.

Semua budi pekerti yang terpuji bisa diperoleh dengan cara demikian. Allah S.w.t. berfirman di dalam bab shalat, Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (QS Al-Baqarah [2]: 45). Rasulullah S.a.w pun bersabda, “Beribadahlah kepada Allah dalam keadaan senang. Jika tidak bisa, pada kesabaran dalam menjalankan apa yang tidak kau sukai (baca: ibadah) terdapat banyak kebajikan.”.

Maksud dari semua ibadah tiada lain ialah untuk memberi kesan di dalam hati. Hal tersebut hanya bisa menjadi kuat dengan banyaknya pengulangan. Adapun puncak dari budi pekerti adalah tercerabutnya kecintaan pada dunia dan tertanamnya kecintaan kepada Allah S.w.t. di dalam jiwa. Jika jiwa bisa menikmati kebathilan dan senantiasa berhasrat padanya karena kebiasaan, mengapa jiwa tidak bisa pula menikmati kebenaran jika sudah dikembalikan padanya dan beristiqamah melakukan kebaikan?

Engkau sudah tahu bahwa budi pekerti yang baik terkadang merupakan bawaan sejak lahir atau fitrah, terkadang muncul karena pembiasaan dalam melakukan kebaikan, dan terkadang datang setelah seseorang melihat perilaku orang-orang yang berbudi luhur dan berteman dengan mereka. Maka, jika pada diri seseorang telah berkumpul budi pekerti yang terpuji karena fitrahnya memang demikian, karena pembiasaan, dan karena pembelajaran, sungguh ia telah sampai pada puncak keutamaan. Dan barang siapa secara fitrah berbudi pekerti buruk, berteman dengan orang-orang berperangai buruk, lalu belajar keburukan dari mereka, sehingga terbiasa dengan tindak keburukan dan menikmatinya, sungguh ia telah berada di tempat yang paling jauh dari Allah S.w.t.

Di antara dua kedudukan itu, terdapat orang-orang dengan kedudukan yang berbeda-beda. Kedekatan dan kejauhan mereka dari Allah berbeda-beda sesuai dengan budi pekerti mereka masing-masing. Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya; dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (QS Al-Zalzalah [99]: 7-8). Kami tidak menzalimi mereka, justru merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri (QS Al-Nahl [16]: 118).

Secara umum, cara untuk memperbaiki budi pekerti adalah dengan melakukan sifat-sifat yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsu

Perincian Cara Memperbaiki Budi Pekerti

Dalam hal penyembuhan, jiwa bagaikan badan. Penyembuhan jiwa dilakukan dengan membersihkan sifat-sifat hina dan menghadirkan sifat-sifat mulia, sedangkan penyembuhan badan dengan membersihkan berbagai penyakit dan mengupayakan kebugaran badan. Secara fitrah, tubuh manusia berada dalam keseimbangan di antara elemen-elemen di dalamnya, tetapi tubuh kemudian bisa menjadi sakit karena pengaruh makanan, udara, dan lingkungannya. Seorang anak pun demikian. Setiap bayi dilahirkan dengan fitrahnya, tetapi ayah dan ibunya yang membuatnya menjadi pemeluk Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Tubuh pun pada awalnya tidak diciptakan dalam kondisi yang sempurna. Ia bisa menjadi sempurna dan kuat hanya setelah tumbuh, memperoleh pendidikan, dan mendapatkan asupan makanan. jiwa pun seperti itu. Ia diciptakan dalam potensi untuk bisa menjadi. sempurna. Ia hanya bisa menjadi sempurna dengan pendidikan, budi pekerti yang baik, dan asupan ilmu.

Seorang guru panutan yang hendak menyembuhkan jiwa para murid dan memperbaiki kondisi hati mereka hendaknya tidak tergesa-gesa dalam merekomendasikan latihan dan amalan kepada murid-muridnya selagi belum mengetahui budi pekerti dan penyakit mereka. Ia hendaknya mengobati penyakit hati dan jiwa mereka setelah terlebih dahulu memeriksa penyakit mereka, keadaan mereka, dan seberapa besar kekuatan mereka untuk melakukan penempaan diri.

Jika seorang murid masih pemula dan belum mengerti dasar-dasar syariat, hendaknya sang guru terlebih dahulu mengajarkan kepadanya bab tentang bersuci, shalat, dan berbagai ibadah ragawi lainnya. Jika seorang murid berkecimpung dalam dunia haram atau kemaksiatan, sang guru hendaknya terlebih dahulu memerintahkannya untuk meninggalkan dunia haram atau kemaksiatan tersebut. Apabila seorang murid sudah menjalankan ibadah-ibadah ragawi dengan baik dan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan lahiriah, barulah sang guru bisa memperhatikan sisi batiniahnya guna mengetahui budi pekerti dan penyakit-penyakit di hatinya. Setelah itu sang guru hendaknya secara bertahap membersihkan hati sang murid dari virus-virus batin dan merawatnya.

Salah satu rahasia penempaan diri: jika seorang murid kesulitan meninggalkan suatu sifat buruk, seorang guru tidak boleh langsung memberikan terapi berupa kebalikan dari sifat itu secara seketika. Ia hendaknya membawa sang murid dari sifat buruk itu ke sifat buruk lain yang 'lebih ringan' terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana anak-anak di sekolah. Pada awalnya mereka didorong untuk menyukai permainan, kemudian didorong untuk menyukai kerapian dan keindahan berpakaian, kemudian didorong untuk menjadi pemimpin dan mendapatkan kedudukan, baru kemudian didorong untuk mencintai akhirat.

Ada sebagian orang berlatih untuk membiasakan diri bersabar dengan menyewa seseorang untuk mencacinya di depan khalayak. Ia memaksakan diri bersabar dan menahan amarah sehingga bersabar menjadi biasa baginya. Sebagian yang lain merasa dirinya penakut, lantas ia ingin mempunyai sifat pemberani. Ia pun naik perahu di laut pada musim dingin, ketika gelombang sedang bergejolak.

Secara umum, cara untuk memperbaiki budi pekerti adalah dengan melakukan sifat-sifat yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsu. Hal ini telah Allah jelaskan secara global dalam satu kalimat-Nya, Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, sesungguhnya surga adalah tempat tinggal(nya) (QS AI-Nazi’at [79]: 40-41).

Adapun pokok terpenting dalam upaya memperbaiki budi pekerti adalah komitmen terhadap apa yang telah ditekadkan. Jika seseorang sudah berkomitmen untuk meninggalkan suatu sifat yang buruk, tetapi hal-hal yang bisa menggagalkan komitmen tersebut begitu banyak dan mudah maka hendaknya ia bersabar dan tetap meneruskan komitmennya. Jika seseorang terbiasa membatalkan komitmennya, jiwanya menjadi lemah, lalu rusak.

Cobaan pertama dan utama yang dihadapi budi pekerti yang baik adalah kesabaran dalam menerima perlakuan buruk dan ketegaran dalam menghadapi perilaku kasar. Barang siapa mengeluhkan keburukan budi pekerti orang lain, itu menunjukkan keburukan budi pekertinya sendiri

Tanda-tanda Budi Pekerti Yang Baik

Sebagian orang yang telah berjuang untuk menempa diri dengan perjuangan kecil berupa menjauhi dosa-dosa besar, terkadang beranggapan bahwa mereka telah berhasil memperbaiki budi pekerti mereka. Oleh sebab itu, tanda-tanda budi pekerti yang baik perlu dijelaskan di sini..

Sesungguhnya budi pekerti yang baik ialah iman. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sebelum ia mampu mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”. Beliau juga menyatakan, “Barang siapa beriman kepada Allah dan rasuI-Nya, hendaknya ia memuliakan tamunya; dan barang siapa beriman kepada Allah dan rasul-Nya, hendaknya ia mengucapkan perkataan yang baik atau diam saja” Sabdanya yang lain, “Jika engkau menemukan orang yang diberi anugerah kezuhudan terhadap dunia dan sedikit bicara, mendekatlah kepadanya. Sesungguhnya ia memancarkan hikmah.” Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa merasa senang dengan kebaikannya dan merasa susah dengan keburukannya, sesungguhnya ia seorang mukmin.”.

Cobaan pertama dan utama yang dihadapi budi pekerti yang baik adalah kesabaran dalam menerima perlakuan buruk dan ketegaran dalam menghadapi perilaku kasar. Barang siapa mengeluhkan keburukan budi pekerti orang lain, itu menunjukkan keburukan budi pekertinya sendiri. Pada suatu hari Rasulullah S.a.w berjalan bersama Anas R.a. Beliau mengenakan selendang Najran yang pinggiran kainnya kasar. Lalu bertemulah mereka dengan seorang Arab badui dan orang itu tiba-tiba menarik dengan keras selendang di leher Rasul. Anas R.a. menceritakan, “Aku melihat leher Rasulullah S.a.w, tampak selendang itu meninggalkan bekas di leher Beliau karena kerasnya tarikan orang badui tersebut. Orang itu lalu mengatakan, ‘Wahai Muhammad. Beri aku harta Allah yang ada padamu.’ Baginda Rasul lantas menoleh kepadanya dan tertawa. Kemudian Beliau memerintahkanku untuk memberinya sesuatu.”.

Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham pergi ke kawasan gurun. Lalu datanglah seorang tentara kepadanya seraya bertanya, “Apakah engkau seorang hamba?” Ia menjawab, “Ya.” Tentara itu kembali bertanya, “Di manakah permukiman?” Ibrahim menunjuk pada tanah kuburan. Tentara itu mengatakan, “Maksudku tanah permukiman.” Ia menjawab, “Ya, itu tanah permukiman.” Jawaban Ibrahim membuat marah sang tentara. Lalu tentara itu mencambuk kepala Ibrahim bin Adham hingga kepalanya berdarah. Lantas ia membawa Ibrahim ke negerinya. Di sana, sang tentara disambut oleh teman-temannya. Mereka bertanya, “Ada apa?” Sang tentara lalu menceritakan kepada mereka apa yang telah terjadi. Mereka pun memberitahukan, “Ini adalah Ibrahim bin Adham.” Sang tentara itu lantas buru-buru turun dari kudanya, lalu mencium kedua tangan dan kaki Ibrahim, seraya meminta maaf. Setelah itu ditanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa Anda katakan kepadanya bahwa Anda seorang hamba sahaya?” Ibrahim menjawab, “Dia tidak menanyakan kepadaku, hamba siapakah aku. Dia hanya menanyakan, apakah aku hamba. Maka aku pun mengiyakan karena aku memang hamba Allah. Ketika ia memukul kepalaku, aku memohon kepada Allah surga untuknya.” Lalu ditanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa Anda mintakan surga untuknya, padahal dia menzalimimu?” Ibrahim menjawab, “Karena aku tahu bahwa aku mendapatkan pahala atas apa yang ia lakukan terhadapku. Aku tidak ingin diriku mendapatkan pahala karena dia, sementara pada saat yang sama dia mendapatkan dosa karena (menyakiti) aku.

Sahal At-Tustari pernah ditanya tentang budi pekerti yang baik. Ia menjawab, “Setidaknya, budi pekerti yang baik adalah bersikap tegar dalam menghadapi perlakuan buruk, tidak mengharap balasan atas kebaikan, serta mengasihi orang yang berbuat zalim dan memintakan ampun untuknya.

Diriwayatkan bahwa jika Uwais Al-Qarni terlihat oleh anak-anak kecil, ia akan dilempari dengan bebatuan oleh mereka. Jika sudah demikian, ia akan berkata kepada mereka, “Wahai saudara-saudaraku. Jika kalian memang harus melempariku, lempari aku dengan bebatuan kecil saja, jangan lukai betisku hingga mencegahku untuk melaksanakan shalat.

Seorang lelaki mencaci maki Ahnaf bin Qais, tetapi Ahnaf tidak menggubrisnya. Lelaki itu pun membuntuti Ahnaf. Ketika sudah dekat dengan perkampungan, Ahnaf berhenti. Kepada lelaki itu ia berkata, “Jika di hatimu masih ada hal yang ingin kausampaikan, katakan saja di sini agar orang-orang bodoh dari kampung di depan tidak mendengar caci makimu. Jika sampai mendengarnya, mereka bisa menyakitimu.”.

Dikisahkan bahwa Sayyidina Ali ~semoga Allah memuliakannya~ memanggil budak lelakinya, tetapi budak itu tidak menghiraukan. Sayyidina Ali pun menyerunya hingga tiga kali, tetapi tetap saja budak itu mengabaikan. Maka bangkitlah Sayyidina Ali mendatanginya. Ternyata budak itu sedang berbaring. Sayyidina Ali bertanya, “Tidakkah kaudengar seruanku?” Si budak menjawab, “Ya, aku mendengarnya.” Sayyidina Ali kembali bertanya, “Lalu apa sebabnya engkau tidak menjawab panggilanku?” Si budak menjawab, “Saya tidak takut akan Anda hukum. Karenanya, saya malas menjawab seruan Anda.” Lalu berkatalah Sayyidina Ali, “Pergilah. Engkau sekarang merdeka karena Allah.”.

Seorang perempuan memanggil Malik bin Dinar dengan seruan, “Wahai tukang pamer.” Malik bin Dinar membalas, “Hai perempuan. Sungguh engkau telah mengetahui namaku, padahal penduduk Basrah tidak mengetahuinya.”.

Dikisahkan bahwa Yahya bin Ziyad mempunyai seorang budak yang buruk perangainya. Lalu ia ditanya, “Mengapa tidak kau lepaskan saja budakmu itu?” Yahya menjawab, “Agar aku bisa belajar bersikap sabar darinya.”.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

~ Al Habib Umar bin Hafidz ~
Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din, Bab Kedua dari Kuarter al-Muhlikat
Sumber: www.alhabibahmadnoveljindan.org

Baca juga: Keajaiban-keajaiban Hati

“ Sungguh, seorang hamba bisa mencapai derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di akhirat dengan bekal budi pekerti yang baik, meskipun...
Kisah Muhammad Selasa, 06 Agustus 2024
Agama Islam

Apabila manusia memperlakukan alam raya ini sesuai dengan ajaran Allah S.w.t, baik dalam penciptaan maupun fungsi kegunaannya, niscaya tidak dite­mukan keburukan dan kesengsaraan dalam alam ini. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah dasar-dasar keindahan padanya, yang dapat melindunginya dan membuatnya berfungsi dengan baik, tanpa membutuhkan pemikiran manusia untuk mengubahnya atau menggantikannya


Setiap generasi manusia pasti menampung peradaban dari generasi sebelumnya, lalu mereka manambahkannya dengan peradaban baru untuk diwariskannya kepada generasi penerus sesudahnya. Begitulah seterusnya, semakin maju zamannya, semakin terwujud pencapaian-pencapain manusia secara lebih cepat. Maka dengan silih bergantinya generasi, dari generasi sebelumnya ke genarsi sesu­dahnya, kita akhirnya mempunyai warisan peradaban yang amat besar untuk kita bangun di atasnya suatu kemajuan bagi kita.

Rahasia Keindahan di Alam Raya

Allah S.w.t meletakkan dasar-dasar keindahan di alam raya ini, yaitu dasar-dasar yang mutlak diperlukan untuk tegaknya kehidupan. Di antara dasar-dasar itu ialah bahwa kehidupan ini tidak akan lurus kecuali bila manusia hanya makan dari hasil jerih payah pekerjaannya sendiri. Rasulullah S.a.w bersabda:

ما أكل أحد طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل يده,وأنَ نبي الله داود كان يأكل من عمل يده

"Tidak ada seorangpun memakan makanan yang lebih baik dari pada memakan makanan hasil dari usaha tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud adalah memakan makanan dari hasil tangannya sendiri.".

Islam melarang memberikan upah kepada se­seorang tanpa kerja. Konon ada ungkapan yang mengatakan:

Jika sekiranya tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan, maka hendaklah orang-orang itu diperintahkan menggali sumur kemudian mereka disuruh menguruknya kembali.“.

Dari segi logika, memang pekerjaan model itu tidaklah fair. Bagaimana manusia disuruh menggali sumur lalu disuruh menguruknya kembali?

Kami katakan bahwa hal itu dimaksudkan agar manusia tidak memungut bayaran upah tanpa diimbangi kerja. Karena jika manusia terbiasa mendapatkan upah tanpa kerja, maka konsekuensinya akan terbentuk masyarakat pengangguran yang mengharapkan bayaran tanpa mau bekerja. Akibatnya hilanglah keindahan di alam raya ini dan tersebarlah kerusakan di dalamnya.

Termasuk keindahan di alam raya ini ialah bahwa Allah S.w.t mengharamkan makan harta manusia dengan cara yang tidak sah. Firman Allah S.w.t:

ولا تأكلوا اموالكم بينكم با لباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من اموال الناس با لإثم وأنتم تعلمون

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil. Dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan cara berbuat dosa, padahal kamu mengerti.“. (QS Al-Baqarah: 188).

Jika anda misalnya memakan harta saya secara tidak sah, berarti anda menghalangi saya dari hasil pekerjaan saya sendiri. Dalam kondisi seperti ini sebaiknya saya mogok kerja saja. Selagi saya bekerja tetapi saya menderita, sementara anda tidak bekerja tetapi anda bisa mengambil hasil pekerjaan saya, lalu untuk apa saya bekerja? Jadi, dengan anda memakan harta orang lain secara tidak sah, seakan-akan anda menghapus keindahan dalam alam raya ini. Oleh sebab itu, hendaklah setiap orang mengambil hasil usahanya sendiri, supaya ia terpacu untuk terus bekerja demi terciptanya kemajuan dalam kehidupan.

Demikianlah kita lihat cara Allah S.w.t menciptakan keindahan di alam raya ini. Hanya manusialah yang datang untuk merusaknya. Maka hilanglah kebaikan dan datanglah kesengsaraan dan keburukan.

Allah S.w.t menciptakan masyarakat lengkap dengan rezekinya. Masing-masing kita diberi oleh-Nya bakat yang tidak diberikan kepada lainnya. Dia menghendaki agar si A unggul dalam tehnik, si B unggul dalam kedokteran dan si C unggul dalam salah satu industri. Setiap orang unggul dalam suatu bidang, tapi diungguli dalam bidang-bidang yang lain. Realitas ini sejalan dengan firman Allah S.w.t:

أنظر كيف فضلنا بعضهم على البعض

Perhatikanlah bagaimana Kami unggulkan sebagian dori mereka atas sebagian yang lain“.(QS Al-Isra: 21).

Allah S.w.t tidak menjelaskan siapakah sebagian yang diunggulkan? dan siapakah sebagian lainnya yang diungguli itu? Mengapa demikian? Sebab masing-masing di antara kita adalah unggul dalam suatu bidang, dan diungguli dalam bidang yang lain.

Seorang arsitek bisa dikatakan ulung, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mensuplai kebutuhan pokoknya, berupa makanan, minuman, pakaian dan lain-lain. Jadi, ia unggul dalam salah satu cabang kehidupan, tetapi ia diungguli oleh yang lain dalam beberapa segi kehidupan lainnya.

Seorang dokter pandai, dirinya unggul di bidang kedokteran, tetapi la membutuhkan seorang arsitek yang akan membangunkan rumah untuk tempat tinggalnya, membutuhkan orang yang membuatkan pakaian yang ia pakai, membutuhkan pula orang yang bertani dan menyiapkan makanan baginya.

Seorang pembuat pakaian hebat di bidangnya, tetapi ia membutuhkan seorang dokter yang akan mengobatinya, membutuhkan seorang ahli bangunan yang membangunkan rumah untuknya, membutuhkan seorang petani yang menanam beras untuk makanannya.

Jadi, masing-masing kita memang diunggulkan dalam satu sisi, dan diungguli dalam beberapa sisi lainnya. Sampaipun tukang kebersihan jalan raya yang mengangkut sampah dari rumah-rumah dan gedung-gedung, kita membutuhkannya dari sisi ini. Sebab jika kita biarkan kotoran sampah menumpuk begitu saja, niscaya tersebar luas penyakit dan bak­teri, memenuhi semua tempat. Maka ia diunggulkan di atas kita dalam bidang kebersihan ini. Termasuk juga buruh yang bekerja membersihkan saluran air pembuangan dan kotoran got, ia diunggulkan dari segi ini. Sebab seandainya ia meninggalkan pekerjaannya, pastilah jalan-jalan raya penuh dengan air pembuangan limbah, sehingga kehidupan kita menjadi sulit.

Maka, janganlah anda meremehkan suatu pekerjaan, atau anda katakan, Saya lebih unggul dari pada orang itu, karena ia hanya sebagai buruh got pembuangan air limbah, sedangkan saya seorang dokter atau arsitek. Sebab ia di bidangnya tetap diunggulkan dari pada anda. Anda membutuhkan keberadaannya secara otomatis, karena masyarakat tidak mungkin akan utuh dan terpadu menjadi satu kecuali dengan keberadaan kita semua, mulai dari profesi paling rendah hingga profesi tertinggi.

Agar masyarakat bekerjasama secara sinergis demi pertumbuhan dan kehidupan bersama yang lebih baik, maka Allah S.w.t mengikat bagi masing-masing individu dengan rezeki, supaya setiap orang mau bekerja dengan senang hati untuk mendapatkan rezekinya dan rezeki anak-anaknya. Bahkan rela mencarai pekerjaan guna mendapatkan rezekinya. Ini merupakan keharusan sebagai dasar keindahan di alam raya. Sebab, jika kita semua menjadi dokter atau arsitek, Siapakah yang menyiapkan roti untuk kita makan setiap pagi? Siapakah yang memebersikan jalan-jalan? Siapakah yang bekerja di gorong-gorong, saluran air pembuangan limbah dan lain-lain?


Masyarakat yang tidak dibangun di atas dasar saling melengkapi di antara individu-individunya akan rusak. Tidak mungkin bisa terus bertahan hidup. Tuhan menghendaki agar setiap individu unggul dalam suatu bidang yang bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan agar kehidupan bisa berjalan dengan baik.

Inilah sebuah mukadimah (preambul/pendahuluan) yang harus dipaparkan untuk menguak rahasia keindahan di alam raya ini. Allah S.w.t menciptakan alam raya penuh keindahan, sebagaimana Dia menciptakannya penuh kebaikan. Tetapi ia menjadi rusak karena manusia yang diberi kebebasan memilih apa yang diperintah atau apa yang dilarang. Itulah sebabnya ia merusak alam raya dengan asumsi bahwa ia mengadakan perbaikan di dalamnya. Firman Allah S.w.t:

وإذا قيل لهم لاتفسدوا فى الأرض قالوا إنما نحن مصلحون ألا انهم هم المفسدون ولكن لا يشعرون

Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan tetapi mereka tidak sadar“. (QS Al-Baqarah: 11-12).

Allah S.w.t menciptakan alam raya ini di atas dasar-dasar yang benar dan aman yang dapat menjamin kehidupan serba baik bagi semua makhluk-Nya. Seandainya manusia memperlakukan alam raya ini sesuai dengan ajaran Allah, baik dalam penciptaan maupun fungsi kegunaannya, niscaya tidak dite­mukan keburukan dan kesengsaraan dalam alam ini. Sebab segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah dasar-dasar keindahan padanya yang dapat melindunginya dan membuatnya berfungsi dengan baik tanpa membutuhkan pemikiran manusia untuk mengubahnya atau menggantikannya.

Keburukan di alam raya ini tidak datang dari asal penciptaan, bukan pula dari dasar-dasar yang ditetapkan pada penciptaan, tetapi campur tangan manusialah yang telah merusaknya. Alam raya ini dari segi penciptaannya sangat tinggi daya kreasinya, la dapat menjalankan tugas sesuai fungsinya yang dikehendaki Allah, dengan harmonis dan selaras, jauh dari hal-hal yang merusak dan mendatangkan penyakit di dalamnya.

Kemudian manusia, karena ia menjauhi ketentuan hukum Allah, maka datanglah berbagai penyakit dan gangguan di masyarakat, datanglah kesengsaraan dan keburukan. Oleh karena itu, Allah S.w.t mengutus para Rasul membawa hukum-hukum Allah untuk memulihkan kembali keharmonisan dan keindahan alam raya ini.

Ketika kita baca firman Allah dalam Al-Quran:

وننزَل من القرأن ماهو شفاء ورحمة اللمؤمنين

Dan Kami turunkan dari Al-Quran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman“. (QS Al-lsra: 82).

Tahulah kita bahwa tujuan pertama Al-Quran diturunkan adalah untuk mengobati penyakit kronis yang menjangkiti masyarakat akibat mereka jauh dari ketentuan hukum Allah. Ketika mereka sembuh dari penyakit yang menyengsarakannya, datanglah rahmat Allah berkat mereka mengikuti ketentuan hukum-Nya. Maka hilanglah penyakit-penyakit itu dan tidaklah kambuh menyengsarakan mereka untuk yang kedua kalinya.

Allah S.w.t mengadakan dan membentuk alam raya ini di atas aturan-aturan dan undang-undang yang menjadikan kecantikan sebagai sifat dasarnya. Tetapi manusialah yang lantaran ia diberi kebebasan bergerak memilih lalu ia mencampuri urusan alam raya dengan merusaknya. Dengan kebebasan me­milih, manusia dapat memilih suatu pilihan yang tidak sejalan dengan tujuan yang Allah maksudkan secara sah dalam alam raya. Dari sinilah datangnya keburukan, dan dari sinilah datangnya kerusakan.

Yang mengherankan ialah bahwa manusia itu mengaku dirinya berbuat kebaikan di alam raya ini padahal ia berbuat kerusakan, tetapi sewaktu-waktu ia merasakan kesengsaraan dan menanggung derita keburukan dengan berbagai macam kesakitan dan kelelahan yang ditimbulkannya, pastilah ia akan kembali mengikuti aturan hukum Allah sebagai undang-undang keindahan di alam raya ciptaan-Nya, hanya saja kembalinya ke jalan Allah itu bukan berkat dorongan keimanan, akan tetapi semata-mata karena keterpaksaan. Sebab, kehidupan tidaklah mungkin bisa terus berjalan kecuali dengan aturan dan ketentuan hukum yang ditetapkan Allah S.w.t.

Kita dengan sangat menyesal mendatangkan dari masyarakat yang tidak beriman sesuatu yang merusak kehidupan masyarakat kita sendiri, dan kita tinggalkan sistem hukum Allah yang merupakan satu-satunya aturan yang dapat memperbaiki segala urusan kita. Kini masyarakat kita mulai kembali secara terpaksa kepada sistem hukum Pencipta-Nya, setelah terbukti pada akhirnya bahwa kehidupan tidak mungkin bisa lurus kecuali dengan sistem hukum dari langit, baik mereka menerapkannya atas dorongan keimanan atau tidak, karena memang penderitaan dan kesengsaraan dalam kehidupan ini tidaklah mungkin hilang kecuali dengan menerapkan sistem hukum langit.


Keburukan di Alam Raya

Sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas bahwa Allah S.w.t menjadikan keindahan pada setiap makhluk ciptaan-Nya di alam raya ini. Dia menjadikan aturan dan ketentuan sebab musabab sebagai faktor untuk menjaga keindahan itu. Maka orang yang mengikuti sebab musabab, akan memperoleh apa yang diinginkan. Tetapi orang yang mencoba melakukan siasat buruk untuk mengambil sesuatu dengan cara melawan hukum Allah, berarti ia berbuat kerusakan di alam raya ini.

Alam raya ini diciptakan selaras dengan sistem hukum Allah yang ada pada setiap sesuatu; di tempat kerja, di dalam rumah tangga, pada anak-anak, dalam mencari rezeki dan dalam segala dinamika kehidupan. Jika anda menggunakan ketentuan hukum Allah, maka yang datang kepada anda hanyalah kebaikan. Dan jika anda menghindar dari ketentuan hukum Allah, maka yang datang kepada anda hanyalah keburukan. Bukan saja dalam kehidupan duniawi, tetapi di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu ada ungkapan (para arifin) yang mengatakan:

لا خير فى خير يؤدى إلى النار,ولا شرَ فى شرَ يؤدى إلى الجنَة

Tidaklah disebut kebaikan sama sekali suatu kebaikan yang mengantarkan ke neraka. Dan tidaklah pula disebut keburukan sama sekali suatu keburukan yang justru mengantarkan ke surga“.

Bagaimana suatu kebaikan bisa mengantarkan seseorang ke neraka? Baiklah kita ambil contoh: Ada orang yang mencuri dengan maksud menyedekahkan hasil curiannya, la mengambilnya dari orang kaya dan memberikannya kepada orang miskin. Orang-orang menyebutnya pencuri terhormat, padahal ia bukan terhormat dan jauh dari kehormatan, la mengira telah berbuat suatu kebaikan, padahal ia melakukan kejahatan yang besar, lantaran mencuri sesuatu yang diharamkan oleh Allah itu. Tidaklah berguna kebaikan yang dipersembahkannya. Kebaikan itu tidaklah diterima Allah lantaran ia memperolehnya dengan jalan haram. Allah S.w.t tidak menyuruh seseorang membantu-Nya memperoleh rezeki di alam raya-Nya ini, sebab Dia-lah yang memberi rezeki kepada semua makhluk-Nya, sampai harta yang haram-pun suatu rezeki, hanya saja ia adalah rezeki haram.

Allah S.w.t tidak mengizinkan seseorang men­datangkan harta haram, lalu ia mengklaim bahwa dirinya berjasa baik. Manusia tidak dilegalkan untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dalam konteks ini Allah S.w.t berfirman:

قل أرأيتم ما أنزل الله لكم من رزق فجعلتم منه حراما وحلالا قل ءالله اذن لكم ام على الله تفترون

Katakanlah; “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagian dari padanya haram dan sebagiannya lagi halal”. Katakanlah; “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu tentang ini, ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”.“ (QS Yunus: 59).

Begitulah, Allah S.w.t menjelaskan kepada kita bahwa penentuan halal dan haram itu atas izin dan ketetapan dari Allah S.w.t. Manusia tidak berhak menetapkan keharaman bagi sesuatu yang dihalalkan Allah, atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah. Allah S.w.t tidak menginginkan seseorang untuk membantu-Nya dalam mengurus alam raya ini, karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia-lah Yang berhak membebani setiap makhluk-Nya, sehingga tidak ada seseorang yang melakukan perbuatan yang diharamkan lalu mengatakan bahwa perbuatannya itu adalah suatu kebaikan. Sebab, sebagaimana yang sudah kami katakan, tidaklah disebut kebaikan sama sekali suatu kebaikan yang mengantarkan ke neraka.

Atau seorang perempuan yang menjual kehor­matannya dengan dalih bahwa sesungguhnya ia melakukan hal itu demi kebaikan pendidikan anak-anaknya. Kita katakan kepada wanita itu: “Apa yang anda perbuat adalah haram, dan tidak akan diterima uang yang anda belanjakan untuk pendidikan anak-anak anda, karena Allah tidak butuh itu semua. Jika anda sabar sejenak, niscaya Allah akan memberi rezeki yang halal untuk dapat anda gunakan memenuhi pendidikan anak-anak anda”.

Demikian pula halnya, tidaklah disebut keburuk­an sama sekali suatu keburukan yang mengantarkan ke surga. Yakni Jika anda menolong orang yang teraniaya, lalu lantaran itu anda mendapatkan kesengsaraan, maka hal itu bukanlah suatu keburukan, tetapi justru suatu kebaikan. Karena anda mendapat balasan sebaik-baik pahala atas pertolongan anda itu. Kemudian jika anda merasa tidak membutuhkan sebagian perlengkapan yang anda miliki lalu anda sumbangkan harganya kepada yang berhak, maka anda dalam hal ini beruntung, bukan merugi, sebab apa yang anda sumbangkan itu menjadi berlipat ganda di sisi Allah S.w.t.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam pernah diberi hadiah daging kambing panggang, lalu Beliau menyuruh mem­baginya kepada orang-orang fakir miskin. Maka Siti Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, membagikannya dan hanya menyisakan daging bagian pundak saja, karena Aisyah mengetahui bahwa Rasul S.a.w senang daging bagian pundak. Ketika Rasulullah pulang, Beliau S.a.w menanyakan tentang daging kambing itu, Siti Aisyah R.a menjawab: “Telah kami bagikan dagingnya dan kami sisakan daging bagian pundak.“. Maka Rasul S.a.w mengatakan: “Itu berarti engkau sisakan semua kecuali daging pundak.“.

Inilah standar yang sejati untuk mengukur kebaikan dan keburukan, ia adalah standar yang ditetapkan Allah S.w.t. Tetapi lagi-lagi manusia yang menyalah-gunakan hak kebebasan memilih yang diberikan oleh Allah S.w.t dalam alam raya ini. Maka yang seharusnya ia menggunakan standar Tuhan yang menciptakan dirinya, justru la membuat standar untuk dirinya sendiri.

Untuk lebih memahami hakikat ini, sebaiknya kita menengok ke alam raya bagian atas yang tidak tersentuh campur tangan dan hak pilih manusia. Kita dapatinya begitu tertib dan sangat rapi sehingga dapat memberikan kepada setiap makhluk kehidupan nyaman tanpa merasakan kesengsaraan dan ketimpangan.


Matahari, bulan, bintang, planet, udara dan benda-benda angkasa yang tidak tersentuh oleh campur tangan manusia di bumi, semua menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya tanpa ada satupun yang mengeluh, dan tanpa melelahkan satupun makhluk lain. Tidak ada orang yang mengeluh bahwa matahari terlambat terbit dari waktu yang semestinya, atau ia memberikan pancaran cahayanya hanya kepada sekolompok manusia saja, tidak kepada kelompok yang lain. Tidak ada orang yang merasa dirinya dibuat sulit oleh sistem perjalanan planet, yang mengalami kerusakan dan akhirnya berdampak pada kerusakan alam raya seluruhnya. Tidak seorang pun yang merasa mencari udara untuk bernafas lalu ia tidak menemukannya. Tidak ada orang yang mengatakan bahwa hujan tidak akan turun lagi ke bumi sehingga menyebabkan hancurnya kehidupan di atasnya, termasuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Tidak pernah kita mendengar orang yang mengatakan bahwa peredaran bumi mengalami gangguan sehingga bumi menerbangkan apa saja yang ada di permukaannya ke ruang angkasa.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

~ Al Khoir wa Syar karya Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi ~

“ Apabila manusia memperlakukan alam raya ini sesuai dengan ajaran Allah S.w.t, baik dalam penciptaan maupun fungsi kegunaannya, niscaya tid...
Kisah Muhammad
Agama Islam

Keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali dengan mencintai utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, Keluarga dan para Sahabatnya.

Mencintai Nabi Muhammad S.a.w termasuk ushul iman (pokok iman) yang bergandengan dengan cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla. Allah S.w.t telah menyebutkannya dalam satu ayat dengan menyertakan ancaman bagi orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada kerabat, harta, negara serta lainnya daripada cinta kepada keduanya.

Allah Ta'ala berfirman;

قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

"Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.“. (QS. Al-Taubah: 24).

Syekh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di berkata dalam tafsirnya, Tafsir al-Karim al-Rahman fi Tafsiir Kalaam al-Mannan, “Dan ayat yang mulia ini adalah dalil paling agung menunjukkan wajibnya mencintai Allah dan Rasul-Nya, mendahulukannya atas kecintaan segala sesuatu. Juga menunjukkan ancaman keras dan kebencian sangat atas orang yang lebih mencintai salah satu dari yang telah disebutkan daripada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya.“.

Kemudian Syekh Sa'di menyebutkan tanda-tandanya, “Adalah apabila hadir padanya dua perkara yang bertentangan. Salah satunya dicintai Allah dan Rasul-Nya dan tidak disukai oleh jiwanya. Sementara yang lain disukai dan diinginkan oleh jiwanya. Tapi ia mengesampingkan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Atau ia menguranginya. Maka jika ia mengutamakan apa yang disuka oleh nafsunya atas apa yang Allah cintai, hal itu menunjukkan bahwa ia berlaku zalim dan meninggalkan apa diwajibkan atasnya.“.

Keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali dengan mencintai utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Muhammad S.a.w. Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan Beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan membantunya. Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan seorang mukmin.

Rasulullah S.a.w bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan manusia seluruhnya.”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Ibnu Baththal, makna hadits ini adalah orang yang sempurna imannya pasti tahu bahwa hak Nabi S.a.w lebih utama baginya daripada hak bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. Karena melalui Nabi S.a.w kita terselamatkan dari neraka dan diselamatkan dari kesesatan.

Ketika Sayyidina Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu menggambarkan kecintaannya kepada Rasulullah S.a.w, dan menempatkan posisi cintanya kepada Beliau 'di bawah' kecintaannya terhadap dirinya sendiri, Rasulullah S.a.w menafikan kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada Beliau S.a.w di atas segala-galanya.

Maka wajib mendahulukan dan mengutamakan kecintaan kepada Nabi S.a.w atas kecintaan kepada diri sendiri, anak, kerabat, keluarga, harta, dan tempat tinggal serta segala sesuatu yang sangat dicintai manusia.

Memang setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi S.a.w, namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti sunnahnya), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Karena ber ittiba' kepada Beliau merupakan tuntutan dari keyakinan bahwa Beliau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau dijadikan sebagai suri teladan yang harus ditiru, dicontoh, dan diikuti dalam perjalanan untuk ke surga.

Allah Ta'ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الآخِر

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.". (QS. al-Ahzab: 21)

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan agar mengambil setiap yang Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam berikan dari urusan dien (agama) ini dan meningalkan apa yang Beliau larang.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.". (QS. Al-Hasyr: 7).

Hal tersebut karena Beliau tidak berbicara tanpa bimbingan wahyu dan menuruti hawan nafsu, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)“. (QS. Al-Najm: 3-4).

Sehingga seorang pecinta Nabi S.a.w akan membenarkan setiap yang Beliau beritakan, mentaati apa yang Beliau perintahkan, meninggalkan apa yang Beliau larang, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.

Allah Ta'ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“. (QS. Ali Imran: 31).

Jujurnya orang yang beriman kepada Allah, mengharapkan kecintaan dan ridha-Nya serta dimasukkan ke surga-Nya adalah dengan mengikuti Rasulullah S.a.w dalam semua keadaannya, dalam semua perkataan dan perbuatannya, pada persoalan pokok agama dan cabang-cabangnya, dalam bathin dan dzahirnya. Maka siapa yang mengikuti Rasulullah S.a.w itu menunjukkan benarnya pengakuan cinta kepada Allah Ta'ala.

Al Qadli 'Iyadl Rahimahullah, berkata: “Di antara bentuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariahnya, berangan-angan hidup bersamanya, . . . “.

Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku.".“. (QS. Ali Imran: 31).

Karenanya klaim cinta kepada Nabi S.a.w taklah hanya dengan sekedar memperingati hari kelahiran Beliau, sementara perilakunya banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan tuntunannya Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Wallahu Ta'ala A'lam.

~ Oleh Badrul Tamam ~

“ Keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali dengan mencintai utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alai...
Kisah Muhammad
Agama Islam

Umat Nabi Muhammad S.a.w memikul tanggungjawab yang sangat be­sar, karena ia telah dipilih untuk menerima warisan yang amat mulia itu (Kitabullah Al Qur'an)“


Di antara berbagai kekhususan yang ada pada umat ini (umat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam) ialah, mereka dimuliakan Allah S.w.t dengan rah­mat khusus. Hal itu terdapat di dalam Al Qur'an Al-Karim.

Al Qur'an Al-Karim menyebutkan bahwa umat Nabi Muhammad S.a.w terbagi menjadi tiga golongan. Golongan as-Sdoiaun (yakni orang-orang yang terdahulu di dalam kebajikan) adalah yang terdini memeluk Islam. Golongan Muatashid (yang sedang-sedang), yaitu golongan ldhiq (menyu­sul kemudian). Yang ketiga adalah golongan dzdlimun linafsihi (yang me­nganiaya diri sendiri). Golongan ini akan beroleh ampunan Ilahi. Me­ngenai semuanya itu Allah S.w.t berfirman di dalam Al Qur'an:

ثم اورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا فمنهم ظالم لنفسه ومنهم مقتصد ومنهم سابق بالخيرات باذن الله ذالك هوالفضل الكبير . جنات عدن يدخلونها يحلون فيها من اساور من ذهب ولؤلؤا ولباسهم فيها حرير . وقالوا الحمدلله الذي أذهب عنا الحزن ان ربنا لغفور شكور . الذي احلنا دار المقامة من فضله لا يمسنا فيها نصب ولا يمسنا فيها لغوب

Kemudian Kitab (suci) itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang meng­aniaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan (sedang-sedang), dan ada pula mereka yang telah berbuat kebaikan (sebanyak-banyaknya) de­ngan seizin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. Bagi mereka (ini) surga ‘Adn. Mereka masuk ke dalamnya. Mereka dibe­ri perhiasan berupa gelang-gelang emas dan mutiara. Pakaian mereka di dalam surga adalah sutera. Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguhlah bahwa Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (Syakur), Yang menempatkan kami di dalam tempat yang kekal (surga) sebagai karunia-Nya. Di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu.”. (QS. Fathir: 32-35).

Maknanya adalah, bahwa Allah yang Maha Benar (Al-Haq) memba­gi umat Nabi Muhammad S.a.w menjadi tiga bagian (golongan):

Pertama, Golongan ini yang dimaksud dengan firman-Nya “mereka yang menganiaya diri sendiri” (dzalimun linafsihi), yaitu orang-orang yang berlebih-lebihan dalam menunaikan beberapa kewajiban dan menerjang beberapa larangan. Yaitu orang-orang yang pada dirinya bercampur kebajikan dan keburukan.

Kedua, golongan yang disebut muatashid, yaitu orang-orang yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dan meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah S.w.t. Ada kalanya mereka meninggalkan hal-hal yang sunnah (mustahabbat) dan berbuat hal-hal yang tidak disukai Allah S.w.t (makruhdt).

Ketiga, yang disebut sabiaun bil-khairat, yaitu orang-orang yang me­nunaikan kewajiban, meninggalkan semua yang diharamkan, bahkan meninggalkan juga beberapa hal yang mubah (yang boleh dilakukan).

Ibnu ‘Abbas R.a mengatakan, “As-sabiqu bil-khairdt (golongan keti­ga) masuk surga tanpa melalui perhitungan (bighairi hisab). Al-muqtashid (golongan kedua) masuk surga dengan rahmat Allah S.w.t, sedangkan Adz-dzdlimu linafsihi (golongan pertama) masuk surga dengan Syafa'at Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam”.

Demikianlah menurut riwayat yang dituturkan oleh sejumlah kaum Salaf (kaum Muslimin yang hidup se-zaman dengan Nabi Muhammad S.a.w), yang kemudian diperkuat kebenarannya oleh hadits yang ber-isnad baik dan kokoh. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (bin Hanbal) dengan isnad dari Abu Darda’ yang menu­turkan: “Aku mendengar Rasulullah S.a.w berkata, bahwa firman Allah S.w.t yang menyatakan: Kemudian Kitab (Suci) itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan (se­dang-sedang), dan ada pula mereka yang berbuat kebajikan (sebanyak-ba­nyaknya) dengan seizin Allah; maksudnya adalah orang-orang sabiaun bil-khairdt, mereka itu masuk surga tanpa melalui perhitungan. Adapun orang-orang yang muatashid (pertengahan atau sedang-sedang), me­reka akan menghadapi perhitungan yang mudah (ringan). Sedangkan orang-orang yang menganiaya diri sendiri (dhalamu anfusahum), me­reka akan tertahan selama mahsyar berlangsung, kemudian mereka ber­oleh karunia rahmat. Mereka itulah yang kemudian mengucapkan’, “Alhamdulillah yang telah meniadakan kesedihan dari kami. Sungguhlah bahwa Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (syakur).'” Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Menurut hemat kami, itulah yang sesuai dengan maksud ayat terse­but di atas. Orang yang dzalimun linafsihi (menganiaya diri sendiri) ia tertahan di mahsyar karena keadaannya (amal kebajikannya) lebih ren­dah nilainya dibanding dengan orang yang sabiq bil-khairat dan orang yang muatashid. Selama tertahan itu ia mengalami kesedihan, duka cita, dan kebingungan. Manakala telah beroleh rahmat dari Allah S.w.t, ia masuk surga. Ia teringat akan keadaan dirinya (kekurangan-kekurang­annya), kemudian berucap, “Alhamdulillah yang telah meniadakan kese­dihan dari kami.”. Karena dalam ayat tersebut setelah Allah S.w.t menye­but tiga golongan manusia dan menyebut pula bahwa mereka masuk surga, sesudah itu Allah S.w.t menyebut juga bahwa mereka ini (orang-orang yang menganiaya diri sendiri) mengucapkan, “Alhamdulillah yang telah meniadakan kesedihan dari kami.”.

Tidak dapat dibayangkan, bahwa orang yang sabiq bil-khairat atau orang yang muatashid mengalami kesedihan, sebab mereka tidak meng­hadapi hal-hal yang sangat menakutkan atau menyedihkan. Jadi, ha­nya golongan yang ketiga itulah (dzalimun linafsihi) yang disebut meng­alami kesusahan dan kebingungan. Atas dasar penjelasan tersebut nya­talah bahwa umat ini (umat Nabi Muhammad S.a.w) adalah umat yang dirahmati Allah S.w.t (marhumah), sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad bin Al-Hanafiyyah R.a, bahwa umat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam memang marhumah,

Orang yang dzalimun linafsihi beroleh ampunan, orang yang muatashid masuk surga, dan orang yang sabiq bil-khairat ber­oleh derajat tinggi di surga.”.

Demikianlah yang dikatakan oleh Muham­mad bin Al-Hanafiyyah R.a, sebagaimana diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauriy dan lain-lain. Semuanya itu merupakan karunia Allah semata-mata bagi tiga golongan dalam umat Nabi Muhammad S.a.w. Mereka masuk surga yang penuh kenikmatan menurut derajatnya masing-ma­sing. Hal itu membuktikan kemuliaan umat ini dalam pandangan Allah S.w.t, suatu kemuliaan yang tidak murah dan mudah didapat, karena sebelum itu Allah S.w.t menegaskan lebih dahulu, bahwa Dia memilih umat ini untuk mewarisi Kitab Suci dan mengamalkannya benar-be­nar. Mengenai itu firman Allah S.w.t menyatakan, “Kemudian Kami waris­kan Kitab Suci (Al Qur'an) kepada orang-orang yang Kami pilih.”. Konsekuensi dari perolehan karamah (kemuliaan) yang amat besar di akhirat nanti, umat Nabi Muhammad S.a.w memikul tanggungjawab yang sangat be­sar, karena ia telah dipilih untuk menerima warisan yang amat mulia itu. Warisan yang memikulkan berbagai kewajiban (takdlif) yang harus diindahkan dan ditunaikan.

Dengan demikian maka kemuliaan yang dikaruniakan Allah S.w.t kepada umat ini sesungguhnya adalah jasa (imbalan, balasan baik) yang dikaruniakan Allah S.w.t, bahkan kepada orang yang pernah berbuat keburukan. Juga sebagai jasa atas kesetiaan umat ini dalam menjaga baik-baik warisan yang diamanatkan kepadanya, yaitu Kitab Suci (Al Qur'an) dan keterpilihannya sebagai umat yang dimuliakan Allah.

~ Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani ~
Pembahasan kitab Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah

“ Umat Nabi Muhammad S.a.w memikul tanggungjawab yang sangat be­sar, karena ia telah dipilih untuk menerima warisan yang amat mulia itu (Ki...
Kisah Muhammad
Agama Islam

Agama yang benar hanyalah satu adanya. Semua Nabi dan Rasul diutus Allah untuk sama-sama menyeru kepada agama yang benar itu, yaitu mengajak umat manusia untuk berpegang padanya, sejak zaman Nabi Adam A.s sampai Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Agama yang dimaksud adalah Islam.


Untuk membawa agama itu, Allah S.w.t. telah mengutus Nabi Ibrahim, Ismail, dan Ya’qub A.s. Allah S.w.t berfirman: ‘Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan Semesta Alam.’ Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata) ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka, janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam’,” (QS Al- Baqarah [2]: 130-133).

Selain itu, Allah S.w.t juga mengutus Nabi Musa A.s kepada Bani Israil untuk menyampaikan agama itu Allah S.w.t berfirman berkenaan dengan para ahli sihir Fir’aun, “Ahli-ahli sihir itu menjawab, `Sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali. Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami. (mereka berdoa) ‘Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu),'” (OS Al-A’raf [7]: 126-127).

Untuk membawanya pula, Allah S.w.t mengutus Nabi Isa A.s. Allah S.w.t berfirman, “Maka, tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia,’Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?’ Para hawariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab, ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri,'” (QS Ali lmran [3]: 52).

Jika ada yang bertanya, mengapa orang-orang yang mengklaim sebagai pengikut setia Nabi Musa A.s. sekarang berpegang pada akidah yang bukan tauhid, seperti dibawa para Nabi dan Rasul? Mengapa orang-orang yang mengklaim sebagai pengikut Nabi Isa A.s. sekarang berpegang pada akidah yang juga lain?

Menjawab pertanyaan tersebut, Allah S.w.t berfirman di dalam Al Qur’an, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang orang yang telah diberi Al- Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.,” (QS Ali Imran [3]: 19).

Dalam surat Al-Syura, Allah S.w.t, juga berfirman: “Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik, agama yang kamu seru kepada mereka. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya) Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang mengguncangkan tentang kitab itu,” (QS Al-Syura [42]. 13-14).

Jadi, semua Nabi dan Rasul diutus untuk membawa Islam, satu-satunya agama yang diridhai Allah S.w.t. Kalangan ahli kitab (yahudi dan nasrani) sebenarnya mengetahui ketunggalan agama ini, sebagaimana mereka juga mengetahui bahwa semua Nabi dan Rasul diutus untuk saling membenarkan agama yang mereka bawa. Tak ada perselisihan mencolok dalam masalah aqidah. Perselisihan itu muncul karena mereka bersilang pendapat soal hal-hal yang justru tidak pernah dikatakan Nabi mereka disebabkan “karena mereka dengki antara mereka sendiri”, begitulah sebagaimana ditegaskan oleh Allah S.w.t.

~ Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi ~
Fiqih Sirah (bagian 12)

Agama yang benar hanyalah satu adanya. Semua Nabi dan Rasul diutus Allah untuk sama-sama menyeru kepada agama yang benar itu, yaitu mengajak...
Kisah Muhammad

Follow Me